Guliran sang waktu mengubah banyak hal, termasuk sebuah persahabatan. Janji yang pernah disematkan, hanyalah lagu tak bertuan. Mereka yang tadinya sedekat urat dan nadi, berakhir sejauh bumi dan matahari. Kembali seperti dua insan yang asing satu sama lain.
Kesepian tanpa adanya Raga dan kawan-kawannya, membawa Nada mengenal cinta. Hingga suatu hari, Raga kembali. Pertemuan itu terjadi lagi. Pertemuan yang akhirnya betul-betul memisahkan mereka bertahun-tahun lamanya. Pertemuan yang membuat kehidupan Nada kosong, seperti hampanya udara.
Lantas, bagaimana mereka dapat menyatu kembali? Dan hal apa yang membuat Nada dibelenggu penyesalan, meski waktu telah membawa jauh kenangan itu di belakang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leova Kidd, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Wellcome Sweet Seventeen
Sekolah sedang libur panjang kenaikan kelas. Siswa yang naik ke kelas tiga mengikuti program PSG tahap dua selama satu bulan. Aku bersama enam teman lain yang tergabung dalam satu kelompok, memperoleh tempat PSG di Kantor DPU-BPJ Kota Madiun. Gedung kantornya terletak di Jalan Pahlawan, berseberangan dengan Balaikota.
Berhubung lokasi PSG lumayan dekat, terjangkau hanya dengan naik Angkutan Kota (Angkot), maka pukul 4 sore sudah cukup santai buat aku. Hal ini membuatku bisa sedikit meringankan pekerjaan Bapak. Membantu menyiram bunga, contohnya.
Seperti sore itu. Aku tengah menyiram bunga di halaman depan ketika tiba-tiba ada motor berbelok masuk. Kawasaki Ninja biru yang sudah aku hafal luar kepala siapa pemiliknya.
Perbincangan bersama Taufik sore itu rupanya cukup berdampak. Sehari setelahnya, Raga betul-betul datang berdua dengan Satria.
Bapak mengambil alih selang di tanganku. “Ajak masuk tamunya!” perintah lelaki berkulit legam—akibat sengatan matahari—tersebut seraya melanjutkan pekerjaanku.
Aku berjalan menghampiri Raga dan Satria yang duduk di teras.
“Ngobrol di dalam, yuk!”
“Di sini aja, Nad.” Satria menjawab ajakanku.
Dengan ekor mata, aku melirik Raga yang—sialnya—sedang memandangiku. Tatapan kami bertemu, membuatku salah tingkah.
Hari itu Raga jauh lebih pendiam. Percakapan didominasi oleh Satria. Untung tak lama kemudian Ronald dan Taufik datang. Terselamatkanlah suasana canggung tersebut.
“Ajak masuk temannya!” tegur Bapak sekali lagi, sembari menggulung selang.
“Iya Pak,” sahutku, lalu kembali berpaling kepada empat sekawan yang duduk di hadapanku. “Ayo masuk! Diomeli Bapakku tuh. Enggak takut?” ajakku sekali lagi, disertai sedikit ancaman. Tentu saja ancaman dalam nada gurau.
Kali ini mereka gentar dan tidak berani menolak. Bagai bebek digiring penggembala, keempatnya berduyun-duyun menuju ruang tamu. Kami melanjutkan obrolan di tempat yang memang seharusnya untuk para tamu.
“Kau makin hitam, Nad!” celetuk Ronald. Sorot matanya lekat mengamatiku. Belum sempat aku menjawab, dia sudah berujar lagi. “Iya, nih! Nada tambah item. Keluyuran terus ya kau?”
Aku memandangi kedua tangan dan kaki bergantian, mengusap lengan sembari tersipu malu. Ronald benar, aku memang bertambah hitam. Masuk akal, sih. Hampir setiap Minggu kelayapan ke luar kota. Mendaki gunung, masuk ke pelosok-pelosok desa, kadang tidak mandi, menikmati hujan dan panas di alam bebas. Jika kebetulan bertemu daerah yang airnya keruh, mandi pakai air keruh. Pakai air lumpur pun pernah. Harus diterima, harus dijalani, sebab itu konsekuensi menjadi petualang.
“Nada gabung di kegiatan pencinta alam. Iya kan, Nad?” Taufik mewakili jawaban yang belum sempat aku cetuskan. “Makanya kemarin kami ketemu di Unmer. Teman Nada ikut lomba panjat.”
Satria, Ronald, dan Raga, ketiganya sama-sama kaget mendengar penjelasan Taufik. Terutama Raga. Tatapannya mengisyaratkan rasa tidak percaya dan seolah meminta penjelasan, meski mulutnya masih bungkam.
“Memang iya, Nad?” Ronald yang bereaksi lebih dulu.
Aku mengangguk tipis sembari melayangkan pandangan lurus ke arah Raga. Sejak datang dia sama sekali belum mengeluarkan suara. Hanya matanya saja yang terus memelototiku. Entah apa maksudnya? Mungkin dia lagi panas dalam, makanya malas bicara.
“Eh, Koko mana?” Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibirku. Maksud hati ingin membuat suasana jadi cair. “Kok nggak ikut?”
“Kangen ya?”
Aku tercekat. Tenggorokan rasanya menyempit seketika. Itu kalimat pertama yang Raga ucapkan setelah sekian lama diam. Namun, nada bicaranya terdengar sinis. Setidaknya itu yang aku rasakan.
“Eh? Nggak! Apaan, sih?" Aku meringis, lalu tertawa sumbang. Baru sadar kalau sudah salah bicara.
“Kevin masih di Surabaya.” Satria membantuku keluar dari situasi sulit. Cowok itu betul-betul pahlawanku yang bijaksana. Sikapnya dewasa, mengayomi, dan selalu mendamaikan para sahabat, membuatku kadang tak percaya kalau usianya sepantar dengan kami.
“O iya, katanya pada mau kuliah di Surabaya?” tanyaku kemudian, berusaha memasang sikap wajar, meski sebetulnya ada puing-puing hati yang berjatuhan. “Kapan berangkat?”
“Minggu depan.” Lagi-lagi Satria yang menjawab.
“Seminggu lagi, ya?” Aku menunduk sedih.
“Masih ada waktu sepuluh hari.”
Tiba-tiba Ronald berdiri. “Eh, aku duduk di luar dulu, ya?” Cowok itu menaik turunkan alis seraya menempelkan jari telunjuk dan jari tengah pada bibir, lalu melepasnya seperti gerakan orang merokok. “Biasa,” imbuhnya kemudian.
Tanpa menunggu jawaban, dia bergegas keluar disusul oleh Taufik. Untuk apa lagi jika bukan demi mengisap lintingan tembakau. Anak itu benar-benar tak bisa terpisahkan dengan asap.
Sementara Raga hanya diam, bersandar di sofa sembari terpaku memandangiku dengan sorot mata anehnya. Sebuah sikap yang aku rasa bisa membuatku terserang mental breakness. Bagaimana aku tidak frustrasi coba? Dia bersikap seakan menghadapi pesakitan di hadapan forum peradilan.
Karena sudah putus asa dan tak tahu harus bersikap bagaimana, aku memilih untuk mengabaikan hal itu. Akhirnya, aku fokus kepada Satria. Hanya dia satu-satunya yang bisa diajak berbicara dengan wajar.
“Semua masuk di kampus yang sama, Sat?”
“Iya. Di UPN.”
“Fakultas juga sama?”
“Jurusannya pun sama.”
Sekali lagi kulirik Raga. Ternyata masih seperti tadi. Cara dia menatapku persis seorang Bapak yang sedang memurkai anaknya. Hanya berbeda di sorot mata. Orang bilang, mata adalah jendela hati. Jika itu benar, mungkin aku tidak sedang kebaperan. Biarpun ekspresinya dibuat sesangar mungkin, sebetulnya cowok itu tengah menahan rindu yang teramat sangat.
“Ga!” tegur Satria seraya menepuk pundak sahabatnya. Raga tergelagap. Fix! Barusan dia melamun. “Tadi katanya ada yang mau diomongin. Nyampe sini malah diem aja. Nanti kalau sudah pulang nyesel lagi.”
“Apaan?” Si gingsul berkilah.
“Lah, kamu itu! Katanya ada yang mau disampaikan ke Nada.”
Raga kembali diam. Sikapnya benar-benar aneh. Sumpah, aku gemas. Andai saja di dunia ini tidak ada rasa malu, sudah kujambak rambutnya.
“Oke, aku keluar aja,” pupus Satria kemudian, lalu beranjak dari sofa. Raga sempat menahan cowok berbadan atletis tersebut, tapi tangannya ditepis. “Sudah dewasa, selesaikan dengan dewasa juga.”
Setelah itu, Satria pergi menyusul dua sahabat yang lain. Tinggallah aku dan Raga berduaan dalam situasi tak karuan. Sepeninggal Satria, suasana bukan membaik, justru semakin parah. Aku tidak tahu harus memulai obrolan dari mana.
Hingga akhirnya, sebuah pertanyaan bego keluar dari mulutku. Pertanyaan goblok yang setelah terlontar ingin rasanya aku jilat kembali kata per kata.
“Menurut Mas Raga, aku beneran makin item nggak, sih?”
“Kata siapa,” jawab Raga singkat. Lalu, tatapannya fokus ke arahku. “Menurut Mas, Adek nggak pernah berubah.”
“O ya?”
“Mau kulitnya hitam, wajahnya jerawatan, bagi Mas Raga sama saja. Tetap istimewa.”
Hidungku mekar mendengar pujian yang Raga berikan. Kepala serasa membesar saking tidak kuatnya menahan hati yang mengembang.
“Selama ini Mas Raga mengenal Adek bukan lewat mata. Mas Raga melihat dari hati. Mungkin itu yang membuat pandangan Mas Raga beda. Maaf ya.”
Lah? Kok jadi begini?
“Kenapa harus minta maaf?” Aku melongo, menatapnya hampa. Serasa dibanting ke bumi setelah barusan dilambungkan ke awang-awang.
“O iya, Sabtu nanti ada waktu nggak?”
Dasar manusia random! Pembahasannya selalu saja loncat sana loncat sini.
“Sabtu? Harus Sabtu, ya?”
“Kenapa?”
Aku menatap ragu. “Emmm, anu... kalau Sabtu, aku ada kegiatan.”
“Pencinta alam?”
“Iya,” sahutku lirih. “Biasanya Sabtu dan Minggu ke luar daerah. Memangnya kenapa, Mas?”
Sesaat Raga hening. Ekspresinya tampak sedang berpikir keras.
“Jadi kapan ada waktu? Mas Raga mau ngajak Adek jalan-jalan.” Raga berucap lirih seolah menahan kesedihan. “Sebelum berangkat ke Surabaya,” imbuhnya kemudian seraya tertunduk dalam.
“Tanggal berapa berangkat?”
“22.”
“Tapi kalau malam Minggu aku nggak bisa, Mas.”
“Bisanya malam apa? Malam Jumat?”
Aku terkekeh. “Nanti malam saja gimana?”
“Jangan malam ini juga,” tolak Raga serta merta.
“Memangnya mau ke mana, sih?”
“Suatu tempat yang tenang.”
“Masjid, pas sepertiga malam. Dijamin tenang banget itu.”
Tawa salah satu penduduk bumi yang berpredikat tampan itu membahana memenuhi ruang tamu. Singkat, tapi lumayan melegakan.
“O iya, hampir lupa.” Raga berdiri, merogoh saku belakang celana jeans yang dia pakai. “Mas Raga ada sesuatu buat Adek.”
“Sesuatu apa?”
“Kado ulang tahun. Maaf telat ngasihnya. Hari itu sebetulnya Mas mau ke sini. Tapi nggak jadi karena ternyata ada yang harus kami urus di Surabaya.”
Sepasang mataku menghangat dan basah. Rasa bersalah bertubi-tubi menyerang pertahanan hati. Cowok ini, bahkan saat berjauhan pun dia masih mengingat ulang tahunku. Dia masih sempat menyiapkan kado.
Sementara aku? Aku kembali melupakan satu hal bahwa dua hari sebelum hari itu adalah hari ulang tahunnya. Aku ini betul-betul sahabat yang payah.
Raga menghampiri tempatku duduk dan berdiri di belakang sofa. Sebuah kalung berbahan perak murni dengan liontin separuh hati, dia lingkarkan di leherku.
“Wellcome sweet seventeen,” bisiknya di samping telinga. Dan sebelum aku sempat mengeluarkan reaksi apapun, secepat kilat dia kecup ujung kepala gadis belagu ini.
Mataku terbeliak kaget. Itu pertama kali—setelah memasuki usia balig—ada lawan jenis yang berani menciumku. Meski dengan cara mencuri dan disarangkan pada ubun-ubun, getarnya bisa aku rasakan hingga sekarang.
Like people said, that something of first time you get, will be a something that hard to forget.
🍁🍁
gabung yu gc bcm
caranya wajib follow akun saya ya
spaya bs sy undang mksh.