Kania harus menerima kenyataan pahit ketika suaminya—Adrian, menceraikannya tepat setelah malam pertama mereka.
Tanpa sepengetahuan Adrian, Kania mengandung anaknya, calon pewaris keluarga Pratama.
Kania pun menghilang dari kehidupan Adrian. Tetapi lima tahun kemudian, mereka dipertemukan kembali. Kania datang dengan seorang bocah laki-laki yang mengejutkan Adrian karena begitu mirip dengannya.
Namun, situasi semakin rumit ketika Adrian ternyata sudah menikah lagi.
Bagaimana Kania menghadapi kenyataan ini? Apakah ia akan menjauh, atau menerima cinta Adrian yang berusaha mengambil hatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 26 Diculik
Adrian duduk di ruangan tertutup yang remang-remang. Udara di dalam ruangan terasa dingin, bukan karena suhu udara, melainkan karena atmosfer tegang yang menyelimuti tempat itu.
Di depannya, Pras—mantan kekasih Laras—duduk dengan ekspresi tenang namun penuh perhitungan.
Adrian menatap Pras dengan pandangan tajam. “Kenapa kamu tiba-tiba ingin bertemu denganku? Apa tujuanmu?”
Pras tersenyum tipis, seolah sudah menduga reaksi Adrian. “Aku butuh uang,” jawabnya lugas.
Adrian menyipitkan matanya, tidak mengerti. “Uang? Untuk apa aku memberimu uang? Aku bahkan tidak kenal dekat denganmu.”
Pras menghela nafas panjang. “Putriku sakit parah. Aku butuh uang untuk biaya pengobatannya.”
Adrian terdiam sejenak, mencoba membaca ekspresi Pras. Namun, ada sesuatu yang tidak beres.
“Lalu kenapa kamu datang kepadaku? Kamu tahu aku tidak akan membantu seorang buronan seperti dirimu.”
Pras menunduk, lalu mengangkat kepalanya dengan senyuman sinis. Adrian sepertinya masih belum tahu kenapa Pras bisa jadi buronan.
“Karena aku tahu sesuatu yang mungkin akan menarik perhatianmu, Adrian. Sesuatu tentang… nenekmu.”
Adrian tersentak mendengar itu. “Apa maksudmu?”
Pras menyeringai. “Kalau kamu memberiku uang, aku akan memberimu kebenaran tentang kematian nenekmu. Percayalah, itu sesuatu yang tidak pernah kamu duga.”
Adrian terdiam. Rahangnya mengeras, dan tangan kanannya terkepal erat di atas meja.
**
Di tempat lain, Laras sedang berada di kamar rawatnya di rumah sakit. Suaranya menggema di dalam ruangan saat ia terus berteriak memanggil nama Adrian.
“Mas Adrian! Aku tahu kamu tidak akan meninggalkanku! Aku tahu!”
Di hadapannya, sebuah berkas perceraian tergeletak di meja kecil disamping ranjang.
Dokumen itu sudah siap untuk ditandatangani, namun Laras dengan penuh amarah langsung merobeknya menjadi potongan-potongan kecil.
Ayah Laras, yang duduk di kursi tak jauh dari sana, hanya bisa memijat pelipisnya dengan frustasi.
Anak perempuannya, yang biasanya mendapatkan apa pun yang diinginkan, kini berubah menjadi seseorang yang tidak rasional dan berteriak tanpa kendali.
“Laras, berhenti! Kamu harus menghadapi kenyataan,” kata sang ayah dengan suara rendah, mencoba menenangkan putrinya.
“Papa, lakukan sesuatu! Jangan biarkan Adrian menceraikan aku!” Laras menangis terisak, mencengkeram lengan ayahnya.
“Apa yang bisa Papa lakukan? Adrian sudah tidak mencintaimu. Kamu harus menerima ini.”
Laras menatap ayahnya dengan tatapan penuh amarah. “Hancurkan Kania! Hancurkan dia, Pa! Kalau dia tidak ada, Mas Adrian pasti akan kembali padaku!”
Ayah Laras terdiam, terkejut dengan permintaan putrinya.
“Kania itu temanmu, Laras. Apa kamu sudah gila?”
“Aku tidak peduli! Dia merebut Adrian dariku! Papa harus membantuku kali ini!”
Melihat Laras semakin histeris, ayahnya akhirnya terpaksa mengangguk pelan, meski dengan berat hati.
“Baiklah, Papa akan pikirkan sesuatu. Tapi kamu harus tenang dulu, oke?”
Mendengar itu, Laras tersenyum puas. Ia yakin, kali ini ayahnya tidak akan mengecewakannya.
**
Di kantor Adrian, Kania tengah sibuk mengerjakan dokumen yang ditumpuk di mejanya. Ia menghela napas berat.
Entah kenapa, akhir-akhir ini Adrian terus memberinya pekerjaan yang tidak masuk akal, seolah-olah mencari alasan untuk membuatnya tetap dekat.
“Dasar Adrian! Kenapa dia selalu seperti ini? Apa dia pikir aku ini robot?” gerutunya.
Saat Kania hendak membawa dokumen-dokumen itu ke ruangan Adrian, tiba-tiba ponselnya berdering. Nama seorang pengasuh Enzio muncul di layar.
“Halo?” jawab Kania.
“Nyonya Kania! Enzio… dia… dia diculik!” suara panik pengasuh itu langsung membuat tubuh Kania gemetar.
“Apa?! Enzio diculik? Bagaimana bisa?!” Kania berteriak, nafasnya tersengal-sengal.
“Maafkan saya, Nyonya. Saya tidak tahu bagaimana itu terjadi. Ada beberapa pria yang masuk ke rumah dan membawa tuan kecil. Mereka bilang mereka suruhan anda.”
Tanpa pikir panjang, Kania langsung berlari menuju ruangan Adrian.
Pikirannya penuh dengan kecemasan. Enzio adalah segalanya baginya, dan membayangkan sesuatu yang buruk terjadi pada putranya membuatnya nyaris kehilangan akal.
Adrian sedang duduk di meja kerjanya ketika Kania menerobos masuk dengan wajah panik.
“Ada apa Kania? Kenapa kamu berkeringat dan panik begitu?”
“Adrian! Enzio diculik!” ujar Kania sambil terengah-engah.
Adrian segera berdiri dari kursinya, wajahnya berubah serius. “Apa? Siapa yang melakukannya?!”
“Aku tidak tahu. Tolong, Adrian, kita harus menemukannya!” Kania mulai menangis, tubuhnya bergetar hebat.
Adrian menggenggam bahu Kania erat.
“Tenang, Kania. Kita akan menemukannya. Aku janji.”
Namun di dalam hatinya, Adrian sudah tahu siapa yang kemungkinan besar berada di balik semua ini–apras.
Pria itu pasti berani melakukan apapun untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Adrian mengepalkan tangannya, bersumpah untuk membawa putranya kembali dengan selamat.