"Hanya memberinya seorang bayi, aku dapat 200 juta?"
***
Demi menyelamatkan nyawa putrinya yang mengidap penyakit jantung bawaan—Arexa Lyn Seraphine—terpaksa mencari pinjaman uang sebesar 200 juta dan ia hanya punya waktu semalam.
Tak ada pilihan lain, semesta mempertemukannya dengan Raffandra Mahendra, CEO dingin yang dikenal kejam dalam urusan bisnis. Arexa memberanikan diri mengajukan permohonan yang mustahil pada pria itu.
"200 juta? Jumlah yang sangat besar untuk kamu pinjam. Apa yang bisa kamu gadaikan sebagai jaminan?"
"Rahim saya, Tuan."
Tuntutan sang Mama yang memintanya untuk segera menikah dan juga rumor panas yang mengatakan dirinya bukan pria normal membuat Raffa akhirnya menyetujuinya dengan sebuah syarat.
"Bahkan uang ini akan menjadi milikmu, jika dalam waktu 6 bulan kamu berhasil mengandung anakku." ~Raffa
Apa yang akan terjadi dalam waktu 6 bulan itu? Di tambah rahasia Arexa yang terkuak membuat hubungan keduanya semakin rumit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kenz....567, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Persiapkan Dirimu
Raffa menatap Arexa dengan bingung dan heran, seolah tak percaya dengan pertanyaan yang baru saja terlontar. Wanita itu, yang telah memiliki seorang anak, malah bertanya tentang hal yang tak pernah ia alami sebelumnya. Sementara Raffa sendiri, meski usianya lebih matang, tak pernah sekalipun menyentuh ranah intim yang ditanyakan itu.
Ia berdehem pelan, mencoba menormalkan suasana. "Seharusnya kamu yang lebih tahu dari saya soal ini, bukan? Meski saya lebih tua, saya bahkan belum pernah punya pengalaman tentang ... proses itu."
Diam Arexa tak memuaskan Raffa. Ia akhirnya menambahkan, setengah bercanda, setengah bingung, "Ya ... ya mungkin rasanya seperti digigit semut."
Arexa mengerutkan dahi. "Berarti ... nggak sakit ya?"
Raffa mengangguk ringan. Tapi ketenangan itu tak bertahan lama. Kalimat Arexa berikutnya menyentaknya lebih dalam. "Apa Tuan tak masalah? Bukankah Anda tidak mau secara alami?"
Helaan napas panjang lolos dari bibir Raffa. Ia tahu kesepakatan telah dibuat. Tak ada jalan mundur. "Kamu tidak mau bayi tabung, bukan? Saya ... sudah terlanjur berjanji. Jadi, ya ... terpaksa." Ucapnya ringan, seolah sedang membicarakan pekerjaan biasa.
Arexa menunduk, menggenggam jemarinya erat-erat, menyembunyikan gemuruh dalam d4danya. "Bisakah saya ... diberi waktu untuk memantapkan hati?"
"Tentu," balas Raffa cepat. "Saya beri kamu waktu sampai ... besok malam."
"Heuh?" Suara Arexa nyaris tersedak udara.
.
.
.
Saat sarapan, kecanggungan menyelimuti antara mereka. Raffa merasa gelisah, entah karena perjanjian yang mereka buat, atau karena wajah Arexa yang terus membayang. Hingga akhirnya, Raffa memilih menyelesaikan sarapannya dengan terburu-buru sebelum pergi ker ruang keluarga.
"Ayah lihat Ci Telong?" tanyanya cemas, wajahnya memelas.
"Mungkin di taman belakang. Coba Mei cari." jawab Raffa, mengalihkan pandangan dari ponselnya.
Meira mengerucutkan bibir. "Belum makan itu Ci Telong. Kalau nda belnapas, Mei belcedih." lirihnya sebelum berlari lagi memanggil si kucing.
"Teloooong, Telooong, pulang ciniiii ... Mei kacih mujaeeeell!"
Raffa hanya bisa menghela napas, tersenyum kecil melihat kepolosan anak itu. Ada kehangatan yang menyusup ke dalam hatinya—sesuatu yang hampir ia lupakan sejak bertahun-tahun lalu.
Pekerjaan menantinya. Ia membaca beberapa email penting, lalu bersiap untuk pergi. Namun, di lorong, langkahnya terhenti ketika berpapasan dengan Arexa. Wanita itu baru saja mandi, dan mengenakan pakaian yang kemarin ia pilihkan. Meski sempat menolak, wanita itu akhirnya mengenakannya.
"Saya harus ke kantor. Ada yang kamu butuhkan?"
Arexa menggeleng pelan. Tapi sebelum ia berlalu, suara lirih memanggilnya. "Tuan ... jam berapa Anda kembali?"
Raffa menoleh, matanya sekilas menatap Arexa.
"Jam delapan. Persiapkan dirimu dengan baik." katanya tenang, lalu melangkah pergi.
Arexa mematung. Kedua tangannya saling merem4s, mencoba menguatkan dirinya sendiri. Matanya tertuju pada Meira yang muncul sambil memeluk erat si kucing, kucing yang dicari sejak tadi. Senyumannya, tingkahnya, membuat Arexa merasa bahagia. Andai Raffa tak memberinya uang itu, apa saat ini dirinya dapat melihat wajah tenang itu kembali?
"Malam ini ... aku akan menyerahkan diriku pada pria yang telah memberi harapan untuk Meira. Tak apa, karena aku ... memberikan diriku pada pria yang menjadi suamiku sendiri." bisiknya dalam hati.
Sementara itu, mobil Raffa melaju cepat menuju perusahaannya. Begitu tiba, Henry telah menunggu di pintu utama. Keduanya berjalan berdampingan, membicarakan pekerjaan.
"Adakan rapat siang ini. Panggil semua direktur, terutama yang bertanggung jawab atas proyek itu," perintah Raffa dingin.
Sesampainya di ruangannya, Raffa duduk di kursi kebesarannya. Matanya menatap lama pada foto keluarga di atas meja. Rindu menyelinap, tapi ada luka yang belum sembuh. Dua tahun ia menjauh ke Bali, bukan karena ingin, tapi karena lelah—lelah ditekan untuk menikah dan meneruskan garis keturunan.
"Aku akan pulang setelah permintaan kalian terpenuhi. Setelah ini ... semoga tak ada lagi yang kalian tuntut. Tugasku sebagai pewaris ... selesai."
Tiba saatnya rapat berlangsung tegas. Suaranya tajam, penuh wibawa, tak memberi celah bagi kesalahan. Matanya menatap semua karyawannya yang ia panggil dan bertanggung jawab dengan proyek yang sedang dirinya kerjakan.
Setelah banyak yang di bicarakan, akhirnya Raffa pun menutup rapat itu. "Saya tak mau ada satu pun kesalahan. Kalau proyek ini gagal, kalian semua yang akan menanggung akibatnya. Banyak yang ingin posisi kalian. Hargai pekerjaan kalian, jika tak mau kehilangan kesempatan ini," ucapnya sebelum meninggalkan ruangan.
Sesampainya di ruangannya, Raffa langsung menjatuhkan diri di kursi kebesaran dan bersandar lelah pada sandaran kursinya. Ia menarik dasinya yang merasa menceekik leher agar pernapasannya pun lebih lega.
"Henry, masih ada pekerjaan untuk saya hari ini?"
Henry menggeleng sambil menyerahkan segelas air putih di atas meja Raffa. "Tidak ada, Tuan. Anda tak perlu lembur malam ini."
"Raffa mengangguk, ia berdehem pelan menatap asistennya. "Henry, kamu sudah menikah bukan? Apa ... istrimu sudah hamil?"
Pertanyaan Raffa terdengar aneh untuk Henry. Kaget saja, mengapa bosnya tiba-tiba menanyakan hal itu? Namun, dengan rumor yang beredar tentang Raffa, membuatnya sedikit takut.
"Tuan, maaf ... saya normal." Ucap Henry yang membuat Raffa membelalakkan matanya.
"Kamu pikir saya tidak normal hah!? Saya hanya bertanya, bukan berarti mengajakmu menikah. Dasar tidak waras!" Omel Raffa kesal.
Henry mengg4ruk belakang lehernya yang tak gatal, "Ya saya pikir ... aneh saja anda tiba-tiba bertanya tentang hal itu, Tuan."
Raffa berdecak keras, "Saya hanya bertanya, kamu tinggal menjawab saja. Apa susahnya sih?!"
"Iya, saya sudah menikah seperti yang anda tahu. Juga, saat ini istri saya sedang hamil 9 bulan. Sebentar lagi, saya akan jadi seorang ayah!" Seru Henry semangat.
Raffa terdiam, keningnya mengerut dalam. Jarinya mengetuk di atas meja seolah tengah memikirkan sesuatu. Sampai, tiba-tiba dirinya mengingat sebuah hal.
"Henry,"
"Ya, Tuan?" Henry menyambutnya dengan senyuman ramah dan mengesankan.
Raffa mengangkat pandangannya, menatap asistennya itu dengan tatapan serius. "Cara membuat istri hamil cepat, kamu pakai metode apa?"
"Me-metode? Maksudnya?" Bingung Henry.
Raffa memutar bola matanya malas, "Ck, maksud saya ... kamu pake gaya apa yang manjur buat istrimu hamil?!"
Henry terkejut syok, "Tuan mau hamili istri saya?! Ya enggak boleh!"
Raffa memejamkan matanya, menahan rasa geram yang berkecamuk dalam d4danya. Ia melepaskan sepatunya dan berniat melemparnya pada Henry. Tapi sebelum itu, Henry sudah lari ketakutan menghindarinya.
"BUKAN ISTRIMUUU, BAMBAAAANG! TAPI ISTRI SAYAAA! KAMU KIRA SAYA NGGAK ADA ISTRI HAH?! KAMU ... SAYA AKAN MEM0T0NG GAJIMU HENRYYY!" Teriak Raffa penuh emosi.
________________________
Ya ampuuun sinyal yah, di ajuin gagaaal aja teroos🫠
😘😘😘😘😘😘💪💪💪💪😘😘😘
Makasih udah doble up-nya othorkuh.. kukirim kopi ya biar ga ngaaaanntuk
ow ow ada yg danger nih hihii 😁