Memiliki Suami tampan,baik, penyanyang, pengertian, bahkan mertua yang baik adalah sebuah keberuntungan. Tapi bagaimana jika semua itu adalah hanya kamuflase?
Riska Sri Rahayu istri dari Danang Hermansyah. Mereka sudah menikah selama 4 tahun lebih namun mereka belum memiliki buah hati. Riska sempat hamil namun keguguran. Saking baiknya suami dan mertua nya tidak pernah mengungkit soal anak. Dan terlihat sangat menyanyangi Riska, Riska tidak pernah menaruh curiga pada suaminya itu.
Namun suatu hari Riska terkejut ketika mendengar langsung dari sang mertua jika suami nya sudah menikah lagi. Bahkan saat ini adik madu nya itu tengah berbadan dua.
Riska harus menerima kenyataan pahit manakala yang menjadi adik madu nya adalah sepupu nya sendiri.
Sanggupkah Riska bertahan dan bagaimana Riska membalaskan sakit hati nya kepada para pengkhianat yang tega menusuk nya dari belakang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim Yuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 26 Terbongkar
Sesuai kesepakatan, aku di dampingi Septia bertemu dengan calon pembeli di kantor notaris. Agar bisa segera sertifikat. Tentu, biaya untuk notaris kami bagi dua. Aku dan calon pembeli itu sudah kami sepakat berdua.
"Assalamualaikum, Mbak." Septia menyapa perempuan cantik yang kami temui di kantor notaris. Perempuan itu baru saja turun dari mobil Av*nza.
"Septia? apa kabar? makin cantik aja kamu." Dua perempuan yang berbeda usia itu saling memeluk dan mencium pipi kiri dan kanan. Aku hanya tersenyum melihat nya.
"Alhamdulillah baik, Mbak. Mbak sendiri saja tidak bersama Mas Deni?." tanya Septia melepas pelukan mereka kemudian mengendarkan pandangan ke segala arah dan hanya mendapati perempuan cantik itu sendiri.
"Iyah Mbak sendiri. Mas Deni ada keperluan di kantor mengurus kepindahan nya ke sini. Mas Deni menyerahkan semua nya ke Mbak." jawab perempuan cantik itu.
"Oh begitu, Oh yah Mbak kenalkan ini Riska pemilik rumah yang akan di beli Mbak Tita." Septia memperkenalkan aku pada saudara suaminya.
"Masya Allah cantik sekali kamu de. Kenalkan saya Tita kania panggil saja saya Mbak Tita, sepertinya saya lebih tua dari mu yah." jawab Mbak Tita tersenyum ramah ke arahku mengulurkan tangannya ke arah ku, segera aku menyambutnya.
"Riska, Mbak. Senang bertemu dengan Mbak Tita."
Setelah sedikit berbasa basi, kami pun ke kantor notaris secara bersamaan.
Jual beli pun terlaksana tanpa kendala. Lalu notaris menjelaskan proses Ajb pun sudah selesai hanya tinggal menunggu balik nama sertifikat. Dan beliau bilang butuh waktu sekitar satu bulan, karena ada proses ke kantor desa dan lain sebagainya.
"Senang bertransaksi dengan kamu Riska." Mbak Tita mengulurkan tangan ke arahku kembali setelah kami ke luar dari kantor notaris tersebut.
"Saya pun sangat senang. Semoga di tangan Mbak Tita rumah itu menjadi berkah untuk semua anggota keluarga. Semoga kebahagiaan selalu menyertai Mbak Tita di rumah tersebut. Terima kasih banyak saya ucapkan untuk Mbak Tita."
"Sama-sama Riska. Setelah semua beres saya pun segera menempatinya. Barangkali ada barang yang mau kamu ambil silahkan di ambil." Mbak Tita berucap dari balik senyum manisnya.
Aku hanya bisa mengangguk setelah mendengarnya. Rencananya, malam ini aku akan pulang ke rumah itu. Mengambil baju-baju serta barang-barang pribadiku yang masih ada di sana. Untuk perabot serta furniture memang sudah aku hitung harganya. Dan semua itu sudah di bayar oleh Suaminya Mbak Tita melalui transferan kemarin sore. Berikut uang dan bangunan nya.
***
Sesuai rencana aku di temani Septia dan sepupunya yang merupakan supir travel mengambil baju-baju. Karena sudah terlarut malam tidak ada seorang pun yang melihat kedatangan ku. Semua aman. Berjalan sesuai dengan rencana.
Kutatap sekali lagi rumah yang empat tahun terakhir ku tinggali ini sebelum masuk ke dalam mobil. Banyak kenangan yang telah tercipta di kediaman ini. Sesak kembali menyergab dada saat mengingat bagaimana sikap manjanya mas Danang. Aku memejamkan mata saat bayangan romantis Mas Danang berlarian di kepala ini. Aku mengerjabkam berulang kali menahan bulir air mata agar tidak tumpah saat ingatan tentang perlakuan manis Mas Danang berseliweran di dalam memori ini.
Tapi, aku segera menyusut air mata saat teringat bagaimana laki-laki tidak tahu diri itu sanggup menyakiti ku.
"Sudah cukup Riska! Ayo cepat pergi. Cepat lupakan masa lalu mu. Kubur kenangan bersama Danang. Dia tidak pantas di kenang! buka lembaran baru, Riska!." Septia terus saja mengingatkan.
Iya, tidak seharusnya aku terus mengingat pria tidak tahu diri tersebut. Tapi, tidak apa aku sedikit mengenang serangkaian peristiwa di kediaman ini. Namun, setelah ini aku berjanji akan mengubur semua kenangan di sini. Sudah saatnya aku bangkit.
"Ris, ayo sudah malam. Bukankah kita harus kembali ke kampung halaman mu?." Aku mengangguk menanggapi ucapan Septia.
Lalu, dengan langkah pasti aku pun segera meninggalkan rumah tersebut.
Bu, Mas Danang, aku pergi! Jangan heran kalau rumah ini tidak bisa kamu buka kembali. Jangan mimpi untuk meminta uang bagian dari rumah ini. Selain uang renovasi yang kamu berikan, kamu tidak sedikitpun berhak atas harta ini.
***
Sebelum pulang ke rumah mama, aku menginap di rumah Septia. Sudah dua hari aku tinggal di sini menenangkan diri dari siapapun termasuk orang-orang kampung. Akan banyak kehebohan jika aku langsung pulang ke rumah, pasalnya aku pulang membawa banyak barang tanpa kehadiran Mas Danang.
Siang ini, aku di ajak Septia jalan-jalan ke taman kota, setibanya di sana kami di kejutkan oleh sesuatu.
"Ris, apa benar yang aku lihat itu?." tanya Septia merasa belum yakin dengan apa yang di lihatnya.
Aku tidak menjawab, mataku membola sesaat. Hatiku memang sempat panas sekian detik. Namun seluruh kemudian aku tersenyum melihat Mas Danang dan Siska yang sedang bergandengan tangan di taman kota, mereka seperti pasangan di mabok asmara. Dunia serasa milik berdua, mereka sama sekali tidak menyadari kehadiranku.
Aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini.
"Riska, mau apa kamu?." Aku yang hendak maju di tahan oleh Septia. aku tersenyum tipis ke arahnya. Dia tidak boleh tahu apa yang akan aku lakukan. Aku tidak akan membocorkan pada Septia sekalipun. Biarlah dia tahu dengan sendirinya.
.
.
.
Ku tepuk kedua pundak dua orang yang saat ini sedang duduk di taman kota depan Mesjid. Dua manusia yang sedang bercengkrama itu menatap ku dengan kaget. Dengan segera Siska membetulkan posisi duduknya. Kepala yang tadi bersandar di pundak suaminya, kini ia tegakkan dengan lurus. Genggaman tangan pun mereka lepaskan.
Wajah keduanya pun terlihat syok melihat kedatangan ku yang secara tiba-tiba.
"Mbak Riska," Siska salah tingkah. Tapi, detik berikutnya dia tersenyum licik.
Entah apa yang ada di pikirannya? Ah, mungkin dia merasa menang dan berhasil merampas suamiku. Tapi, bodo amat. Sudah basi.
Dengan tenang aku segera mengambil tempat duduk di sisi Mas Danang. Terlihat jelas wajah gelagapan dari pria setengah tampan setengah menjengkelkan.
"Tenang, kalem. Nggak usah kaget gitu! aku cuman mau nanya ini maksudnya apa ya? Kenapa kamu yang menemani Siska, Mas? Mengapa pula pake genggaman tangan segala? Apa suaminya Siska tidak marah melihat hal ini? Atau memang kamu lah suami yang sesungguhnya menjadi suami dari sepupuku itu, Mas?." Aku sudah lama mengetahui hal ini, merasa biasa saja. Sudah tidak ada rasa cemburu di dalam sini. Mungkin, aku sudah mati rasa di buat mereka.
Kutatap Mas Danang. Sayangnya, pria itu tidak berani menatapku. Dia membuang muka ke sembarang arah. Blingsatan.
Tangan kanan ku pun segera menyentuh pundak Mas Danang yang masih memandang ke arah lain.
Tidak sabar ingin melihat sorot matanya, wajah Mas Danang pun segera kuraup dengan kedua tangan ini. Mata kami terpaksa bersirobok.
"I-ini tidak seperti apa yang kamu maksudkan, Sayang. Ta-tadi Sis-"
.
.
.
Bersambung....
tinggalkan aja suamimu riska......