Rumah tangga yang sudah lama aku bina, musnah seketika dengan kehadiran orang ketiga di rumah tanggaku..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Sandra menatapku dengan pandangan yang menyala-nyala, seolah-olah matanya bisa membakar kulitku. Dia melangkah maju, setiap langkahnya penuh dengan kebencian.
“Apa maksud kamu, Rania!” serunya dengan suara yang tercekat oleh emosi.
“Gak ada maksud apa-apa kok, tanya saja sama pacar kamu itu, dia benar-benar mencintai kamu gak?” Ucapku dengan nada sinis yang terlontar begitu saja. Aku bisa melihat urat di lehernya yang menegang, tanda bahwa dia benar-benar kesal.
Dengan gerak cepat, tangan Sandra terangkat, siap menamparku. Namun, aku lebih cepat. Tangannya kugenggam dengan kuat, mencegah pukulannya menyentuh wajahku.
“Berani kamu mukul aku, aku buat kamu kehilangan Adnan,” ancamku dengan suara rendah penuh ancaman.
“Hallah, bilang saja, kamu masih menginginkan Adnan kan,” cibirnya, suaranya dipenuhi dengan kegetiran.
Aku hanya tertawa, suara tawaku bergema di antara kami, penuh dengan kepalsuan dan kepahitan. Lalu, aku berbalik dan masuk ke dalam cafe, meninggalkan Sandra yang masih berdiri dengan wajah memerah karena marah.
Sonya ternyata sudah menungguku di dalam, sepertinya ia tidak ingin terlibat dalam drama yang tengah terjadi antara aku, Sandra, dan Adnan di luar sana.
Aku berusaha melupakan sejenak permasalahan yang baru saja terjadi, dan langsung duduk di depan Sonya yang tampaknya telah menungguku cukup lama.
"Maaf ya, nunggu lama," ucapku sambil meletakkan tas di atas meja.
"Gak papa, pasti kamu bertemu sama Adnan dan selingkuhannya itu kan?" tanya Sonya.
Rupanya ia sudah tahu apa yang sedang terjadi di luar sana, pikiran ini menjadi gelisah. "Emang gampang ya menebaknya, So?"
"Iya dong, tadi aku lihat mereka makan, kok bisa ya Ran, Adnan berpaling darimu padahal perempuan itu hanya menang centil dan seksi. Kalau dibandingkan cantik jauh banget sama kamu," seru Sonya.
Mendengar perkataannya, hatiku merasa tertohok. "Apakah Adnan benar-benar melihatku hanya dari fisik? Bukankah dulu ia mengatakan mencintaiku apa adanya?" gumamku dalam hati.
"Dah lah gak usah dibahas, kita langsung saja ya So?" ucapku, berusaha mengalihkan perhatian dari topik yang sedang diungkit Sonya.
Aku tidak ingin terus-menerus terpuruk dalam rasa sakit yang menyiksa hatiku, setidaknya saat ini aku perlu fokus untuk menjalani hidup bersama teman-teman yang masih peduli denganku.
Sonya tengah menjelaskan ide baru untukku, entahlah, mungkin saja ini akan menjadi tren fashion tahun ini. Aku belum pernah membuat pola gamis sebelumnya, jadi ide ini terasa menarik dan menggoda.
Sonya kembali menjelaskan panjang lebar, dan aku berusaha mendengarkan dengan seksama, menyerap semua yang ia sampaikan.
"Baiklah, nanti akan aku coba ya," sahutku sambil tersenyum.
"Aku yakin gamis buatan desainer hebat sepertimu pasti akan viral," ujar Sonya memuji.
"Ah, kamu ini bisa saja," balasku, merasa malu dan bangga dalam satu waktu.
Tak lama, cemilan pesanan kami tiba di meja. Aku dan Sonya pun menikmati cemilan tersebut sambil mengobrol tentang berbagai hal. Akupun menceritakan pertemuan tidak sengaja yang baru saja aku alami dengan seorang pria bernama Kenan.
Sungguh, pertemuan tersebut terasa begitu konyol bagiku. Aku mencoba tersenyum dan menikmati obrolan panjang lebar dengan Sonya, pertemuan konyol tersebut membuatku dan Sonya tertawa terbahak bahak.
Malam semakin larut, dan aku serta Sonya memutuskan untuk mengakhiri obrolan kami. Sonya membayar ke kasir sementara aku keluar lebih dulu dari kafe. Tak lama kemudian, Sonya menyusul dan kami berpisah di tempat parkir mobil, masuk ke mobil kami masing-masing.
Sepanjang perjalanan pulang, aku mencoba untuk fokus menyetir agar tidak terjadi kecelakaan. Begitu sampai di rumah baru, aku disambut oleh ibu dan Tyas yang tengah sibuk mempersiapkan pengajian malam ini.
Meskipun acara ini terbilang mendadak, namun berkat ibu, segala persiapan berjalan lancar. Rumah baru kami, walau tak terlalu besar, tampak megah dan sangat aku suka.
"Akhirnya kamu pulang juga, nak," seru ibu sambil tersenyum.
Aku pun menyapa ibu dengan mencium tangannya. "Ibu, di mana Naura?" tanyaku, karena Naura tidak terlihat di ruang tamu.
"Ia sedang bersama Tyas di dapur, nak," sahut ibu.
"Baiklah, Buk."
Aku memutuskan untuk meletakkan barang-barangku di kamar baru terlebih dahulu, dan juga menyempatkan untuk mandi. Setelah selesai, aku mengenakan piyama dan pergi menuju dapur.
Sejenak, aku berhenti di pintu dapur dan melihat Tyas dan Naura yang sedang bersama. Aku tersenyum kecil, menyadari betapa aku mencintai keluarga ini, dan merenung sejenak tentang kejadian di kafe bersama Sonya tadi.
"Apa yang baru saja aku dengar dari Sonya tadi? Apakah itu benar adanya, atau hanya sebuah spekulasi semata?" gumamku dalam hati.
Namun, aku tidak ingin terlalu larut dalam pikiran itu, dan memutuskan untuk bergabung dengan Tyas dan Naura di dapur. "Hei, apa yang kalian buat di sini?" tanyaku sambil tersenyum.
"Kak Rania!" seru Tyas sambil tersenyum lebar.
"Naura, anak mamah," sahutku dengan penuh haru.
Naura menatapku dengan mata yang bersinar, ia sangat girang dan segera berlari memelukku erat. "Mamah, aku sangat bahagia sekali bisa tinggal di sini sama nenek dan aunty Tyas!" serunya dengan suara yang riang.
Hatiku tersentuh melihat kebahagiaan anakku yang tumbuh begitu cepat. Aku mencium gemas pipi Naura yang semakin pintar setiap harinya.
Naura melepaskan pelukannya, lalu menyeretku untuk melihat dirinya dan Tyas sedang memotong kue hasil buatan mereka berdua.
"Kak, terima kasih ya sudah membahagiakan ibu dan Tyas," kata Tyas dengan matanya berkaca-kaca, penuh haru dan terharu.
"Iya, Tyas, sama-sama," balasku sambil tersenyum penuh kasih sayang.
Tyas menatapku lalu berkata, "Aku masih tidak percaya, Kak Rania sesukses ini. Semoga Kak Rania diberi umur panjang dan rezeki yang lancar."
"Amin, Tyas," sahutku dengan tulus. Ketika aku melihat kebahagiaan di wajah mereka, aku merasa bahwa segala perjuanganku selama ini telah terbayar lunas, dan tak ada yang lebih penting daripada berada di sisi keluarga yang kucintai.
Di ruang tamu yang luas, nuansa spiritual dan ilmu pengetahuan terasa begitu kental. Dinding-dinding dicat dengan warna krem lembut, memberikan kesan hangat dan menerima.
Di satu sisi ruangan, rak buku tinggi menjulang penuh dengan kitab-kitab agama dan filsafat, sementara di sisi lainnya terdapat kursi-kursi yang tersusun rapi menghadap ke sebuah meja kecil yang digunakan sebagai tempat pembicara.
Lantai kayu yang mengilap terlihat bersih dan terawat, mencerminkan cahaya lampu gantung kristal yang menggantung di tengah ruangan, menciptakan atmosfer yang tenang dan respek.
Di sudut ruangan, terdapat sebuah karpet tebal berwarna hijau gelap yang melapisi lantai, tempat para tamu duduk bersila siap untuk pengajian.
Suara pembicara yang merdu dan penuh penghayatan mengalun lembut, mengisi ruangan yang membangun jiwa.
***