NovelToon NovelToon
Dolfin Band Kisahku

Dolfin Band Kisahku

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Duniahiburan / Reinkarnasi / Persahabatan / Fantasi Isekai / Sistem Kesuburan
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: F3rdy 25

Di tengah gemuruh ombak kota kecil Cilacap, enam anak muda yang terikat oleh kecintaan mereka pada musik membentuk Dolphin Band sebuah grup yang lahir dari persahabatan dan semangat pantang menyerah. Ayya, Tiara, Puji, Damas, Iqbal, dan Ferdy, tidak hanya mengejar kemenangan, tetapi juga impian untuk menciptakan karya yang menyentuh hati. Terinspirasi oleh kecerdasan dan keceriaan lumba-lumba, mereka bertekad menaklukkan tantangan dengan nada-nada penuh makna. Inilah perjalanan mereka, sebuah kisah tentang musik, persahabatan, dan perjuangan tak kenal lelah untuk mewujudkan mimpi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon F3rdy 25, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

LANGKA DIPERSIMPANGAN

Cahaya lampu jalan Jakarta membiaskan kilau keemasan di atas aspal, memantul dari permukaan basah sisa hujan sore tadi. Malam itu, suasana hotel terasa hening meski di luar hiruk-pikuk kota masih menggema. Ferdy duduk sendirian di balkon, memandangi langit malam yang terlihat samar-samar karena polusi cahaya. Udara malam yang lembap menempel di kulitnya, namun tidak mampu menenangkan kegelisahan yang berputar dalam pikirannya.

Suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Ferdy menoleh, melihat Ayya berdiri di ambang pintu balkon. Wajahnya tampak tenang, meski Ferdy tahu, di balik ekspresi itu, Ayya juga menyimpan kegelisahan yang sama.

"Kamu belum tidur?" tanya Ayya sambil melangkah mendekat, suaranya lembut namun penuh perhatian.

Ferdy menggeleng pelan. "Banyak yang dipikirin," jawabnya singkat, sambil tersenyum kecil. Senyum yang lebih terasa sebagai upaya menutupi perasaan sebenarnya.

Ayya duduk di kursi sebelahnya, menatap langit seperti yang Ferdy lakukan sebelumnya. Mereka terdiam beberapa saat, hanya mendengar suara gemericik sisa air hujan yang menetes dari balkon di lantai atas.

"Aku tahu kamu lagi berat mikirin soal Ryan," ujar Ayya akhirnya, dengan nada yang mengisyaratkan bahwa dia tahu lebih dari sekadar apa yang Ferdy bicarakan di sesi latihan tadi.

Ferdy mendesah pelan, lalu menatap Ayya. "Kamu tahu, aku nggak bisa berhenti mikirin tawaran dia. Ini kesempatan besar, Ya. Tapi di sisi lain, aku takut. Takut kalau kita salah langkah."

Ayya menoleh, matanya menatap Ferdy penuh pengertian. "Apa yang bikin kamu takut, Fer?"

Ferdy terdiam sejenak, mencoba merangkai kata-kata yang tepat untuk menggambarkan perasaannya. "Aku takut kalau nanti kita malah kehilangan apa yang bikin kita spesial. Semua yang udah kita bangun... semuanya bisa hilang begitu aja kalau kita ngambil keputusan yang salah."

Ayya meraih tangan Ferdy, menggenggamnya erat. "Aku juga ngerasain hal yang sama. Tapi, aku percaya sama kamu. Sama keputusan yang nanti kamu ambil. Kamu nggak harus ngejalanin ini sendirian, kita ada di sini buat bareng-bareng. Kalau kamu butuh waktu buat mikir, ya ambil waktu itu. Jangan merasa terburu-buru."

Mendengar kata-kata Ayya, Ferdy merasa sedikit lebih tenang. Ia menatap tangan Ayya yang menggenggam tangannya, merasakan kehangatan yang mengalir di antara mereka.

"Kamu yakin kita bisa jalanin ini tanpa kehilangan diri kita?" tanya Ferdy, setengah bertanya pada dirinya sendiri.

Ayya tersenyum lembut. "Aku yakin. Selama kita tetap solid, apapun yang terjadi nanti, kita nggak akan kehilangan diri kita. Kita ada karena kerja keras kita sendiri, dan itu yang bikin kita kuat."

Ferdy terdiam, membiarkan kata-kata Ayya meresap dalam hatinya. Mungkin memang benar, apapun keputusan yang diambil, yang paling penting adalah mereka tetap bersatu. Karena dalam persatuan itu, mereka menemukan kekuatan.

---

Keesokan harinya, suasana di hotel terasa lebih tenang. Para personil Dolfin Band sibuk dengan persiapan menjelang final Rock Island yang tinggal beberapa hari lagi. Di ruang latihan yang telah mereka sewa, mereka kembali berlatih dengan serius, meski ketegangan masih terasa di udara.

Di sela-sela latihan, Damas menghampiri Ferdy yang sedang duduk sambil memetik gitar, berusaha mencari melodi baru yang cocok untuk lagu mereka.

"Fer, lo udah mikirin soal tawaran Ryan?" tanya Damas tanpa basa-basi.

Ferdy menatap Damas dengan pandangan yang penuh pertimbangan. "Gue masih bingung, Mas. Di satu sisi, ini kesempatan besar. Tapi di sisi lain, gue nggak yakin apakah kita siap buat ngambil risiko itu."

Damas mengangguk, seolah memahami dilema Ferdy. "Gue ngerti, Fer. Tapi lo harus inget, kita udah jauh sampai sini. Gue percaya sama insting lo. Kalo lo ngerasa ada yang nggak beres, mungkin emang ada sesuatu yang harus kita pertimbangin lebih dalam."

Ferdy menghela napas panjang, menatap lantai sejenak. "Gue juga nggak pengen bikin keputusan yang buru-buru. Tapi Ryan bilang, kesempatan kayak gini nggak datang dua kali."

"Ya, tapi kalo kesempatan itu ternyata lebih banyak ruginya daripada untungnya, apa kita masih mau ambil?" Damas menyela, suaranya tegas tapi tetap bersahabat. "Gue nggak bilang kita harus tolak tawaran itu, tapi kita juga nggak boleh gegabah. Lo bilang sendiri, kita nggak mau kehilangan identitas kita sebagai band."

Ferdy terdiam. Kata-kata Damas benar-benar menusuk tepat di inti keraguannya. Menjadi besar di industri musik adalah impian mereka, tapi jika harus membayar dengan kehilangan jati diri, apakah itu sepadan?

---

Malam harinya, Ferdy duduk di sebuah kafe kecil yang terletak tidak jauh dari hotel mereka menginap. Di meja sebelah, Ryan duduk dengan tenang, menyeruput kopi hitamnya sambil menatap Ferdy dengan pandangan tenang tapi penuh perhitungan.

"Jadi, apa keputusan lo, Ferdy?" tanya Ryan, suaranya terdengar datar, namun ada sedikit tekanan di baliknya.

Ferdy menatap Ryan, mencoba membaca ekspresi pria di depannya. Ryan adalah orang yang pandai menyembunyikan maksud di balik kata-katanya, dan itu membuat Ferdy semakin waspada.

"Gue belum bisa kasih jawaban sekarang," kata Ferdy dengan hati-hati. "Ini keputusan besar, dan gue butuh waktu buat mikir."

Ryan tersenyum tipis, seolah sudah menduga jawaban itu. "Gue paham, Fer. Tapi lo harus tau, waktu nggak selalu ada di pihak kita. Kesempatan kayak gini nggak datang setiap hari. Lo harus cepat ambil keputusan sebelum pintunya tertutup."

Ferdy mengerutkan kening. "Kenapa lo begitu yakin kita bisa sukses kalau kita ikut sama lo?"

Ryan meletakkan cangkir kopinya, lalu menatap Ferdy dengan tatapan serius. "Karena gue udah ngeliat banyak band kayak lo, Fer. Band yang punya potensi gede, tapi nggak tau gimana cara main di industri. Gue udah ada di industri ini cukup lama buat ngerti gimana caranya bikin band lo jadi besar. Tapi lo harus siap ambil risiko. Dan lo harus siap kehilangan sesuatu buat itu."

Kata-kata terakhir Ryan menggema di pikiran Ferdy. Kehilangan sesuatu. Tapi apa? Ryan tidak pernah menjelaskan dengan detail, dan itu yang membuat Ferdy semakin ragu.

"Apa yang harus kita hilangin?" tanya Ferdy, mencoba menekan perasaan gelisahnya.

Ryan tersenyum samar, lalu bersandar di kursinya. "Nggak semua bisa gue kasih tau sekarang, Fer. Tapi lo harus percaya sama gue, kalo lo mau sukses, kadang lo harus siap ninggalin beberapa hal di belakang."

Ferdy menatap Ryan, mencoba mencari kebenaran di balik kata-kata samar itu. Namun semakin ia mencari, semakin sedikit yang ia temukan. Semua ini seperti permainan teka-teki, dan Ferdy tidak yakin apakah ia siap memainkannya.

---

Setelah pertemuannya dengan Ryan, Ferdy kembali ke hotel dengan hati yang masih bimbang. Namun, satu hal yang pasti, ia tidak bisa mengambil keputusan ini sendirian. Sesampainya di kamar, ia langsung mengumpulkan semua personil Dolfin Band di ruang tamu hotel.

"Ada yang perlu kita omongin," kata Ferdy, suaranya serius namun penuh pertimbangan.

Ayya, Iqbal, Damas, Puji, dan Tiara menatap Ferdy dengan penasaran. Mereka tahu, ini pasti soal pertemuannya dengan Ryan tadi malam.

Ferdy menarik napas panjang, lalu mulai berbicara. "Gue udah ketemu lagi sama Ryan. Dia bilang, kita punya kesempatan buat jadi besar, tapi kita harus siap buat ninggalin sesuatu. Dia nggak jelas ngasih tau apa yang bakal kita hilang, tapi gue ngerasa ada yang nggak beres."

Semua terdiam, mencerna informasi yang baru saja diberikan.

"Menurut gue, kita harus hati-hati banget sama tawaran ini," kata Damas akhirnya, dengan nada serius. "Gue setuju, kesempatan ini gede. Tapi kalo kita nggak tau apa yang bakal kita korbankan, kita bisa jatuh ke lubang yang nggak bisa kita keluarin."

Iqbal mengangguk setuju. "Gue juga ngerasa gitu. Gue nggak mau kita kehilangan kendali atas band ini. Kita udah kerja keras sampe sini, gue nggak mau semuanya sia-sia cuma karena kita salah langkah."

Ayya menatap Ferdy dengan penuh perhatian. "Kita nggak harus buru-buru ambil keputusan, Fer. Yang penting kita tetap solid dan bareng-bareng

nentuin langkah kita."

Ferdy tersenyum tipis, merasa beban di pundaknya sedikit terangkat. "Gue setuju. Kita bakal jalanin ini bareng-bareng. Apapun yang kita putusin nanti, itu bakal jadi keputusan kita semua."

Malam itu, di bawah langit Jakarta yang berkilauan, mereka kembali menemukan kekuatan dalam kebersamaan. Meski ada banyak pertanyaan yang belum terjawab, satu hal yang pasti: mereka tidak akan melangkah sendirian. Apapun yang menunggu di depan, mereka akan hadapi bersama, sebagai satu band, satu keluarga.

Dan dengan itu, Ferdy tahu, apapun keputusan yang diambil nanti, mereka sudah siap menghadapi segala konsekuensinya.

1
Murni Dewita
👣
☠️F3r57☠️: /Smile/
total 1 replies
范妮·廉姆
Hai kak salam kenal...
saya Pocipan ingin mengajak kaka untuk bergabung di Gc Bcm
di sini kita adakan Event dan juga belajar bersama dengan mentor senior.
jika kaka bersedia untuk bergabung
wajib follow saya lebih dulu untuk saya undang langsung. Terima Kasih.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!