Ahmad Al Fatih Pranadipa adalah siswa SMA yang dikenal sebagai pembuat onar. Kenakalannya tak hanya meresahkan sekolah, tetapi juga keluarganya. Hingga akhirnya, kesabaran orang tuanya habis—Fatih dikirim ke pesantren untuk dididik langsung oleh seorang kyai dengan harapan ia berubah.
Namun, Fatih tetap menjadi dirinya yang dulu—bandel, pemberontak, dan tak peduli aturan. Di balik tembok pesantren, ia kembali membuat keonaran, menolak setiap aturan yang mengikatnya. Tapi hidup selalu punya cara untuk mengubah seseorang. Perlahan, tanpa ia sadari, langkahnya mulai berbeda. Ada ketenangan yang menyusup dalam hatinya, ada cahaya yang mulai membimbing jalannya.
Dan di saat ia mulai menemukan jati dirinya yang baru, hadir seorang wanita yang membuatnya merasakan sesuatu yang tak pernah ia duga—getaran yang mengubah segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gerimis Malam, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
Sesampainya di kamar, Balqis, Andine dan Nesya mempersiapkan segala macam peralatan belajar untuk hari ini. Hari pertama pada semester awal. Hanya status dan ruang kelas yang berbeda, yang lainnya semua sama, termasuk teman yang sama. Pagi ini setelah sholat dhuha dan sarapan seluruh warga pesantren akan memulai aktivitasnya sebagai seorang pelajar. Karena tiba-tiba perut Balqis terasa tidak nyaman beberapa kali dia keluar masuk toilet sehingga wanita itu telat masuk kelas pada hari pertamanya.
Balqis sudah memberitahu Nesya dan Andine tentang sakit perutnya. Tapi dia merasa tak enak untuk tidak masuk kelas.
Setelah mengoleskan minyak angin pada perutnya dan berbaring sejenak, perut Balqis mulai terasa nyaman kembali. Dia beranjak dari kasurnya yang berukuran kecil dan mulai memakai kembali seragamnya.
Langkahnya tergesa-gesa hingga terdengar jelas suara hentakan rok yang berwarna hijau tersebut. Sesekali dia melirik jam tangannya yang menunjukkan waktu sudah lewat dari pukul delapan, yang artinya dia sudah sangat terlambat. Melewati koridor panjang, gadis itu menuju kelas yang sudah di mulai sejak tadi.
Tok.. tok.. tok...
Pintu kelas yang tertutup karena pendingin udara., belum ada jawaban dari dalam dan Balqis tidak boleh masuk jika tak di izinkan.
Dia menutup matanya dan beberapa saat kembali di buka, wanita itu mencoba untuk mengetuk kembali.
"Masuk!" suara yang tak asing di telinga Balqis. Dia mencoba mengingat tapi seketika dia menghentikannya karena waktu yang tidak memungkinkan.
"Assalamualaikum, Maaf Kak saya terlambat." Balqis tahu bahwa pengajar Ilmu Tauhidnya adalah seorang pria, tapi Balqis tak tahu siapa dia. Ketika wajahnya yang menunduk karena merasa bersalah tiba-tiba di dongakkan, Balqis terpaku pada pengajar yang berdiri di depan kelas. Pria itu adalah tunangannya. Balqis masih mematung, bagaikan kakinya sedang terpaku.
"Silahkan masuk!"
Perlahan walau terasa berat, Balqis mulai mengayuh langkahnya untuk berjalan menuju Fatih.
"Ma.. maaf Kak, saya terlambat." ucap Balqis yang tertunduk tak berani melihat Fatih.
"Kenapa wajah kamu pucat?" Fatih berbisik hingga santriwati yang ada di kelas tak bisa mendengar percakapan mereka.
"Terima kasih." ucap Balqis yang sengaja menjawab pertanyaan Fatih yang tidak searah. Bukannya tidak mengerti,tapi pertanyaan itu tidak cocok di tanyakan untuk saat ini. Makanya Balqis dengan cerdas mengalihkan dan memilih untuk pergi dan duduk di bangkunya. Dia duduk di belakang Nesya dan Andine. Mereka memang selalu bersama, sedangkan Balqis selalu duduk dengan teman yang berbeda, terkadang dia juga duduk sendiri ketika semua temannya duduk berdua. Tapi Balqis tidak mempermasalahkan hal itu, baginya berada di pondok dan mengenyam ilmu agama sudah jauh dari cukup.
"Sorry yah, tadi kita enggak izinin kamu sama Kak Fatih. Soalnya kita terkejut melihat idola kita tiba-tiba menjadi Ustadz." ucap Andine yang berbalik untuk menjelaskan pada teman sekamarnya. Hal yang wajar bagi Balqis jika mereka melupakan hal itu, apalagi jika sudah menyangkut kedatangan idola mereka.
"Kok bisa dia yang ngajar?" tanya Balqis merujuk pada Fatih.
"Katanya untuk sementara gantikan Ustadz Amar yang lagi sakit." jawab Andine. Balqis mengangguk paham.
Sekitar satu jam setengah mereka fokus mendengar materi yang di sampaikan Fatih. Anehnya, seluruh santriwati yang berada di kelas Balqis mudah paham dengan apa yang di sampaikan oleh Fatih karena selalu menyelipkan sebuah contoh dalam setiap apa yang di sampaikan. Balqis merasa heran dengan calon suaminya itu, apa dia memang secerdas itu?
"Saya harap pertemuan kita hari ini tidak menyisakan sebuah kesalahan yang saya buat. Jika ada mohon di maafkan, dan jika Ustadz Amar kembali nanti. Kalian bisa bertanya pada beliau. Terima kasih. Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh...." kata Fatih kemudian pergi meninggalkan kelas bak pengajar profesional.
"Maaf Ustadz, eh kak Fatih."
"Iya?" Fatih tiba-tiba mengerem langkahnya.
"Saya bisa bantu bawakan itu.." Nesya menunjuk pada sebuah buku-buku yang ada di tangan Fatih. Matanya melirik pada Balqis yang kebetulan melihatnya.
"Bisakah?"
Nesya tertawa ramah dan menarik Andine untuk ikut serta. "Tentu saja Ustadz." jawabnya kemudian mengambil sebagian buku-buku itu.
Tok.. tok.. tok...
Semua mata melihat arah pintu.
"Assalamualaikum Ustadz Fatih..."
"Wa'alaikumussalam Ustadz.." Fatih mencium punggung tangan ustadz Aditya . Umur mereka tak jauh berbeda karena usia Aditya tahun ini 22. Dia juga adalah seorang santri yang berasal dari pondok Al Faruq.
"Kalian kalau panggil Ustadz Fatih jangan Kak yah, panggil ustadz seperti pengajar lainnya."
"Baik Ustadz."
"Eemm.. Balqis, bisa tolong ke meja saya sebentar!" kata Ustadz Aditya, pria yang berpenampilan berwibawa dengan peci hitam yang tak pernah lepas dari kepalanya.
"Iya Ustadz." jawab Balqis kemudian dia pergi melewati Fatih tanpa menoleh.
"Biasa itu cuma intro doang, ujung-ujungnya pasti Balqis." gerutu Andine yang mulai berjalan menuju ruang pengajar.
"Maksudnya?" timpal Fatih yang heran dengan omongan Andine.
"Maksudnya, Ustadz Aditya itu suka sama Balqis Ustadz. Kami sebagai penonton hanya pura-pura enggak tahu saja."
"Astagfirullah, kalian sedang memfitnah teman kalian." ujar Fatih.
"Tidak Ustadz, Balqis memang tidak tahu karena anak itu tak pernah menunjukkan rasa sukanya pada pria. Tapi kami tahu Ustadz. Bukan seki dua kali Ustadz Aditya seperti itu pada Balqis. Bahkan saya berpikir jika dia memang suka sama Balqis. Kenapa tidak langsung saja menemui orang tuanya." sambung Andine kembali.
"Kamu tahu saat ini kita sedang berghibah."
"Tapi itu fakta Ustadz."
"Jika Fakta itu ghibah, jika salah berarti kalian sedang memfitnah seseorang."
"Maaf Ustadz." Andine menunduk.
Mereka sudah sampai di ruang pengajar, Balqis dan Ustadz Aditya masih tampak sedang bercakap. Karena kursi Fatih dan Aditya yang berjauhan, jadi Fatih tak bisa mencuri dengar ap yang sedang mereka bicarakan. Hingga tak lama, Balqis sudah selesai dengan urusannya dan melewati meja Fatih. Pria itu segera berdiri dan menyusul calon istrinya. Sebelum mengajak Balqis berbicara, terlebih dahulu pria itu memastikan bahwa tak ada yang bisa mendengar mereka.
"Apa yang kalian bicarakan hingga membutuhkan waktu lama?" Balqis tersentak dan menoleh, dia memegang jantungnya karena kaget.
"Maksudnya?"
"Kamu dan Ustadz Aditya... Bukankah kalian tidak boleh berbicara berdua saja. Bagaimana jika dalam ruang itu hanya kalian berdua, kamu masih akan ikut pada Ustadz Aditya. Lain kali jika dia memanggilmu, tolak saja. Aku tidak ingin melihat calon istriku bersama dengan pria lain!" ucap Fatih membuat Balqis menyeringai tajam.
"Sangat mudah mengatakannya. Anda dan saya tidak jauh berbeda, anda bahkan di kelilingi oleh santriwati yang selalu berbeda. Apa aku pernah melarang? Itu hak Anda. Jadi jangan pernah memfitnahku. Aku bertemu dengan ustadz Aditya hanya untuk membahas sebuah lomba."
"Lomba?"
"Jadi jangan pernah berpikir tentang sikapku yang murahan. Karena itu tidak akan pernah ada pada diriku!" kata Balqis dengan kesal.