"Ingat, saat di kampus kita adalah dosen dan mahasiswa, jadi bersikap sewajarnya."
"Hayolo, dosen mana yang ngajak mahasiswanya ke rumah?"
~
Lolos SNBP jurusan keperawatan ternyata tak membuat impian Jihana Soraya menjadi perawat bisa terkabul. Besarnya biaya yang harus dikeluarkan membuat bunda melarangnya kuliah. Apalagi bunda memang menganggap kuliah itu sia-sia.
Kecewa dengan pemikiran pendek bundanya, Jihan malah tanpa sengaja berkeluh kesah pada tetangga barunya yang ia panggil Om Lino. Pria itu cukup ramah, tapi dia tampak sangat kaku dan bahasanya pun baku sampai Jihan menggelarinya KBBI berjalan.
Om Lino menyarankan satu solusi pada Jihan, yang menurutnya sangat gila. Menikah dengan pria itu, maka dia akan membiayai seluruh pendidikan Jihan. Tadinya Jihan menolak, tapi ketika keadaan semakin mendesak dan ia tidak memiliki pilihan lain, Jihan pun menerimanya.
Jihan seketika merasa Om Lino sudah seperti sugar daddynya saja. Tapi tunggu dulu! Ternyata Om Lino juga dosennya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Licia Bloom, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
"Anak" Om Lino Sakit
Keesokan paginya, aku dan Om Lino kembali ke rumahnya setelah sarapan di rumah bunda. Seperti biasa, suasana pagi terasa tenang, meskipun aku tahu hari ini aku harus bersiap-siap untuk kuliah siang nanti.
Karena kuliahku baru dimulai siang, jadi aku masih bisa santai-santai, menikmati pagi yang sejuk. Tapi, seperti biasa, Om Lino sudah mengingatkan agar aku tidak ketiduran lagi. Hah, dia memang selalu begitu.
Begitu aku keluar dari kamar, mataku tertuju pada sosok Om Lino yang sedang sibuk di ruang tamu. Aku sempat bingung melihat penampilannya yang berbeda.
“Om, gak jadi ke kampus?”
Sebelumnya, aku sudah melihat dia siap dengan kemeja biru navy rapi dan celana hitam, siap berangkat mengajar. Tapi sekarang, dia sudah mengganti bajunya dengan jaket hoodie dan celana jeans. Aku sedikit terkejut.
Ih, kok ganteng ... gak, gak.
Aku hampir pangling melihat Om Lino yang jarang banget pakai pakaian santai seperti ini. Biasanya dia selalu tampil formal dan rapi, jadi kali ini keliatannya beda banget.
“Saya tidak jadi mengajar hari ini,” kata Om Lino, sambil beralih menatapku. “Saya harus ke rumah orang tua saya.”
“Kenapa? Orang tua Om Lino sakit?” tanyaku, sedikit khawatir.
Om Lino menggelengkan kepala, wajahnya tetap datar. “Bukan orang tua saya, tapi salah satu kucing saya.”
Aku benar-benar terkejut. Kucing? Kucing katanya?
Wah, cuma gara-gara kucing dia sampai gak jadi ngajar dong?
Aku hanya bisa membatin dalam hati. Kalau aku ucapkan langsung, pasti Om Lino bakal berubah jadi serius dan mungkin sedikit nyeremin lagi.
“Oh ya? Sakit apa?” tanyaku penasaran, meskipun jelas rasa kagetku lebih mendominasi.
“Sepertinya flu,” kata Om Lino. “Kamu mau ikut?”
“Hah? Ngapain? Ya enggaklah!” jawabku cepat.
Om Lino menatapku, seperti biasa, dengan ekspresi yang sulit kubaca. “Kenapa?” tanyanya, seakan tidak mengerti.
“Ih, Om! Udah berapa kali sih saya bilang? Saya tuh gak suka kuciiiing!” kataku, setengah bercanda, setengah kesal.
Dia tampak tak terganggu dengan ucapanku. “Bukan untuk menemui kucing saya, tapi menemui orang tua saya,” jawabnya datar.
Aku terdiam sejenak. “Hah? Buat apa?” tanyaku bingung.
Om Lino menghela napas panjang. “Kalau dipikir-pikir, setelah menikah, saya tidak pernah membawa kamu ke sana lagi.”
Oh, iya juga sih. Rasanya agak nggak sopan kalau aku, yang sudah sah jadi istrinya Om Lino, nggak pernah menemui orang tuanya setelah pernikahan. Walaupun hubungan kita lebih mirip pernikahan settingan, tetap saja bagi orang tua Om Lino, kita dianggap pasangan yang sah dan saling mencintai.
“Ya udah deh,” kataku, akhirnya setuju. “Lagipula saya kuliahnya juga jam dua siang.”
“Kalau begitu, sekarang kamu bersiap-siap dulu,” balas Om Lino. “Sekalian siapkan apa yang ingin kamu bawa saat kuliah, supaya nanti dari rumah orang tua saya kamu langsung saya antar ke kampus.”
“Oke, Om,” jawabku.
Aku pun segera bersiap-siap, sedikit melirik Om Lino yang masih sibuk dengan barang-barangnya. Barang kucingnya, lebih tepagnya.
.........
Aku duduk di ruang tamu, menatap sekeliling rumah Om Lino yang tampak lebih hidup kali ini. Setelah lama nggak mampir, akhirnya aku bisa kembali lagi ke sini. Tapi, agak kikuk juga rasanya, terutama ketika harus memanggil nyokapnya Om Lino dengan sebutan mama.
“Maaf ya, Ma, aku baru bisa ke sini lagi,” kataku dengan suara sedikit canggung. “Karena jadwal kuliah padat dan tugas kuliah juga lumayan banyak, aku baru bisa mampir sekarang.”
Aku berusaha tersenyum, tapi rasanya agak aneh aja memanggilnya Mama. Aku hanya berharap itu terdengar alami.
Jenna Mehrunnisa, nyokapnya Om Lino, tersenyum dengan lembut. “Gak papa kali, Han. Mama ngerti banget. Lino dulu pas pertama masuk kuliah juga sibuknya minta ampun.”
Lembut dan penuh pengertian. Nyokapnya Om Lino ini memang seperti itu, selalu sabar dan penuh perhatian walau pas sama Om Lino suka ngomel.
“Pasti capek ya karena kebanyakan tugas? Kamu pergi ke kampus sama pulangnya bareng Lino, 'kan?” tanya Mama.
“Iii ... ya,” jawabku, agak malu. “Baru dua kali sih. Itu pun cuma pulangnya.”
Mama Jenna mengangguk, tampaknya memahami. “Lino ngajar di kelas kamu juga gak?” tanyanya.
“Ngajar, Ma. Om Lino ngajar matkul wajib bahasa Indonesia di kelas Jihan,” paparku. Obrolan kami mulai berlanjut ke soal kuliah.
“Ah, iya. Selain linguistik umum, Lino juga mengajar Bahasa Indonesia,” katanya, sambil memandangku dengan senyum. “Kalau Mama sebenarnya mengajar Antropologi Kesehatan sih, Han. Tapi sayangnya kampusnya beda, jadi Mama gak bisa ngajarin kamu.”
Aku tersentak, benar-benar terkejut. “H-hah?” Aku sampai melongo, merasa tak percaya. “Apanya, Ma?”
“Mama ngajar ... antropologi kesehatan? Mama dosen?!”
Mama Jenna tertawa kecil, tampaknya merasa lucu dengan reaksiku. “Loh? Lino gak kasih tau kamu emangnya?”
Aku menggeleng cepat, ekspresiku pasti menunjukkan betapa terkejutnya aku. Jadi, nyokapnya Om Lino dosen juga? Itu pun ngajar di prodi keperawatan? Aku baru tau sumpah!
Ternyata selama ini aku belum tahu banyak tentang keluarga Om Lino. Tapi kalau dipikir-pikir, Om Lino juga kenapa nggak pernah cerita sih?
Mama Jenna tertawa lagi. “Duh, Lino. Masa gak cerita-cerita ke istri sendiri, sih.”
“Mama tuh sebenernya dosen pengampu Antropologi Kesehatan, Han,” lanjutnya. “Tapi kampusnya beda sama kamu.”
Aku hanya bisa manggut-manggut dengan tampang canggung. Sedikit malu, tapi Mama tidak berhenti di situ. “Nah, kalau Papa—”
“Pa-papa dosen juga, Mah?!” selaku spontan. Dan Mama Jenna pun mengangguk masih dengan senyum gelinya.
Ini satu keluarga dosen ceritanya?!
Pantas Om Lino orangnya ambis banget. Orang tuanya aja berpendidikan tinggi gini.
“Bukannya Papa itu punya bisnis pertambangan, ya, Ma?” tanyaku, sedikit bingung dengan penjelasan Mama sebelumnya.
“Haha ... iya,” jawab Mama dengan tawa ringan. “Papa emang sarjana Teknik Pertambangan, sih. Dan pekerjaan utamanya itu dosen pengampu Komputasi Tambang.”
Oh, jadi begitu. Ternyata pendidikan tinggi itu memang penting banget di keluarga ini. Aku baru sadar sekarang. Jadi, Om Lino memang tumbuh dalam lingkungan yang sangat mementingkan pendidikan.
“Nanti kalau kamu kesulitan di mata kuliah Antropologi Kesehatan, bisa konsultasi ke Mama, oke?”
Asik, akhirnya punya orang dalam yang bisa dimintai bantuan!
“Makasih, Maa.”
“Oh, iya, Om Lino tadi mana ya?” aku mulai mencari keberadaan Om Lino karena menyadari ia sudah lama tidak turun dari lantai atas.
Mama mengangkat bahu, kemudian memandang ke lantai atas. “Paling masih meriksa kucing-kucingnya,” jawabnya. “Kamu susul aja. Ruangannya yang itu.”
Mama menunjuk salah satu kamar.
“Engh ...,” gumamku, sedikit ragu.
“Eh, iya, Lino bilang kamu takut sama kucing, kan?” tanya Mama, tampaknya ingat sesuatu.
“I-iya, hehe,” jawabku, sedikit terpingkal, merasa malu.
“Gak papa. Emang gak semua orang suka sama hewan kok. Mama aja sebenernya kurang suka. Tapi Lino dari kecil suka banget pelihara kucing.” Mama mulai bercerita, “Dulu tuh kucing dia banyak banget, tau, Han. Terus lama kelamaan beberapa mati. Sekarang yang tersisa cuma tiga.”
“Hah? Sesuka itu, Ma, Om Lino sama kucing?” tanyaku dengan mata terbelalak.
“Iya,” jawab Mama. “Mana orangnya dari kecil introvert banget. Lebih suka menghabiskan waktu seharian sama kucing daripada main sama temen-temennya.”
“Woah... Jihan baru tau.”
Mama melanjutkan dengan senyum keibuannya, “Lino tertutup banget, kan, orangnya?”
Aku mengangguk. “Banget. Mana kayak kaku gitu. Belum lagi bahasanya baku banget.”
“Emang turunan Papanya banget dia tuh. Malah bisa dibilang lebih parah dari Papanya,” jawab Mama sambil tertawa kecil.
“Ya udah, Jihan mau ngintip Om Lino sebentar ya, Ma,” kataku, berniat untuk mencari tahu apa yang sedang dilakukan Om Lino.
Mama tertawa lagi, kemudian mengangguk. “Silakan, Han. Nyusul aja, Lino ada di ruangan itu.”
Aku menghela napas, walau sedikit ragu, akhirnya melangkah menuju ruangan yang ditunjuk Mama. Aku penasaran banget, tapi tetap merasa ada sedikit ketegangan setiap kali harus berhadapan dengan kucing-kucing Om Lino.
Rencananya, aku hanya ingin mengintip Om Lino di depan kamarnya. Gak berani masuk ke dalam juga, sih.
Aku membuka pintu sedikit, cukup untuk melihat Om Lino sedang memberi makan kucing hitamnya.
“Om, jadi kucingnya kenapa?” tanyaku, penasaran, sembari mengintip dari balik pintu.
Om Lino terlihat serius, menatap kucing itu dengan penuh perhatian. “Saya rasa dia terserang flu,” jawabnya, suaranya pelan. “Dia terus-terusan bersin sejak tadi. Hidungnya juga tersumbat. Mata dan hidungnya mengeluarkan cairan.”
Aku terdiam beberapa saat, berpikir sejenak. “Dia sariawan juga, Om?”
Om Lino menoleh padaku, wajahnya tetap datar walau tersirat kecemasan pada sorot matanya. “Sepertinya. Dari tadi dia menolak makan, padahal biasanya sangat lahap.”
“Kalau gitu, kucing Om kayaknya nggak kena flu biasa deh.”
Om Lino memandangku sejenak, seolah menunggu penjelasanku lebih lanjut. “Lalu flu apa?” tanyanya, sedikit bingung.
Aku menggaruk tengkuk, mencoba menjelaskan walau ini hanya tebakanku sementara. “Dari gejala yang Om sebutin tadi, kayaknya dia tertular Feline Calicivirus deh.”
“Virus? Dari mana dia bisa tertular virus seperti itu?” suara Om Lino semakin terdengar cemas.
“Setahu saya, virus ini bisa menempel di mana-mana, Om. Kayak lantai, tempat tidur kucing, makanan dan minumannya, atau bahkan dari tangan manusia yang nggak steril.”
Aku melanjutkan dengan memberi saran. “Saya sarankan langsung bawa ke dokter hewan aja, Om. Biar dikasih antibiotik atau anti-peradangan.”
“Oh iya, jangan biarin dia dekat-dekat sama kucing Om yang lain. Takut menular,” tambahku, sedikit khawatir.
Om Lino sontak mengangkat kucing itu, membawanya keluar, menjauhkannya dari dua kucing lainnya.
Segera, aku mundur, menjaga jarak sejauh mungkin. Tapi, Om Lino tiba-tiba berhenti dan menoleh ke arahku. “Kamu mau ikut saya ke dokter hewan atau menunggu di sini?” tanyanya, dengan nada yang serius.
“Gak, gak. Saya nggak ikut. Nunggu di sini aja,” jawabku cepat, berusaha tidak terlihat gugup karena kucing itu ikut menatapku.
Om Lino mengangguk pelan, sepertinya tak keberatan. “Baiklah,” katanya singkat, lalu melanjutkan langkahnya.
Aku memperhatikannya berjalan dengan tergesa-gesa. Wajahnya terlihat khawatir, tampak sangat peduli dengan kucing itu.
Hmm ... sama kucing aja dia bisa sesayang itu. Apalagi kalau sama ceweknya.
Ih, jadi penasaran. Om Lino itu punya pacar nggak, sih?
.........
Sejam kemudian, Om Lino kembali dengan wajah sedikit lebih tenang. “Jadi gimana, Om?” tanyaku, ingin tahu.
Om Lino menatapku, lalu menghela napas panjang. “Benar kata kamu, dia terpapar Feline calicivirus,” jawabnya. “Dokter hewan bilang untung saya membawanya sebelum terlambat. Kalau gejalanya sudah lebih parah, bisa berakibat fatal.”
Aku mengangguk pelan, mendengarkan penjelasannya. “Untuk mencegah kucing lain ikut tertular, saya akan memberi suplemen yang diberikan dokter untuk memperkuat sistem kekebalan tubuh mereka,” tambahnya.
“Nghh ... oke,” balasku singkat, agak terbebani dengan informasi itu karena ya ... aku mana tertarik pada kucing!
“Untuk sementara, kucingnya tinggal di klinik hewan dulu, ya, Om?” tanyaku, memastikan.
“Iya,” jawab Om Lino.
“Semoga cepat sembuh, ya, kucingnya Om.”
Om Lino tersenyum tipis. “Tapi ...,” katanya, tiba-tiba. “Kenapa kamu bisa tahu tentang virus ini?”
Aku sedikit terkejut dengan pertanyaannya. “Bukannya kamu nggak suka kucing, Jihan?” lanjutnya.
Aku menggaruk tengkuk, sedikit bingung menjelaskan. “Ya gimana ya, Om. Saya kan suka biologi, tuh. Sering belajar tentang virus gitu, kan? Karena saya orangnya suka penasaran, saya sering cari tahu tentang virus yang menyerang hewan. Termasuk kucing.”
Aku merasa sedikit kikuk. “Sempet baca aja sih dulu pas saya masih suka kucing. Gak taunya sekarang masih inget.”
“Jadi... kamu dulu pernah suka kucing?” tanya Om Lino dengan raut wajah tampak kaget.
“Iya,” jawabku pelan. “Tapi semenjak—”
“Jihan, Lino! Ayo makan siang dulu! Jam dua nanti Jihan mau ke kampus, kan?”
“Iya, Maa!” jawabku, langsung tersentak keluar dari perasaan campur aduk itu.
Aku menatap Om Lino, mengalihkan pembicaraan. “Ayo, Om. Udah jam satu tuh. Nanti antar saya ke kampus, ya?”
“Baiklah.”
Aku menghela napas. Mengenyahkan memori buruk yang terkenang karena topik pembicaraan kami tadi. Tapi untungnya tidak sampai mengungkit jauh lebih dalam.