Seorang siswa SMA yang bernama Revan Abigail adalah siswa yang pendiam dan lemah ternyata Revan adalah reinkarnasi seorang Atlet MMA yang bernama Zaine Leonhart yang ingin balas dendam kepada Presdirnya.
Siapakah Zaine Leonhart yang sebenarnya? mengapa Zaine melakukan Reinkarnasi? Rahasia kelam apa yang disembunyikan Presdir itu?
Ikuti misteri yang ada di dalam cerita ini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lynnshaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13 - BANGKITNYA Z-09 ARWAH ZAINE
Zaine berdiri di balik kaca tebal, tubuhnya sedikit membungkuk seperti sedang menahan sesuatu. Rambutnya lebih panjang dari yang terakhir kali Revan ingat, dan matanya—mata itu bukan lagi milik manusia biasa. Mereka bersinar dengan kilatan merah yang mengancam.
Revan bisa merasakan udara di sekitarnya menjadi lebih berat. Seperti ada energi tak terlihat yang mengalir dari tubuh Zaine.
Darius tersenyum tipis, matanya berbinar dengan rasa puas. "Kau mencarinya, bukan? Sekarang kau menemukannya."
Revan melangkah maju, jantungnya berdebar. "Zaine…"
Sosok itu mendongak perlahan. Sejenak, ada pengakuan dalam matanya. Tapi detik berikutnya, ekspresinya berubah.
Dan tiba-tiba, kaca tebal yang memisahkan mereka mulai retak.
Emma mundur dengan cepat. "Astaga, ada yang nggak beres!"
Darius hanya tertawa kecil. "Kau liat sendiri, Revan. Proyek Venari tidak pernah dihentikan. Hanya disempurnakan."
Kaca itu pecah dalam ledakan kecil, dan dalam sekejap, Zaine menghilang.
Revan hanya sempat mengedip sebelum tiba-tiba udara di depannya bergeser, dan sebuah tinju menghantamnya tepat di dada.
BANG!
Tubuhnya terlempar ke belakang, menabrak dinding dengan keras. Napasnya tersengal, paru-parunya terasa seperti diremas.
"Revan!" Emma berteriak, menarik pistolnya. Tapi sebelum ia sempat menembak, Zaine sudah berdiri di depannya.
Ia tak bergerak. Hanya menatap Emma dengan dingin.
Riko mengangkat senjatanya, siap menembak, tapi Revan mengangkat tangan. "Jangan!"
Mata Zaine kembali padanya. Ada sesuatu di sana—perlawanan? Kesakitan?
Darius mendekat, suara langkahnya bergema di ruangan. "Zaine sudah berevolusi, Revan. Dia telah melampaui batas-batas manusia biasa. Dan kau… kau akan segera mengalami hal yang sama."
Revan berdiri dengan susah payah, menatap Zaine dalam-dalam.
"Zaine…" suaranya pelan. "Ini gue."
Zaine mengerjap. Sebuah kilatan aneh melintas di matanya. Tangannya yang terkepal perlahan melemah.
Dan saat itu juga, sirene berbunyi.
DARIUS MEMAKI.
"Kurang ajar! Mereka datang terlalu cepat!"
Revan menoleh ke Emma. "Apaan itu?"
Emma menatap layar tablet di tangannya. "Seseorang baru saja membobol jaringan gudang ini! Mereka mengirim pasukan!"
Darius menatap Revan dengan marah. "Kau membawa mereka ke sini?"
Revan tersenyum miring. "Gue bilang, gue akan menemukan kebenaran. Dan gue nggak akan membiarkan lu sembunyiin lagi."
Tiba-tiba, dinding di sisi lain gudang meledak. Cahaya terang membanjiri ruangan, diikuti suara perintah keras.
"SEMUA TURUN! SEKARANG!"
Pasukan bersenjata lengkap masuk, mengelilingi mereka dalam hitungan detik. Revan menatap Zaine, yang masih berdiri di tempatnya, tampak bingung. Pilihan ada di hadapan mereka. Lari, Bertarung, Atau menghadapi semuanya bersama-sama. Dan Revan tahu, saat ini, tidak ada jalan kembali.
Revan mengepalkan tinjunya. Ada sesuatu yang berdenyut dalam dirinya—sesuatu yang belum sepenuhnya ia pahami, tapi mulai bangkit.
Di hadapannya, makhluk-makhluk eksperimen itu melangkah maju. Tubuh mereka adalah perpaduan antara daging dan mesin, masing-masing membawa aura kematian yang mengerikan.
Darius tersenyum puas. "Mereka adalah generasi berikutnya dari proyek Venari. Lebih cepat, lebih kuat… dan sepenuhnya patuh pada perintahku."
Revan melirik Riko, yang masih berusaha bangkit dari lantai. Satu sisi tubuhnya sedikit berasap akibat sengatan listrik tadi. Emma di belakangnya masih sibuk dengan perangkatnya, jemarinya menari di atas layar dengan kecepatan gila.
Revan menggertakkan giginya. Tidak ada pilihan lain.
Salah satu makhluk eksperimen itu menghilang dalam sekejap—
Dan tiba-tiba muncul tepat di depan Revan.
BZZZTT!!
Cakar tajam berkilat, meluncur ke arahnya dengan kecepatan yang mustahil untuk dihindari oleh manusia biasa.
Tapi kali ini, tubuh Revan bergerak sendiri.
Tangannya terangkat, menangkis serangan itu—dan untuk sesaat, ada gelombang energi yang meledak dari kontak mereka.
BOOM!
Makhluk itu terdorong mundur, kakinya menggores lantai logam. Matanya yang merah menyala berkedip sebentar, seolah menganalisis apa yang baru saja terjadi.
Darius mengangkat alis. "Oh? Menarik."
Revan menatap tangannya sendiri. Ada jejak energi samar yang mengalir di bawah kulitnya—seperti aliran listrik yang tidak terlihat.
"Jadi ini yang lu maksud dengan 'resonansi'?" gumamnya pelan.
Darius terkekeh. "Kau mulai merasakannya, bukan? Hubungan antara dirimu dan Zaine… tidak hanya sebatas ingatan. Ada sesuatu yang lebih dalam dari itu. Sesuatu yang tertinggal dalam tubuhmu."
Revan menggeram. Ia tidak peduli dengan penjelasan Darius sekarang. Yang penting, ia harus bertahan.
Robot-robot lain mulai bergerak.
Dua di antaranya melesat ke arah Riko, sementara satu lagi menargetkan Emma.
"Riko!"
Revan melompat, tubuhnya bergerak lebih cepat dari sebelumnya. Ia menangkis serangan pertama, lalu berbalik untuk menghantam makhluk kedua yang nyaris menerkam Riko.
BRAAGG!
Tinju Revan menghantam keras dada robot itu, membuatnya terpelanting ke belakang.
Riko akhirnya berhasil berdiri. Wajahnya penuh amarah. "Gue bisa menanganinya sendiri!"
Ia menarik pisau lipat dari sakunya—senjata yang tampak kecil, tapi di tangannya, itu lebih dari cukup. Dengan satu gerakan cepat, ia menusukkan pisaunya ke leher makhluk yang menyerangnya.
ZZZT!
Darah hitam bercampur minyak menyembur keluar saat makhluk itu terhuyung ke belakang.
Emma, di sisi lain, masih panik mencoba mengakses sistem. "Gue butuh lima detik lagi!"
Tapi makhluk yang menargetkannya sudah semakin dekat.
Revan mengumpat, bersiap melindunginya—
Tapi tiba-tiba, Zaine bergerak.
Tanpa peringatan, Zaine muncul di depan Emma dan menghantam makhluk itu dengan satu pukulan brutal.
DUARR!
Makhluk itu terhempas ke dinding, tubuhnya hancur dalam sekejap.
Emma membeku. "Z-Zaine…?"
Revan dan Riko menatapnya dengan waspada.
Zaine masih berdiri di sana, napasnya berat. Matanya masih bersinar biru, tapi ada sesuatu yang berbeda kali ini.
Ada sedikit… kesadaran.
Darius menggeram pelan. "Nggak mungkin…"
Revan menyipitkan mata. "Zaine… lu masih bisa mendengar kami?"
Zaine menoleh perlahan ke arahnya. Bibirnya sedikit bergerak, seolah berusaha mengatakan sesuatu.
Tapi sebelum ia bisa berbicara—
BZZZT!
Tubuhnya tersentak, dan cahaya di matanya berkedip cepat. Kabel-kabel di lengannya mulai berdenyut tak terkendali.
Darius menekan tombol di konsolnya. "Cukup! Kembali ke mode perintah!"
Zaine mengerang, tangannya mencengkeram kepalanya sendiri.
Emma melihat layar perangkatnya. "Sial! Darius mencoba meresetnya!"
Revan tidak ragu lagi.
Ia melesat maju, meninju langsung ke arah Darius.
Tapi sebelum pukulannya mencapai target—
Sebuah tameng energi muncul di depan Darius, menahan serangan itu dengan mudah.
Darius terkekeh. "Maaf, tapi aku tidak sebodoh itu."
Revan terpaksa melompat mundur. Ia menatap Zaine, yang kini kembali dalam kendali Darius.
Darius tersenyum. "Sepertinya kita harus menyelesaikan ini dengan benar."
Ia menekan tombol lain—dan tiba-tiba, lantai di bawah mereka bergetar hebat.
Dinding di belakang Darius bergeser kembali, memperlihatkan sebuah ruangan besar yang penuh dengan lebih banyak tabung eksperimen.
Dan di dalam salah satu tabung…
Ada sesuatu yang jauh lebih besar.
Darius menatap Revan dengan ekspresi puas. "Mari kita lihat apakah kau bisa melawan ini."
Tabung itu mulai retak.
Revan, Riko, dan Emma hanya bisa bersiap.
Karena yang akan keluar dari sana…
Adalah sesuatu yang bahkan lebih mengerikan dari Zaine.
Revan mengepalkan tinjunya. "Jadi ini semua hanya kebohongan? Zaine yang asli sudah mati, dan kau hanya menciptakan tiruannya?"
Darius tertawa kecil. "Kebohongan? Tidak, Revan. Ini adalah evolusi. Zaine yang kau kenal lemah, fana. Tapi yang ini… dia sempurna. Tidak ada batasan, tidak ada kematian. Ia bisa bertarung tanpa henti, tanpa ragu."
Riko menggertakkan giginya. "Jadi ini semua hanya permainan bagi lu? Zaine bukan senjata! Dia adalah manusia!"
Darius mengangkat bahu. "Manusia? Dia sudah mati. Yang tersisa hanyalah ingatan dan tubuh yang bisa kita bentuk sesuka hati."
Zaine—atau robot yang menyerupainya—tidak bergerak. Ia hanya menatap Revan dan Riko dengan mata kosongnya, seperti sedang menunggu perintah.
Emma, yang masih mengutak-atik perangkatnya, berbisik, "Gue butuh dikit lagi…"
Tapi Darius tidak akan membiarkan mereka memiliki waktu lebih lama. Ia menekan tombol lain di panel kendalinya.
"Z-09, eliminasi target," perintahnya.
Mata robot Zaine bersinar lebih terang. Seketika, tubuhnya bergerak dengan kecepatan luar biasa, menyerang Revan dan Riko sekaligus.
Revan, yang kini mulai memahami bahwa tubuhnya telah berubah sejak Zaine masuk ke dalam dirinya, bereaksi lebih cepat. Ia menangkis serangan pertama dengan lengannya, merasakan hentakan logam melawan tulangnya. Tapi kali ini, ia tidak terlempar—ia bisa menahan dorongan itu.
Riko melompat ke belakang, menghindari serangan kedua yang nyaris menghantam kepalanya.
"Emma! Sekarang atau kita mati!" seru Riko.
Emma mengetik dengan panik. "Dikit lagi—"
Darius mencibir. "Aku tidak akan membiarkan itu."
Ia meraih pistol di pinggangnya dan mengarahkannya ke Emma.
Tapi sebelum ia bisa menarik pelatuk—
BRRAKK!
Sebuah ledakan listrik meledak dari perangkat Emma, mengalir langsung ke dalam sistem robot Zaine.
Zaine membeku di tempat. Matanya berkedip beberapa kali, lalu tubuhnya mulai bergetar.
Emma tersenyum tipis. "Kita liat apa kode asli lu masih ada di sana, Zaine."
Revan dan Riko menahan napas.
Robot Zaine mengangkat kepalanya. Matanya masih bersinar, tapi kini… ada sesuatu yang berbeda.
Ia menoleh ke arah Darius.
Darius menyipitkan mata. "Z-09, eliminasi target."
Tapi Zaine tidak bergerak.
Sebaliknya, ia berbalik… dan menatap Darius dengan sorot mata yang lebih tajam.
"Apa yang—" Darius mundur selangkah.
Robot Zaine melangkah maju.
Revan merasakan sesuatu di dadanya—sesuatu yang familiar. Seolah-olah… sisa dari jiwa Zaine masih ada di sana, meskipun hanya secuil.
Robot itu membuka mulutnya.
Dan untuk pertama kalinya, ia berbicara.
"Darius… kau… membunuhku."
Darius membeku.
Revan dan Riko saling berpandangan.
"Emma… apa yang lu lakukan?" bisik Revan.
Emma menatap layar dengan ekspresi terkejut. "Aku… tidak tahu. Aku hanya mencoba mengakses sistemnya… tapi…"
Robot Zaine menatap tangannya sendiri, lalu kembali menatap Darius.
"Dan sekarang… aku akan membalasnya."
Zaine—atau robot yang menyerupainya—baru saja melangkah mendekati Darius ketika tiba-tiba tubuhnya mulai bergetar hebat. Cahaya di matanya berkedip-kedip tidak stabil, dan suara mekanisnya berubah menjadi dengungan kasar.
"Aku… akan… ba—"
KRAKK!
Seketika, tubuh robot itu ambruk ke lantai, menciptakan dentuman berat yang menggema di seluruh ruangan. Kabel-kabel di lengannya berdenyut sejenak sebelum akhirnya mati total.
Emma menatap layar perangkatnya dengan ekspresi terkejut. "Nggak… Sistemnya terlalu rusak. Gue nggak bisa mempertahankannya lebih lama."
Revan dan Riko tetap dalam posisi bertarung, masih waspada. Tapi melihat robot Zaine tak lagi bergerak, mereka mulai menyadari bahwa pertempuran itu telah berakhir—untuk sekarang.
Darius menghela napas panjang, sebelum terkekeh kecil. "Aku harus mengakui… itu cukup menghibur." Ia melangkah mundur perlahan. "Tapi aku sudah mempersiapkan lebih dari satu kejutan untuk kalian."
Di belakangnya, suara mekanis mulai terdengar lagi. Tabung-tabung raksasa yang tadi tersembunyi kini mulai terbuka, mengeluarkan uap tebal. Bayangan-bayangan besar bergerak di dalamnya—eksperimen lain yang Darius ciptakan.
Riko mengepalkan tinjunya. "Lu bercanda, kan…?"
Revan menatap robot Zaine yang sudah tak bergerak di lantai, lalu ke arah Darius yang menyeringai. Ia tahu ini belum selesai. Bahkan, mungkin ini baru permulaan.
Saat tabung-tabung besar mulai terbuka, mengeluarkan makhluk-makhluk eksperimen Darius, Emma tiba-tiba membeku. Matanya terpaku pada data yang berkedip di layar perangkatnya.
"Tunggu sebentar…" gumamnya.
Revan, yang masih bersiap menghadapi eksperimen baru, menoleh. "Ada apa?"
Emma menatap mereka dengan ekspresi campuran antara keterkejutan dan pemahaman. "Zaine… yang asli… dia masih ada di sini."
Riko mengernyit. "Apa maksud lu? Zaine sudah mati! Yang tadi itu cuma robot!"
Emma menggeleng cepat. "Ya, tubuhnya memang sudah tidak ada. Tapi kesadarannya… jejak pikirannya… mereka tidak sepenuhnya menghapusnya." Ia menekan beberapa tombol dengan panik. "Darius tidak benar-benar mengendalikan robot Zaine secara langsung. Mereka menggunakan sistem utama di tempat ini untuk menjalankannya."
Mata Revan melebar saat ia menyadari sesuatu. "Lu mau bilang…?"
Emma mengangguk tegas. "Jika kesadaran Zaine masih ada di dalam sistem ini…" Ia mengetik cepat. "…maka dia masih bisa bangkit."
Seketika, lampu-lampu di ruangan itu mulai berkedip liar. Suara dengungan elektronik memenuhi udara. Di layar perangkat Emma, kode-kode mulai berubah sendiri, seolah-olah ada sesuatu yang mengambil alih sistem.
Darius mundur selangkah, ekspresinya berubah. "Tunggu… tidak mungkin…"
Layar-layar di sekitar mereka tiba-tiba menyala, menampilkan satu kata yang berulang-ulang:
ZAINE ONLINE.
Kemudian, suara familiar menggema di seluruh ruangan. Suara yang seharusnya sudah lenyap.
"Kalian mengira aku sudah benar-benar hilang?"
Tabung-tabung eksperimen yang seharusnya terbuka mulai berhenti. Sistem yang tadinya mematuhi perintah Darius kini membeku, menolak kendali. Robot-robot cadangan di sekeliling gudang mulai jatuh satu per satu, kehilangan daya.
Darius menggertakkan giginya. "Tidak! Tidak mungkin! Aku sudah menghapusnya!"
Suara Zaine terdengar lagi, kali ini lebih tajam. "Kau bisa menghancurkan tubuhku, Darius… tapi aku masih di sini, sudah saatnya aku menghapuskan mu dari dunia ini."
Seketika, robot Zaine yang tadi ambruk di lantai mulai bergerak. Cahaya di matanya menyala kembali, tapi kali ini bukan dalam kendali Darius.
Revan dan Riko hanya bisa menatap saat tubuh mekanis itu berdiri kembali, lebih stabil dari sebelumnya. Saat Zaine berbicara kali ini, suaranya tidak lagi terdengar seperti sistem buatan.
"Darius, kau sudah cukup bermain dengan hidupku."
Robot Zaine mengangkat tangan, dan tiba-tiba, seluruh sistem di ruangan itu mulai runtuh. Kabel-kabel meledak, tabung-tabung pecah sebelum sempat mengeluarkan eksperimen-eksperimen lain. Alarm berbunyi panik, menandakan sistem pusat telah diretas sepenuhnya.
Darius menatap sekelilingnya dengan panik. "Tidak… ini tidak mungkin!"
Zaine menoleh ke arah Revan dan Riko. "Aku tidak punya banyak waktu. Sistem ini akan runtuh… dan tempat ini akan meledak. Kalian harus pergi."
Revan melangkah maju. "Tapi kau—"
"Aku sudah mati, Revan. Ini hanya sisa-sisaku yang tertinggal di sini." Zaine menatapnya, lalu ke arah Riko. "Terima kasih… sudah pernah meminjamkan tubuhmu ke aku."
Sebelum mereka bisa berkata apa-apa lagi, lantai di bawah mereka mulai bergetar hebat. Emma berteriak, "Tidak ada waktu! Kita harus pergi sekarang!"
Darius, yang kini terpojok, menggeram marah. "Aku tidak akan kalah seperti ini!" Ia mencoba menekan sesuatu di pergelangan tangannya—mungkin perintah darurat—tapi sebelum ia sempat melakukannya, tubuh robot Zaine bergerak cepat dan meraih pergelangan tangan Darius.
"Tidak kali ini."
Seketika, aliran listrik besar mengalir dari tubuh robot Zaine ke Darius, menyebabkan ilmuwan itu menjerit kesakitan. Tubuhnya kejang-kejang sebelum akhirnya ambruk ke lantai, tak sadarkan diri.
Revan, Riko, dan Emma berlari menuju pintu keluar, dengan suara kehancuran di belakang mereka. Tepat saat mereka berhasil keluar dari kompleks bawah tanah itu, ledakan besar terjadi di belakang mereka, menelan seluruh tempat itu dalam api dan puing-puing.
Mereka terjatuh ke tanah, terengah-engah. Tidak ada suara lain selain hembusan angin malam dan api yang masih menyala di kejauhan.
Revan menatap reruntuhan itu dengan perasaan campur aduk. Zaine mungkin sudah lama mati… tapi di saat terakhir, ia tetap ada untuk menyelamatkan mereka.
Riko menunduk, mengepalkan tangannya. "Selamat jalan, teman…"
Emma menarik napas dalam. "Kita berhasil. Tapi… apa ini benar-benar akhir?"
Revan tidak menjawab. Ia hanya menatap ke langit malam, memikirkan seseorang yang kini benar-benar telah pergi.
Dan di tengah suara angin yang berhembus, seolah-olah ada bisikan samar yang hanya bisa ia dengar.
"Jaga dirimu, Revan."
Setelah ledakan besar itu, kompleks penelitian Darius benar-benar runtuh. Api masih membakar puing-puingnya, menerangi langit malam dengan warna jingga kemerahan.
Revan, Riko, dan Emma terduduk di tanah, mencoba mengatur napas mereka. Debu dan asap masih mengepul, sementara suara sirene di kejauhan menunjukkan bahwa kekacauan ini akan segera menarik perhatian dunia luar.
Emma memeriksa perangkatnya dengan tangan gemetar. "Sistemnya benar-benar hancur. Semua data Darius… semuanya hilang bersama bangunan itu."
Riko menoleh ke Revan, yang masih diam memandangi reruntuhan. "Lu baik-baik aja?"
Revan tidak langsung menjawab. Pikirannya masih terjebak dalam peristiwa yang baru saja terjadi. Dalam hitungan menit, begitu banyak kebenaran terungkap—tentang dirinya, tentang Zaine, dan tentang eksperimen yang ternyata masih tersimpan dalam tubuhnya.
"Gue..." Revan menghela napas panjang. "Gue nggak tau."
Riko menepuk bahunya, mencoba memberi sedikit penghiburan. Tapi sebelum mereka bisa berbicara lebih jauh, suara gerakan di belakang mereka membuat mereka langsung waspada.
Dengan cepat, mereka berbalik—dan melihat sesuatu yang tidak mereka duga.
Darius.
Lelaki itu masih hidup. Wajahnya penuh luka bakar, pakaiannya compang-camping, tapi ia berdiri dengan napas berat, matanya dipenuhi kebencian.
"Kalian pikir… ini sudah selesai?" suaranya parau, tapi penuh dengan kegilaan.
Revan mengepalkan tinjunya. "Darius… menyerahlah. Ini udah berakhir."
Darius tertawa kecil, lalu mengangkat tangannya—menunjukkan sesuatu di pergelangan tangannya yang masih utuh. Sebuah perangkat kecil dengan layar berkedip-kedip.
Emma menegang. "Itu… nggak mungkin…"
Senyum Darius melebar. "Kalian menghancurkan lab-ku, membakar dataku… tapi aku bukan orang bodoh." Ia menekan sebuah tombol di perangkat itu. "Aku selalu punya cadangan."
Seketika, suara dengungan memenuhi udara.
Dari bawah tanah reruntuhan, sesuatu mulai bergerak. Logam-logam yang hancur bergeser, dan perlahan, dari balik puing-puing itu… sebuah bentuk besar mulai bangkit.
Mata Revan melebar. "Nggak mungkin…"
Sebuah tubuh mekanis raksasa muncul dari balik reruntuhan. Berbeda dengan robot Zaine sebelumnya, yang ini jauh lebih besar, lebih kasar, dan tampak seperti prototipe yang belum sempurna. Kabel-kabel menjuntai dari tubuhnya, dan lampu merah di kepalanya menyala terang.
Darius terkekeh. "Kalian ingin bermain dengan teknologi? Baiklah. Mari kita lihat apakah kalian bisa bertahan melawan ini."
Revan dan Riko langsung bersiap. Mereka pikir pertarungan sudah berakhir.
Tapi ternyata, ini baru permulaan.
Monster mekanis itu mengeluarkan suara gemuruh saat sistemnya mulai aktif. Tubuhnya setinggi lima meter, dengan lengan besar yang tampak seperti senjata penghancur. Logam-logam di tubuhnya masih berasap, tapi lampu merah di kepalanya semakin bersinar terang.
Darius tertawa liar. "Kalian pikir sudah menang? Ini adalah eksperimen terakhirku—senjata yang akan memastikan bahwa kalian tidak akan keluar dari sini hidup-hidup!"
Revan mengepalkan tinjunya. Tubuhnya masih terasa sakit akibat pertarungan sebelumnya, tapi sesuatu dalam dirinya mendorongnya untuk tetap berdiri.
Riko menatap robot itu dengan tajam. "Apa rencananya?"
Emma masih sibuk mengutak-atik perangkatnya. "Gue bisa mencoba menonaktifkannya dari sini, tapi butuh waktu!"
Revan mengangguk. "Baik. Riko, kita harus menahannya selama mungkin."
Tanpa peringatan, robot itu mengangkat tangannya—dan menembakkan energi plasma ke arah mereka.
BOOM!
Ledakan besar menghancurkan tanah di depan mereka, memaksa Revan dan Riko melompat ke samping untuk menghindar.
"Nggak ada waktu untuk berpikir!" seru Riko sambil berlari ke arah robot itu. Dengan kecepatan luar biasa, ia melompat ke atas puing-puing, lalu menendang kepala robot tersebut.
CLANGG!
Tapi serangannya hanya sedikit menggoyahkan monster itu. Robot itu berbalik cepat, mencoba menangkap Riko, tapi ia berhasil melompat mundur tepat waktu.
Sementara itu, Revan melihat peluangnya. Ia berlari ke sisi lain robot itu, mengincar bagian kabel-kabel yang terlihat di punggungnya.
Dengan sekuat tenaga, ia menghantam salah satu kabel utama.
CRACK!
Salah satu lampu merah di tubuh robot itu berkedip-kedip, menunjukkan adanya gangguan sistem.
Darius melihatnya dan menggeram marah. "TIDAK! Aku tidak akan membiarkan kalian menghancurkannya!"
Ia menekan beberapa tombol lagi di pergelangan tangannya. Robot itu tiba-tiba bereaksi lebih cepat—gerakannya menjadi lebih agresif.
Lengan robot itu berputar dan menyapu ke arah Revan dan Riko sekaligus.
Revan tidak sempat menghindar.
WHAM!
Tubuhnya terhempas keras ke dinding reruntuhan, membuatnya terbatuk darah.
"Revan!" Riko berteriak, tapi ia juga harus menghindari serangan lain dari robot itu.
Darius tertawa. "Aku akan menghabisi kalian satu per satu!"
Namun, sebelum robot itu bisa melancarkan serangan berikutnya…
BZZZT!
Tiba-tiba, seluruh tubuh robot itu berhenti bergerak. Lampu-lampunya berkedip liar.
Emma berteriak dari kejauhan. "GUE BERHASIL! Gue berhasil mengganggu sistemnya!"
Darius menatap layar di pergelangan tangannya dengan panik. "Tidak… tidak, ini tidak mungkin!"
Revan, meski kesakitan, memanfaatkan momen itu. Dengan sisa tenaga, ia berlari dan melompat ke punggung robot itu, lalu menghantam bagian inti di dadanya.
CRACKK!
Retakan besar muncul. Robot itu bergetar hebat.
Riko langsung mengikuti, menendang bagian yang sama dengan kekuatan penuh.
BOOM!
Akhirnya, robot itu kehilangan keseimbangannya. Dengan suara gemuruh yang menggelegar, monster mekanis itu jatuh ke tanah, menghancurkan puing-puing di sekitarnya.
Darius mundur, ketakutan. "Tidak… tidak mungkin…!"
Revan turun dari tubuh robot yang tak lagi bergerak. Ia menatap Darius dengan mata penuh amarah.
"Darius… ini udah berakhir."
Darius menoleh ke sekeliling, mencari cara untuk melarikan diri. Tapi sebelum ia bisa berbuat apa-apa, Riko sudah berada di belakangnya.
Dengan satu pukulan telak, Riko menghantam perutnya, membuatnya jatuh ke tanah tak berdaya.
Revan mendekatinya, menatapnya dingin. "Ini untuk Zaine."
Darius terbatuk, lalu tertawa kecil meski kesakitan. "Kalian pikir ini akhir? Kalian tidak tahu… apa yang sudah aku mulai…"
Sebelum mereka bisa bertanya lebih jauh, sirene semakin mendekat.
Emma melihat ke arah jalan utama. "Pasukan pemerintah… kita harus pergi sekarang!"
Revan dan Riko saling pandang, lalu mengangguk.
Mereka tidak bisa tinggal lebih lama.
Dengan tubuh lelah dan luka-luka yang memenuhi mereka, ketiganya berlari meninggalkan reruntuhan, menghilang ke dalam kegelapan malam.
Mereka telah memenangkan pertempuran ini.
Darius masih tertawa kecil meski kesakitan, napasnya tersengal. "Kalian pikir ini akhir? Kalian tidak tahu… apa yang sudah aku mulai…"
Revan menatapnya tajam, sementara Riko menggertakkan giginya, siap menghantamnya lagi. Namun, sebelum mereka bisa berbuat apa-apa…
BEEP. BEEP. BEEP.
Sebuah suara elektronik berbunyi dari pergelangan tangan Darius. Emma langsung menyadarinya dan matanya melebar.
"Dia mengaktifkan protokol penghancuran diri!" serunya.
Revan menoleh ke tubuh robot raksasa yang sudah hancur. Panel di dadanya kini berkedip-kedip merah, hitungan mundur mulai muncul.
00:10.... 00:09... 00:08
Mereka tidak punya waktu.
"Keluar dari sini, sekarang!" Riko menarik Emma, sementara Revan menatap Darius untuk terakhir kalinya.
Darius tersenyum lemah. "Aku mungkin akan mati… tapi kalian tidak akan pernah bisa lari dari apa yang sudah dimulai."
Revan tak mengatakan apa-apa. Ia hanya berbalik dan berlari, meninggalkan Darius di tengah reruntuhan.
...00:03... 00:02... 00:01... 00:00......
BOOOOOM!
Ledakan besar menghancurkan seluruh area. Api membumbung tinggi, puing-puing berterbangan ke segala arah.
Revan, Riko, dan Emma berhasil keluar tepat waktu, melompat ke luar gudang sebelum semuanya runtuh. Mereka terjatuh di tanah berdebu, terengah-engah.
Saat mereka menoleh ke belakang, yang tersisa hanyalah kobaran api dan puing-puing yang menyala.
Darius kakinya terkena kayu
Revan menatap api itu tanpa ekspresi, sementara Riko menghela napas panjang. "Akhirnya… selesai juga."
Emma berdiri perlahan, membersihkan debu di wajahnya. "Nggak… aku rasa ini belum selesai."
Revan dan Riko menatapnya.
Emma menelan ludah. "Sebelum sistemnya hancur… aku sempat melihat data. Darius bukan satu-satunya yang menjalankan eksperimen ini. Ada pihak lain yang terlibat… dan mereka masih di luar sana."
Revan mengepalkan tinjunya.
Darius mungkin belum mati.
Tapi misteri ini… baru saja dimulai.