Bagaimana jadinya jika siswi teladan dan sangat berprestasi di sekolah ternyata seorang pembunuh bayaran?
Dia rela menjadi seorang pembunuh bayaran demi mengungkap siapa pelaku dibalik kematian kedua orang tuanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siastra Adalyn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25. Dira
Setibanya di kantin, mereka semua langsung memesan makanan dan segera mencari tempat duduk yang kosong, kecuali Dira. Dia berkata bahwa dia mau pergi ke toilet sebentar.
Saat Dira melangkah keluar dari toilet, ia terkejut melihat Agnes dan kedua temannya berdiri di hadapannya. Kenangan akan ketegangan mereka di hari pertama sekolah melintas dalam benaknya. "Apa kamu?! Mau cari masalah lagi?" tanya Agnes, dengan nada yang dingin.
Dira menelan ludah, berusaha tetap tenang. "Enggak kak, aku cuma mau kembali ke kantin," jawabnya, berusaha mengalihkan perhatian.
Agnes mengangkat alis, raut wajahnya tampak kesal. Sebelum Dira bisa melanjutkan langkahnya, Agnes berkata dengan suara yang berat, "Hei, culun. Bilang pada temanmu yang rambut biru itu untuk segera menemuiku sepulang sekolah nanti di halaman belakang sekolah"
Dira terkejut mendengar perintah itu dan merasakan jantungnya berdebar. "Memangnya ada urusan apa kak?" tanya nya, berusaha menjaga nada suara agar tetap tenang.
Agnes menatapnya tajam, "Aku masih punya urusan dengannya. Ingat, kalau dia tidak datang, kau yang akan menggantikan dia dan menerima konsekuensinya."
Dira merasakan bulu kuduknya merinding mendengar ancaman itu.
"Maaf, tapi kalau seperti itu..." ujarnya, ragu.
Agnes mendekat, suaranya rendah dan tegas. "Itu bukan urusanku. Cepat sampaikan pesan ini. Dia harus datang. Jika tidak, aku tidak segan-segan untuk mengurus masalah ini dengan cara lain."
Dira mengangguk pelan, merasa tertekan. "Ba-baik, akan aku sampaikan," jawabnya, meski rasa cemas terus menggelayuti pikirannya.
Setelah Agnes pergi, Dira kembali ke kantin dengan hati yang berat, namun dia segera menyembunyikan perasaannya itu dan berusaha kembali tampil ceria di depan teman-temannya. Ia segera menghampiri tempat duduk dimana Agacia dan yang lainnya berada.
"Lama juga dari toiletnya," celetuk Leo sambil tersenyum.
"Apa terjadi sesuatu?" Tanya Agacia yang duduk di sebelahnya.
"Tidak kok" Jawab Dira sambil membuka sebungkus roti yang tadi dia pesan. Ia mencoba tersenyum, tetapi rasa cemas di dalam hatinya sulit untuk disembunyikan
Agacia mengerutkan dahi, masih tampak curiga. "Kau yakin?"
Dira tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana. "Aku cuman kebelet kok. Kenapa sih? Sepertinya MBTI-mu F ya, haha." Ia menggigit roti di tangannya.
Agacia masih menatap Dira dengan tatapan curiga. Dira mencoba mengalihkan topik pembicaraan mereka dengan membuka percakapan lain. “Eh, ngomong-ngomong, kalian sudah buat kelompok untuk tugas tadi?"
Leo, yang duduk di hadapan Dira, menggeleng. "Belum, kalau begitu kita berlima saja.Kau, aku, Agacia, Alvin dan Daffa. Jadi pas kan" Ucap Leo.
"Boleh, aku setuju" Jawab Alvin, Dira dan Daffa juga mengangguk setuju.
"Oke, kalau begitu nanti kita tinggal bagi tugas saja biar lebih cepat selesai, kerja kelompok nya mau di rumah siapa?" Leo bertanya kembali pada teman-temannya.
Dira menggaruk kepalanya lalu kembali berbicara "Maaf, kalau di rumah ku tidak bisa karena sedang ada renovasi."
Alvin menimpali, "Di rumahku ada ruang tamu yang cukup luas. Kalian bisa datang ke sana."
Daffa mengangguk. "Setuju. Jarak rumah Alvin dekat juga dari rumahku."
Leo menambahkan, "Kalau begitu kita sepakat di rumah Alvin saja ya. Kapan kira-kira kita mulai?"
Agacia, yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara. "Bagaimana kalau besok sore sepulang sekolah? Supaya kita punya cukup waktu untuk diskusi dan lebih santai."
Semua tampak setuju dengan usulan Agacia. "Baiklah, besok sore di rumah Alvin ya. Jangan lupa bawa referensi masing-masing untuk perbandingannya" kata Leo sambil mendorong piring kosong dari hadapannya. .
"Oke," jawab Daffa sambil memasukkan handphone ke sakunya.
Setelah makan dan diskusi nya selesai, mereka pun beranjak dari tempat duduk nya dan mulai kembali ke kelas.
Saat mereka berjalan ke kelas, suasana terasa lebih santai. Alvin dan Leo mengobrol sambil bercanda, sementara Daffa sesekali ikut menimpali. Namun, Dira tetap diam, pikirannya masih berkutat pada ucapan Agnes sebelumnya. Apakah dia harus memberitahu Agacia atau tidak.
Dira merasakan perdebatan batin yang semakin berat. Di satu sisi, ia ingin melindungi Agacia dari masalah yang mungkin datang nantinya jika Agacia pergi menemui Agnes. Di sisi lain, Dira juga tidak ingin terlibat dalam konflik yang lebih besar.
Saat kelas dimulai pun, Dira masih terjebak dalam pikirannya, mencuri pandang ke arah Agacia yang duduk disebelahnya. Karena merasa di perhatikan, Agacia langsung menoleh dan bertanya pada Dira "Kenapa? Sejak di kantin tadi kau terus memperhatikanku, apa ada yang ingin kau katakan?".
Karena pada dasarnya Agacia adalah pembunuh bayaran, jadi insting dan ke pekaannya lebih tajam dari orang lainnya.
Dira terkejut ketika Agacia menoleh dan langsung mengajukan pertanyaan. "Aku... sebenarnya ada yang ingin aku katakan," jawab Dira, berusaha tidak menunjukkan kegugupannya.
Agacia memperhatikan dengan serius, matanya menatap tajam ke arah Dira . "Apa yang terjadi? Jika ada yang ingin kau katakan, lebih baik langsung katakan saja."
"Ah, itu..."
.
.
.
.
.
Bersambung...
Panjangin lah thorr/Whimper/