Mika, seorang wanita yang dulunya gemuk dan tidak percaya diri, sering menjadi korban bullying oleh geng wanita populer di SMA. Dihina karena penampilannya, ia pernah dipermalukan di depan seluruh sekolah, terutama oleh Dara, ketua geng yang kini telah menikah dengan pria idaman Mika, Antony. Setelah melakukan transformasi fisik yang dramatis, Mika kembali ke kota asalnya sebagai sosok baru, sukses dan penuh percaya diri, tapi di dalam dirinya, dendam lama masih membara. Kini Mika bertekad untuk menghancurkan hidup Dara, gengnya, dan merebut kembali Antony, cinta masa lalunya, dengan cara yang jauh lebih kejam dan cerdas.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lucky One, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kebenaran yang Mengintai
Antony akhirnya tiba di rumahnya. Suasana rumah begitu sunyi, hanya terdengar dengungan kipas angin yang berputar pelan. Ia menutup pintu dengan hati-hati, tidak ingin membangunkan siapa pun. Di ruang tamu yang remang, ia melihat Dara sudah tertidur di sofa dengan selimut tipis menutupi tubuhnya. Wajah Dara tampak damai, tetapi Antony merasa sedikit bersalah telah membiarkannya menunggu tanpa kabar.
Tanpa membangunkannya, Antony berjalan menuju kamar tidur dan masuk ke kamar mandi. Kepalanya terasa penuh. Bukan dengan pekerjaan, tapi dengan bayangan Mika—senyumnya, parfum manis yang semerbak ketika mereka makan malam, dan gaun merah menggoda yang begitu melekat di ingatannya.
Antony melepaskan kemejanya dan menjatuhkannya ke lantai. Tubuhnya yang berotot dan berbalut six-pack terlihat jelas, refleksi tubuh sempurnanya terpancar dari cermin besar di kamar mandi. Namun, saat ia menatap bayangan dirinya sendiri, senyum kecil perlahan muncul di wajahnya. Ia masih merasakan desiran kebahagiaan setiap kali memikirkan Mika.
"Dasar gadis nakal," gumam Antony sambil mengusap wajahnya. Ia tak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum, mengingat cara Mika menggoda dan mencium pipinya tadi malam. Ada sesuatu dalam Mika—sesuatu yang liar dan memikat, berbeda dari Dara yang sudah begitu dikenalnya selama bertahun-tahun.
Air hangat mengalir deras dari shower, membasahi tubuh Antony. Namun, bukannya mengusir pikirannya, bayangan Mika semakin jelas—tatapan mata penuh tantangan dan sentuhan lembutnya di mobil.
“Ini gila…” Antony menggelengkan kepala, namun hatinya terasa berdebar hanya dengan memikirkannya.
Sementara itu, di luar kamar mandi, Dara terbangun sejenak di sofa. Ia menyadari bahwa Antony sudah pulang dan mendengar suara shower dari kamar mandi. Keningnya berkerut. "Ah dia sudah pulang, kenapa tidak membangunkanku" Dara beranjak dari sofa dan berjalan menuju kamar mandi.
Dara berdiri tepat di depan pintu kamar mandi, menyilangkan kedua tangan di dadanya. Wajahnya datar, namun sorot matanya dingin dan penuh tanya. Setiap detik yang berlalu membuat rasa tidak tenang dalam hatinya semakin kuat. Apa yang Antony sembunyikan darinya?
Pintu kamar mandi akhirnya terbuka, dan Antony muncul dengan handuk yang melilit di pinggangnya. Tubuhnya masih basah, rambutnya acak, dan wajahnya memancarkan ekspresi puas, seperti seseorang yang baru saja menyelesaikan sesuatu yang menyenangkan.
Antony terkejut melihat Dara berdiri di depannya dengan tatapan penuh curiga. “Sayang… kamu belum tidur?” tanyanya, mencoba terdengar santai sambil menyeka rambutnya dengan handuk kecil.
Dara tidak menjawab langsung. Ia menatap Antony dari ujung rambut hingga ke kaki. Instingnya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres.
"Aku nunggu kamu," jawab Dara akhirnya, suaranya datar tapi tajam. “Kamu mandi lama banget. Capek ya?” Nada suaranya menyiratkan lebih dari sekadar kekhawatiran istri.
Antony mencoba menenangkan diri. “Cuma capek, hari ini banyak urusan di kantor. Itu saja.”
Namun, Dara tidak mudah ditenangkan. Ia mendekat selangkah, menatap Antony dengan seksama. Antony bisa merasakan dinginnya tatapan itu. Dara bukan wanita bodoh, dan Antony tahu, kebohongannya yang berulang-ulang mulai menumpuk.
“Kamu yakin cuma urusan kantor?” tanya Dara dengan nada pelan, namun tajam seperti pisau.
Antony berusaha keras menampilkan senyuman. “Sayang, kamu tuh selalu mikir yang enggak-enggak…” Ia mengangkat tangan untuk membelai pipi Dara, namun Dara sedikit menghindar.
“Kamu pikir aku enggak sadar?” ujar Dara, nada kekecewaan dalam suaranya kini jelas terdengar.
Antony menelan ludah, mencoba tetap tenang. “Kamu terlalu capek, Sayang. Kita enggak usah bahas ini sekarang, oke?” Ia mencondongkan tubuhnya, berusaha mencium kening Dara, tapi istrinya kembali menghindar.
"Kalau kamu terus begini, Antony, aku enggak tahu sampai kapan aku bisa percaya sama kamu," Dara berbisik, suaranya hampir pecah.
Antony menghela napas dan mencoba tersenyum untuk meredakan ketegangan. “Aku cuma mau istirahat. Kita bicarain besok ya?” katanya lembut, seolah semua masalah bisa dibiarkan berlalu begitu saja.
Namun, Dara masih berdiri tegak, hatinya penuh dengan rasa waspada. Antony berlalu menuju kamar, tapi Dara tetap berdiri di tempat, merasakan kecurigaan yang semakin dalam, seakan firasat buruk sedang menunggu di depan mata.
Di dalam kamar, Antony melemparkan handuknya ke kursi dan meraih ponselnya di atas meja. Sebuah pesan dari Mika menunggu di layar:
"Malam ini menyenangkan. Terima kasih, Antony. Kamu membuatku merasa spesial."
Antony tersenyum kecil, namun ia segera menghapus pesan itu, berusaha menghilangkan jejak.
Di balik pintu kamar, Dara masih terdiam, mendengarkan setiap langkah Antony dengan hati yang penuh keraguan. Ia tahu ada sesuatu yang disembunyikan suaminya—dan ia tidak akan berhenti sampai menemukannya.
***
Mika berdiri di dapur, menatap makanan yang dibawa Raka masih rapi dalam kemasannya. Ia mendesah pelan.
"Aku enggak bisa makan ini sekarang. Udah terlalu kenyang," gumamnya sambil mengangkat kotak itu dan memasukkannya ke dalam kulkas dengan gerakan santai.
Setelah menutup pintu kulkas, Mika melangkah menuju kamarnya, melepas gaun merah yang tadi ia kenakan dengan hati-hati, lalu menggantinya dengan piyama satin yang lembut.
Mika merebahkan diri di atas tempat tidur, tatapan matanya kosong mengarah ke langit-langit kamar. Ia memeluk bantalnya erat-erat, seolah mencari kenyamanan dari segala kekacauan yang ia rasakan.
"Kenapa aku merasa seperti ini?" pikirnya.
Antony jelas membuatnya berdebar—pria itu perhatian dan penuh pesona, seolah semua hal tentangnya adalah jawaban atas rasa sepi yang Mika pendam selama ini.
"Fokus, Mika! Ini semua tentang Dara. Bukan tentang Antony... atau Raka," ia mengingatkan dirinya sendiri, berusaha keras mengendalikan perasaannya.
Ketika Mika mulai memejamkan mata, ponselnya bergetar di atas meja kecil di samping tempat tidur. Mika mengulurkan tangan dan melihat nama pengirimnya—Raka.
"Udah tidur? Aku tadi cuma mau pastiin kamu baik-baik aja."
Mika tersenyum tipis, tapi segera menepis pikirannya. "Aku enggak boleh terlibat terlalu jauh dengan Raka, dia tidak boleh mengetahui rencana ku " pikirnya. Tapi pesan itu tetap membuatnya cemas sejenak—sesuatu yang jarang ia rasakan.
Ia menaruh kembali ponselnya di meja dan membalikkan badan, mencoba memejamkan mata. Namun, bayangan Antony kembali muncul di pikirannya. Sentuhan pria itu, pujian-pujian yang ia lontarkan, dan kejutan mewah tadi malam—semuanya meninggalkan kesan mendalam di hatinya.