Candra seorang istri yang penurunan tapi selama menjalani pernikahannya dengan Arman.
Tak sekali pun Arman menganggap nya ada, Bahkan Candra mengetahui jika Arman tak pernah mencintainya.
Lalu untuk apa Arman menikahinya ..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon laras noviyanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch 26
Rizal berdiri di depan cafe, memandangi papan nama yang bersinar dengan lampu kuning lembut. Wajahnya menyiratkan harapan saat dia menunggu Candra keluar. Dia memeriksa jam tangan, lalu mengacak rambutnya dengan gugup.
“Rizal!” Candra muncul, senyum ceria menghiasi wajahnya.
“Candra!” Rizal melangkah maju, mata bercahaya melihatnya. “Kau siap untuk akhir pekan ini?”
“Siap sekali,” jawab Candra, malu malu.
“Apakah kamu sudah siap untuk menikmati akhir pekan ini?” Rizal menatapnya, setiap detil wajahnya seolah menyimpan cerita.
Candra mengangguk, matanya bersinar. “Aku akan membawamu ke tempat yang tenang, jadi mari kita berangkat" Rizal membuka kan pintu mobil dengan lembut, gesturnya menunggu Candra masuk. Wangi ocean breeze langsung menyambut mereka saat pintu tertutup.
“Jadi, ke mana kita pergi?” Candra penasaran. "Kau akan tahu nanti" Rizal tersenyum.
Rizal mencoba menyembunyikan rasa gugupnya. "Satu kejutan di depan pantai. Aku yakin kamu akan suka."
Candra mengangguk, jantungnya berdegup cepat saat mobil melaju. "Kau tahu, aku sangat senang bisa menghabiskan waktu bersamamu," ucap Rizal.
“Rizal, kenapa kau tiba-tiba mengajak pergi?” Candra memandangnya dengan penasaran, alisnya terangkat.
“Karena aku ingin mengenalmu lebih baik” Rizal menjawab dengan tulus, melirik sejenak ke arah Candra.
“Apa aku boleh bertanya" Candra bertanya . “Tentu, tanyakan saja.”
“Kenapa kau sangat peduli padaku dan ingin mengenal aku lebih jauh” Candra menghela napas, mencoba menyelami kedalaman perasaannya.
Rizal tertawa pelan, membiarkan pertanyaan itu menggantung di udara. “Karena kamu berbeda, Candra. Ada sesuatu tentangmu yang membuatku penasaran.”
Candra menggetarkan bibirnya, hatinya berdesir.
"Berbeda bagaimana?" tanyanya, suaranya lembut, seakan mencoba menggali jati diri yang Rizal lihat .
Rizal melirik ke arah jalan, lalu kembali kepada Candra, matanya penuh perhatian.
“Cara kamu melihat dunia,” jawabnya. “Kamu memiliki pandangan yang unik, seolah kamu mengerti lebih dari sekadar apa yang terlihat di permukaan.”
“Menarik,” Candra mengangguk, senyumnya mengembang. “Kadang, aku merasa tersesat dalam hidupku, seakan semua yang kulakukan tidak ada artinya.”
Rizal menoleh, menggenggam setir dengan kuat. “Kau tidak sendirian. Semua orang mengalami masa-masa sulit, Candra. Yang penting adalah bagaimana kita bangkit dari situasi itu.”
Candra menghela napas, mengingat kembali perjalanan emosionalnya. “Aku pernah menganggap hidupku akan lebih baik setelah bercerai dari Arman, tapi kenyataannya tidak semudah itu.”
“Perceraian adalah langkah besar,” Rizal menjawab, suaranya tenang. “Tapi itu juga kesempatan untuk menemukan dirimu kembali. Apa yang kamu inginkan sekarang?”
Candra terdiam, merenung sejenak. “Aku ingin menjalani hidup tanpa bayang-bayang masa lalu. Aku ingin meraih impianku dan benar-benar percaya pada diriku sendiri.”
Rizal mengangguk, penuh pengertian. "Itu adalah hal yang terbaik yang bisa kamu lakukan untuk diri sendiri, Candra. Kau layak mendapatkan kebahagiaan itu."
Candra menggigit bibirnya, meresapi setiap kalimat itu, merasakan ketulusan Rizal. “Aku sangat menghargainya, Rizal. Aku hanya merasa terjebak dalam kenangan.”
"Kenangan tidak akan pergi, tapi kau bisa menciptakan kenangan baru yang lebih indah," Rizal menjawab, suaranya penuh semangat.
Candra menatap ke luar jendela mobil, melihat lampu-lampu kota yang berkilauan, setiap cahaya mengingatkan akan peluang baru.
“Ketika kita sampai di pantai, apa yang ingin kau lakukan?” Rizal bertanya, suaranya lembut.
Candra tersenyum lebar, terbayang riuh ombak di pantai. “Aku ingin berjalan di tepian, merasakan pasir di antara jemari kaki. Mungkin kita bisa mengumpulkan kerang atau bermain air. Aku rindu suasana itu.”
Rizal tersenyum lebar, wajahnya bersinar seperti pagi. “Kedengarannya sempurna. Kita akan membuat hari ini tak terlupakan.”
Mobil meluncur mulus, suara musik lembut mengisi ruang. Candra merasakan tarikan kegembiraan, seperti ada petualangan baru yang menanti di depan.
Di sepanjang perjalanan, Candra dan Rizal bersenda gurau, tawa mereka membaur dengan suara mesin mobil yang bergetar lembut.
Candra merasa nyaman saat bersama dengan Rizal perlahan dia mulai melupakan kerumitan hidupnya sebelumnya.
Mereka meluncur di jalanan yang mulai sepi, dan udara segar dari laut yang mendekat tercium semakin jelas.
"Semakin dekat," Rizal berujar, matanya berkilauan penuh semangat.
Candra menggigit bibirnya, antusiasme membakar semangatnya. “Aku sudah tidak sabar!”
Mobil akhirnya berhenti, dan suara ombak menyambut mereka dengan merdu, membawa aroma asin yang menyegarkan. Candra melangkah keluar, menghirup udara laut dalam-dalam sambil menyipitkan mata di bawah sinar matahari yang cerah.
“Lihat itu!” Rizal menunjuk ke arah pantai yang membentang luas di hadapan mereka. Ombak berdebur lembut di pantai, mengajak mereka untuk mendekat.
“Ini indah sekali,” Candra berbisik, perlahan-lahan merasakan energi positif dari pemandangan itu.
“Cukup luar biasa,” Rizal setuju, matanya tak lepas dari wajah Candra. “Dengan pemandangan seperti ini, semua masalah tampak kecil.”
Candra berjalan mendekat ke garis air, merasakan ombak menyentuh kakinya, dingin dan menyegarkan. Senyumnya merekah, dia berputar ke arah Rizal.
“Rizal, bagaimana bisa kita tidak melakukan ini sebelumnya?” Candra menatap Rizal, mata mereka bertemu dan tersenyum.
“Karena aku tidak tahu seberapa menariknya, sampai hari ini,” Rizal menjawab, mengikuti langkahnya ke pantai. “Keberanianmu mendorongku untuk mengambil risiko juga.”
Candra melihat Rizal, wajahnya merona dalam cahaya senja, rasanya menyenangkan bisa bersikap bebas. “Aku sudah mengabaikan kebahagiaan untuk waktu yang lama,” katanya, suaranya lembut seolah ia meraba setiap kata.
“Setiap orang berhak untuk bahagia,” jawab Rizal dengan lembut. “Kau tidak perlu merasa bersalah tentang itu.”
Mereka berdua berjalan, menyusuri pantai. Angin laut meniup lembut, menyentuh kulit mereka. Candra menatap jauh ke lautan, gelombang yang berulang seolah menari mengikuti irama alam.
“Kalau dipikir-pikir, semua menjadi lebih kuat ketika kita menjalani hidup dengan kejujuran,” Candra berkata, menatap ombak.
Rizal berhenti sejenak, merenungkan kata-kata Candra. "Kejujuran itu seperti ombak, tidak bisa dihindari. Begitu kamu menerimanya, kamu tidak akan terguncang."
Candra menaikkan alisnya. “Bagus sekali, aku suka metafora itu. Mari kita buat pernyataan di atas pasir.” Dia mengambil sebatang kayu dan mulai menggambar di pasir.
“Di mana kita akan menemukan kenyataan kita, Candra?” Rizal melangkah mendekat, menatap koridor yang mulai terbentuk di pasir.
“Ini memang tempat yang ideal untuk menemukan diri kita,” Rizal bertanya, mundur sejenak untuk melihat karya Candra.
Candra tersenyum, akan tetapi terus menggambar, satu huruf demi satu huruf. “Mari kita tulis ‘Kebahagiaan adalah hak setiap orang’.”
Rizal mengangguk, terkesan dengan ide itu. “Sederhana, tetapi sangat mendalam.”
...****************...