Sepasang Suami Istri Alan dan Anna yang awal nya Harmonis seketika berubah menjadi tidak harmonis, karena mereka berdua berbeda komitmen, Alan yang sejak awal ingin memiliki anak tapi berbading terbalik dengan Anna yang ingin Fokus dulu di karir, sehingga ini menjadi titik awal kehancuran pernikahan mereka
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayang-Bayang Perselingkuhan
Anna berjalan perlahan, langkahnya terasa begitu berat. Setiap detik yang ia jalani seolah semakin menyiksa. Meski sudah kembali bersama Alan, sesuatu dalam dirinya terasa kosong. Ia merasa kehilangan dirinya sendiri, terperangkap dalam sebuah kebohongan yang tak bisa lagi ia tahan. Dalam hatinya yang penuh luka, Anna mulai meragukan segala keputusan yang telah ia buat.
Hari-hari setelah kembali ke rumah, meski ia dan Alan berusaha terlihat seperti pasangan yang harmonis, Anna merasa ada jurang besar yang terbentuk antara mereka. Alan, yang dahulu penuh perhatian, kini terasa asing. Ada ketegangan yang tak terucapkan dalam setiap percakapan mereka. Alan, meski berusaha bersikap baik, tak bisa sepenuhnya menghilangkan amarah dan kekecewaan yang ada di dalam dirinya.
Anna duduk di tepi tempat tidur, menatap kosong ke luar jendela. Pikirannya berkecamuk. Kenangan malam itu bersama Erik kembali menghantuinya. Suara Erik yang penuh dengan perhatian, sentuhan hangat yang ia terima, semuanya begitu berbeda dari apa yang ia rasakan dengan Alan dalam beberapa waktu terakhir. Meskipun ia tahu bahwa ia telah mengkhianati pernikahannya, ada perasaan yang tak bisa ia hilangkan. Perasaan itu semakin menguat saat ia semakin jauh dari Alan.
Ketika Alan berada di luar rumah atau terlalu sibuk dengan pekerjaannya, Anna merasa sepi. Sepi yang begitu dalam, tak terisi oleh apapun. Dan di saat-saat seperti itu, Erik muncul di pikirannya lagi. Begitu saja. Tanpa permisi. Anna tak bisa menahan perasaan itu. Meskipun ia tahu bahwa apa yang ia rasakan tak bisa dibenarkan, ia tetap merasakannya. Dalam hatinya, ada ruang kosong yang tidak bisa diisi oleh Alan.
Hari itu, Anna menerima pesan singkat dari Erik. Hanya beberapa kata, tetapi cukup untuk mengguncang pikirannya.
“Aku masih ingin bertemu. Kita bisa bicara lebih banyak.”
Anna menggigit bibirnya. Tangan yang menggenggam ponselnya terasa dingin. Hatinya berdebar, tapi sekaligus takut. Ia tahu ini adalah kesempatan untuk kembali bertemu dengan Erik, untuk merasakan kembali kehangatan yang ia rindukan. Dalam sekejap, pikiran buruk melintas di benaknya—apa yang akan terjadi jika ia bertemu Erik lagi? Apakah itu akan membuat segalanya semakin buruk?
Namun, seiring waktu berjalan, keputusan itu terasa semakin sulit untuk ditolak. Ia memutuskan untuk mengabaikan keraguan yang ada di dalam dirinya. Alan sudah cukup jauh dari dirinya. Ia merasa tidak ada lagi yang bisa memperbaiki hubungan mereka. Alan terlalu sibuk dengan dunianya sendiri. Setiap kali mereka berdua berada di bawah satu atap, hanya ada keheningan yang menggelapkan segalanya.
Dengan perasaan yang penuh dengan konflik, Anna akhirnya menghubungi Erik. Mereka sepakat untuk bertemu di sebuah kafe yang tidak terlalu ramai. Anna datang lebih awal, duduk di sudut ruangan sambil menunggu Erik. Setiap detik terasa panjang, jantungnya berdegup kencang. Perasaan bersalah bercampur dengan rasa penasaran yang tak bisa ia hindari.
Begitu Erik tiba, Anna merasa dunia seperti berhenti sejenak. Wajahnya tampak sedikit berbeda, lebih serius, namun senyuman yang ia berikan tetap hangat, seperti yang Anna kenang.
“Anna,” Erik menyapa lembut, duduk di hadapannya. “Kau baik-baik saja?”
Anna hanya mengangguk, namun dalam hatinya ada perasaan yang sulit dijelaskan. Ia merasa seperti terjebak dalam pusaran yang tak bisa ia hindari.
Mereka berbicara tentang banyak hal, namun semakin lama perbincangan mereka terasa semakin intim. Tanpa disadari, jarak di antara mereka semakin mengecil, dan dalam sekejap, tangan Erik sudah berada di atas tangan Anna, memberikan rasa nyaman yang begitu lama ia cari.
Anna merasakannya—sentuhan itu. Ia tidak bisa menyangkal betapa ia merindukan perhatian itu, merindukan seseorang yang tidak menilai dirinya, yang tidak penuh dengan kekecewaan dan amarah seperti yang ia rasakan bersama Alan.
“Kau tahu, aku tidak bisa berhenti memikirkanmu,” kata Erik, suaranya begitu rendah, mengalun seperti musik yang menenangkan.
Anna terdiam, hatinya berdebar. Ia tahu bahwa ia harus berhenti, bahwa ia harus menjauh dari Erik, tetapi saat itu, semuanya terasa begitu mudah. Tangan Erik mengelus lembut punggung tangannya, memberikan rasa nyaman yang sudah lama ia tidak rasakan.
“Aku… aku tahu aku salah,” kata Anna, suaranya bergetar. “Aku tidak seharusnya melakukannya. Tapi aku merasa kosong. Aku merasa terperangkap dalam hidup yang tidak lagi membuatku bahagia.”
Erik menatapnya dengan penuh perhatian. “Aku mengerti, Anna. Aku tidak ingin membuatmu merasa bersalah, tetapi aku hanya ingin kamu tahu, aku peduli padamu. Aku tidak ingin melihatmu terpuruk dalam perasaan itu.”
Dalam beberapa detik yang terasa seperti berjam-jam, Anna merasa perasaan yang begitu kuat menguasai dirinya. Tanpa bisa menahan diri, ia menarik Erik ke dalam pelukannya. Dan di sana, di dalam pelukan itu, dunia terasa berbeda. Ia merasakan kehangatan yang sudah lama ia rindukan, sebuah pelarian dari kenyataan yang semakin menghimpitnya.
Namun, meskipun perasaan itu begitu menggoda, Anna tahu bahwa ia sedang berjalan di jalan yang salah. Ia mengangkat wajahnya dari dada Erik, menatapnya dengan mata yang penuh penyesalan.
“Aku tidak bisa seperti ini,” bisik Anna. “Aku tidak bisa menghancurkan semuanya lebih jauh lagi. Aku harus pulang.”
Erik menghela napas panjang. “Aku tahu. Tapi ingat, aku selalu ada untukmu. Kapan saja, Anna.”
Dengan hati yang berat, Anna berdiri dan meninggalkan kafe itu. Ia merasa seperti seseorang yang baru saja mengkhianati dirinya sendiri, namun di sisi lain, ia juga merasa seperti ia telah menemukan sedikit kebebasan. Ia merasakan perasaan yang telah lama hilang, meskipun tahu itu adalah kebebasan yang sementara, yang pada akhirnya akan menghancurkan dirinya lebih dalam.
Kembali ke rumah, Anna menatap Alan yang sedang duduk di ruang tamu. Ia tahu, ia harus menghadapi kenyataan ini. Alan pasti sudah merasakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Namun, Anna belum siap untuk menghadapi kenyataan itu. Ia merasa bahwa ia sudah terjebak terlalu dalam, dan jalan keluar yang ia pilih justru membuatnya semakin jauh dari apa yang benar-benar ia inginkan.
Di bawah atap yang sama, namun dunia yang semakin berbeda, Anna merasakan perasaan yang membingungkan. Ia mencintai Alan, namun sesuatu dalam dirinya terus menariknya ke arah yang salah. Dan dalam setiap detik yang berlalu, Anna semakin merasa bahwa ia sedang menghancurkan dirinya sendiri, perlahan tapi pasti.