“Glady, tolong gantikan peran kakakmu ! “ ujar seorang pria paruh baya tegas kepada putri semata wayangnya.
Glady Syakura, berusia 17 tahun harus menggantikan peran kakak angkatnya yang pergi begitu saja setelah menikah dan melahirkan kedua anaknya.
“Peran kakak ? “ tanya Glady bingung yang saat itu hanya tahu jika dirinya hanya membantu kakaknya untuk mengurus Gabriella yang berusia 6 bulan dan Gabriel yang berusia 4 tahun.
***
“APA ?! KAMU INGIN BERCERAI DENGANKU DAN MENINGGALKAN KEDUA ANAK KITA ?! “ teriak seorang pria tampan menggelegar di seluruh ruangan. Saat istrinya menggugat dirinya dengan alasan yang tak masuk akal.
“KAMU AKAN MENYESAL DENGAN PERBUATANMU, PATRICIA ! “
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dlbtstae_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dia lemah, dia selalu lemah !
Patricia duduk di sudut ruang tamu yang sepi, memandangi secangkir teh yang mulai mendingin di hadapannya. Pikirannya berputar-putar dalam lingkaran kebencian dan ketidakpuasan. Meski telah mempermalukan Glady di depan umum, melampiaskan amarah yang telah lama membara di dalam hatinya, ada perasaan hampa yang tak bisa dihilangkan. Dia menginginkan lebih-lebih dari sekadar melihat Glady malu. Dia ingin adiknya itu benar-benar menderita, merasakan setiap rasa sakit yang pernah ia alami, seakan-akan balasan dari pengkhianatan yang tak pernah ada itu.
Telinga Patricia menangkap suara langkah kaki Jonathan dari arah dapur, tetapi dia tidak menoleh. Pikiran Patricia sibuk memikirkan langkah selanjutnya. Memikirkan cara untuk menyiksa Glady lebih dalam lagi, menciptakan luka yang takkan sembuh dengan cepat. Jonathan, yang baru saja meletakkan piring di atas meja, memandang istrinya dengan tatapan penuh kekhawatiran, tetapi memilih untuk diam.
Setelah beberapa saat, Patricia mengangkat ponselnya dan menelusuri kontak hingga menemukan nama yang ia cari, Tasya. Wanita seumuran Glady yang memiliki kebencian terhadap sosok Glady. Patricia tahu, jika ada seseorang yang bisa membantunya memperluas penderitaan Glady, maka itu adalah Tasya.
Tanpa ragu, Patricia menekan tombol panggil dan menunggu sambungan tersambung. Suara dering di ujung sana seakan menambah ketegangan dalam dadanya. Tak lama kemudian, terdengar suara angkuh dan sombong dari Tasya di ujung telepon.
"Kak Patricia," suara Tasya terdengar familiar namun juga penuh keangkuhan. "Apa yang bisa gue bantu?"
"Tasya" Patricia memulai dengan nada dingin, "Kamu sudah siap untuk besok ? Lakukan hingga kamu berhasil menemui Glady dan menyerangnya,"
Ada jeda singkat sebelum Tasya menjawab, seolah-olah dia sedang menimbang-nimbang sesuatu. "Siap dong kak ! Gara-gara dia, Kak Dalvin membenci gue ! Tapi Kak Patricia, apakah lo yakin ingin terus melanjutkan ini? Mengapa tidak lo biarkan saja semuanya berlalu? Glady sudah cukup terhina karna lo hari ini."
Patricia mendesah berat. "Belum cukup, Tasya. Aku ingin dia merasakan apa yang aku rasakan. Aku ingin dia merasakan ketidakberdayaan yang dulu pernah kurasakan. Dia tidak bisa lolos begitu saja."
"Lo tahu bahwa ini bisa menjadi bumerang, kan?" Suara Tasya terdengar khawatir. "Glady mungkin lebih kuat dari yang lo kira. Gue takut nerima resiko kedepannya. Tapi gue juga tidak mau melewati kesempatan ini ! Gue udah lama dendam dan ingin menyakiti Glady ! “
Patricia tertawa kecil, tanpa humor. "Kau tidak mengenal Glady sepertiku, Tasya. Dia lemah. Dia selalu lemah. Dan aku akan pastikan dia tetap seperti itu."
Tasya terdiam sesaat, lalu terdengar suara nafasnya yang panjang. "Baiklah, kalau itu yang lo inginkan. Gue akan meminta temen-temen gue untuk ketemu sama lo dan melaporkan semuanya. Tapi gue harap lo siap dengan segala konsekuensinya, Kak Patricia. Ini bukan permainan anak-anak."
"Aku sudah siap sejak lama," jawab Patricia dengan nada mantap, meski di dalam hatinya ada sedikit keraguan yang bersembunyi di balik keyakinan itu. "Segera atur pertemuan itu."
"Baiklah," kata Tasya akhirnya. "Gue dan temen-temen gue akan menghubungi lo. Tapi ingat, Kak Patricia, setiap tindakan ada akibatnya. Jangan sampai lo menyesali keputusan ini."
Setelah menutup telepon, Patricia merasa sedikit lebih tenang. Namun, ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Sebuah pertanyaan kecil yang mulai merayap ke permukaan: Apakah dia benar-benar siap menghadapi konsekuensi dari apa yang telah ia rencanakan? Namun dengan cepat, dia menepis keraguan itu. Baginya, ini adalah perang yang harus ia menangkan, tak peduli seberapa dalam luka yang harus diciptakan.
“Heran, dia punya dendam kenapa masih ingat konsekuensinya. Niat balas dendam atau gimana sih ini anak ! “ kata Patricia heran sekaligus bingung dengan penyampaian Tasya yang sedikit tidak masuk akal.
Saat malam semakin larut, Patricia tetap duduk di ruang tamu, memikirkan setiap langkah yang akan ia ambil. Dia tahu, langkah selanjutnya adalah yang paling penting. Jika berhasil, Glady akan hancur; dan jika gagal, semua ini bisa berbalik menghancurkannya. Namun dalam pikirannya, hanya ada satu tujuan: memastikan Glady menderita, dan tidak ada lagi yang lain.
“Jika kami mudah mendapatkan ayahmu, tidak ada kemungkinan kami sulit mengambil alih warisanmu.. “
Tak lama ponselnya kembali berdering, Patricia tersenyum tipis. Nomor yang tidak dikenal muncul di layar, tetapi dia tahu persis siapa yang menelepon. Ini adalah awal dari fase baru dalam rencana balas dendamnya. Patricia menekan tombol jawab, siap untuk melanjutkan permainan berbahaya yang telah ia mulai.
“Lakukan sesuai rencana ! “ titahnya bangga.
*
*
*
*
Malam itu, Ganesha duduk di ruang keluarga dengan suaminya, menikmati waktu yang tenang setelah hari yang panjang. Sesekali, mereka saling bertukar pandang dan tersenyum, merasakan kebersamaan yang nyaman. Namun, di balik senyumnya, Ganesha menyimpan berita penting yang ingin disampaikan.
Setelah beberapa saat hening, Ganesha menghela nafas pelan dan memutuskan untuk berbicara. “Sayang,” panggilnya dengan lembut. Geon yang sedang membaca koran, menurunkan bacaan itu dan menatapnya dengan penuh perhatian.
“Ada apa?” tanyanya, merasakan nada serius dalam suara Ganesha.
“Aku baru saja menerima kabar dari Gelora,” jawab Ganesha, suaranya bergetar sedikit. “Dia akan pulang ke Indonesia besok.”
Suaminya terkejut mendengar berita itu. “Benarkah? Bagaimana bisa secepat itu? Aku pikir dia akan tinggal di luar negeri lebih lama.”
“Awalnya memang begitu,” kata Ganesha sambil menggenggam tangan suaminya. “Tapi sepertinya dia merindukan rumah, dan dia ingin menghabiskan waktu bersama kita. Apalagi setelah semua kejadian yang terjadi akhir-akhir ini.”
Suaminya mengangguk, mengerti. “Ini kabar baik, bukan? Aku yakin kita semua akan senang menyambutnya.”
Namun, Ganesha tak bisa menyembunyikan kegelisahannya. “Aku senang Gelora akan pulang, tapi ada sesuatu yang menggangguku,” ungkapnya pelan. “Aku khawatir tentang Glady.”
“Glady?” Suaminya menatapnya dengan bingung. “Apa yang membuatmu khawatir tentang Glady?”
Ganesha menundukkan kepala, merenung sebelum menjawab. “Gelora adalah adik dari mantan abang ipar Glady. Dan kau tahu bagaimana keluarga Patricia bisa sangat protektif terhadap satu sama lain. Aku takut jika Gelora tidak menyukai keberadaan Glady di sini. Aku takut dia mungkin akan mempermasalahkannya.”
Suaminya terdiam sejenak, memikirkan kata-kata istrinya. “Aku mengerti kekhawatiranmu. Tapi, putri kita sudah dewasa sekarang. Dia mungkin sudah berubah dan lebih bijaksana. Lagipula, Glady tidak melakukan kesalahan apapun. Jika Gelora memiliki masalah, kita bisa mengatasi itu bersama-sama.”
Ganesha tersenyum tipis, merasakan sedikit kelegaan dari kata-kata suaminya. “Kau benar,” katanya, meski hatinya masih diselimuti sedikit rasa takut. “Tapi aku tetap merasa perlu memberitahu Glady tentang kedatangan Gelora. Aku tidak ingin dia merasa terkejut atau terpojok.”
“Bagus kalau begitu,” jawab suaminya sambil mengelus punggung Ganesha dengan lembut. “Bicaralah pada Glady. Yakinkan dia bahwa kita ada di sini untuk mendukungnya, apapun yang terjadi.”
Ganesha mengangguk, bertekad untuk berbicara dengan Glady sesegera mungkin. Dia tahu bahwa ini bukan perkara mudah, tetapi sebagai ibu dan istri, dia merasa bertanggung jawab untuk menjaga keharmonisan di rumah mereka, terutama di saat-saat sulit seperti ini.
Sementara itu, Glady yang mendengar percakapan mereka dari balik pintu merasa dadanya sesak. Berita tentang kepulangan Gelora membuat pikirannya dipenuhi kecemasan. Meskipun dia tidak melakukan kesalahan dengan keluarga Ganesha, akan tetapi bayangan masalahnya dengan keluarganya masih menghantui. Dia takut, adik dari mantan abang iparnya akan menyalahkan dirinya, atau menganggap dia sebagai biang masalah rumah tangga abangnya.
“Apa Gelora akan menerimaku disini, atau sebaiknya aku mencari tempat tinggal sambil mencari kerjaan. Agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, “
Glady tahu bahwa Gelora adalah pribadi yang kuat dan mungkin tidak akan dengan mudah menerima dirinya. Dan meskipun Ganesha dan suaminya selalu mendukungnya, Glady tidak bisa menyingkirkan rasa takutnya.
Malam itu, saat Ganesha mendekatinya untuk menyampaikan kabar tentang kedatangan Gelora, Glady sudah tahu apa yang akan dibicarakan. Dia berusaha tersenyum, menyembunyikan rasa takutnya, dan mendengarkan dengan tenang. Namun, di dalam hatinya, Glady tak bisa menahan rasa cemas yang semakin kuat. Dia hanya bisa berharap bahwa kehadiran Gelora tidak akan mengubah hubungan baik yang sudah ia bangun dengan keluarga ini.