Dara terkejut ketika mendapati dirinya bangun dalam keadaan tidak perawan. Seseorang telah menculiknya di malam pengantin dan membuat rumah tangganya yang masih berusia seumur jagung itu berada di ambang kehancuran.
Namun kebenaran pasti terungkap dan tidak ada yang lebih indah daripada itu. Sungguhpun Dara amat terkejut ketika mengetahui siapa pelakunya. Celakanya, di saat cinta perlahan sudah mulai hadir. Dan dia merasa terjebak dalam situasi ini.
“Apa maksudmu seperti ini?” sembur Dara pada sosok menawan di hadapannya.
“Tidak ada cara lebih baik yang bisa kulakukan untuk mendapatkanmu.”
“Kau benar-benar SAMPAH!?”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon meliani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku Harus Pergi Ke Mana
“Nduk? Nduk?” panggil Ibu Ratna menyadarkan putrinya yang saat ini tengah melamun.
“Astaga,” Dara tersentak saat menyadari air yang ia tuangkan ke gelas sudah melampaui batas hingga isinya bertumpahan. “Yah, tumpah, Bu.”
“Kamu melamun terus sih, Nduk. Jangan biasakan melamun begitu, tidak baik, nanti bisa kesurupan.” Gegas Ibu Ratna mengambil alat pel untuk membersihkan lantai yang basah. “Sudah, sini biar ibu yang bersihkan. Sekarang kamu duduk, ya. Apa kamu sedang kurang sehat?”
“Dara sehat, Bu. Cuma memang lagi banyak pikiran.” Dara duduk dan mengusap wajahnya. Lepas dari tempat Alif barusan, membuatnya terus-menerus memikirkan Chandra—lebih tepatnya memikirkan sikapnya yang belakangan berubah sangat drastis.
‘Chandra yang kukenal, Chandra yang aku miliki sangat jauh dengan seorang perempuan. Aku tahu betul sejarah hidupnya. Tapi andai perkataan Alif adalah benar, maka apa yang harus aku lakukan?’
“Ada yang belum disiapkan untuk besok? Kasih tahu Ibu nanti biar Ibu bantu.” Ibu Ratna bertanya dengan sangat hati-hati. Beliau baru tiba beberapa menit yang lalu bersama Razka dan Ayah karena mengetahui bahwa putri mereka akan pergi ke luar negeri besok pagi.
“Atau kamu takut pergi ke sana?” beliau beranggapan demikian. Sebab Dara belum pernah pergi ke luar negeri sebelumnya. Ini merupakan pengalaman baru untuknya.
Melihat putrinya yang tengah bingung membuatnya lantas mendekat dan duduk di sebelahnya dan berujar sangat hati-hati. “Kalau ada apa-apa, bilang sama Ibu ya, Nak.”
Dara tidak menjawab satu pun anggapan ibunya. Dia justru langsung memeluk dan tersedu di dadanya. Tangisannya terdengar pilu. Tangisan yang menyiratkan banyak sekali arti. “Memang ada, banyak. Tapi Dara belum bisa cerita sekarang. Ada Ayah,” kata Dara terbata-bata disela isak. “Dara sakit hati, Bu.”
“Ya sudah, Ibu ngerti. Nanti kalau sudah siap cerita, kamu datang sama Ibu, ya. Ibu siap mendengarkan.”
Dara mengangguk dan semakin erat memeluk ibunya. Tatkala Ayah Hilman dan Razka kembali dari luar rumah, Dara gegas pergi ke wastafel untuk membasuh wajahnya agar tidak terlalu kentara karena habis menangis.
Bagi kedua perempuan itu, sosok Hilman tidak terlalu baik untuk mendengar atau melihat pemandangan suatu perkara. Otaknya yang sepit dan dangkal terkadang tidak cukup menampung segala jenis permasalahan yang sampai di pikirannya. Emosinya selalu di kedepankan daripada logika itu sendiri. Beruntung perangai yang buruk itu tidak sampai menurun kepada anak-anaknya—karena sebagian besar, Ratnalah yang mengasuh keduanya lantaran Hilman sibuk bekerja.
“Nah, itu Masnya pulang,” ucap Razka begitu Chandra sampai di rumah.
“Wah, ada tamu,” ujar Chandra ketika memarkirkan mobil. Tak berapa lama pria itu turun dan menyambut uluran tangan mertuanya.
“Iya, katanya kalian mau pada berangkat ke luar negeri, jadi kami ingin melihat kalian dulu. Sekalian menanyakan Dara sudah isi atau belum? Mana tahu sudah kan?” kata Ibu Ratna jeda sesaat. “Maksudnya biar ibu kasih petuah supaya kandungannya baik-baik saja walaupun di bawa pergi jauh. Tapi katanya malah belum, ya sudah. Yang terpenting kami sudah datang ke sini. Setidaknya bisa lihat kalian sebelum pergi, ya—walaupun Cuma bisa ngasih bekal doa. Katanya perginya pagi sekali ya, Nak?”
“Iya, jam enam. Terima kasih, Yah, Bu, Razka, sudah menyempatkan diri datang ke sini. Maaf belum ngasih kabar. Takut merepotkan.”
“Sama sekali tidak, Nak. Memang kami niat datang ke sini sudah lama. Tapi nunggu ayah senggang dulu,” kata Ibu lagi.
“Doakan saja setelah kita pergi nanti bisa bawa oleh-oleh,” kata Chandra lagi dan Ayah langsung menyahut.
“Iya, oleh-oleh cucu ya, Bu.”
“Aamiin ...,” istri beliau menimpali.
Malam, usai keluarga Dara pulang ke rumah, Dara langsung berkemas membereskan barang-barang yang akan dibawanya besok. Dia harus membereskannya saat ini juga karena pesawat tujuan ke sana akan terbang pukul setengah tujuh pagi. Jadi paling tidak, satu jam sebelum keberangkatan mereka sudah harus tiba di Bandara.
“Mudah-mudahan nanti jam sembilan sudah tiba di sana ya, Mas. Sudah check in Hotel juga. Soalnya aku mau masuk ke Universal,” ucap Dara sembari meneliti barang bawaannya. “Syal sudah, topi sudah, dalaman juga semuanya sudah. Apalagi yang kurang, ya?”
“Yang kurang ini, Cup!” Chandra mengecup bibirnya kilas.
Dara menatap Chandra lekat-lekat. Tiba-tiba dia kembali terpikirkan tentang perlakuan manis Chandra lagi seperti yang baru saja terjadi.
“Mas Chandra,” ujarnya.
“Ada apa?”
“Kalau boleh tahu, kenapa Mas Chandra tiba-tiba berubah seperti ini. Apa kamu sudah seratus persen percaya bahwa aku ....”
“Aku sudah percaya,” Chandra menyela dan tersenyum. “Yang penting, ke depannya jangan sampai di ungkit-ungkit lagi, okay?”
“Yakin, bukan karena maksud lain?” kembali Dara bertanya.
“Maksud lain apa sih, Ra?” jawab Chandra tak habis pikir. “Jangan penuhi pikiranmu dengan prasangka buruk. Mana mungkin aku melakukan—seperti yang kamu pikirkan itu.”
“Aku hanya takut ... aku paling tidak bisa menerima kenyataan kalau orang yang aku cintai ternyata bermain di belakangku.” Mata Dara kembali mengembun.
“Kamu menuduhku?” tuding Chandra. Raut wajahnya langsung berubah.
“Aku hanya bertanya.” Dara kembali mengulang agar Chandra mengerti maksud ucapannya barusan.
“Jadi sebenarnya maumu itu apa? Dulu kamu menginginkan hubungan kita membaik. Sekarang saat aku sudah mau memulainya—kamu malah justru mencurigaiku,” kata Chandra agak meninggi.
“Aku hanya bertanya, Mas Chandra tidak perlu emosi kalau memang itu tidak benar.”
“Tapi ucapanmu tadi seakan menuduhku. Jangan pikir aku bodoh.”
“Ya ampun, betapa pendeknya pikiranmu, Mas!” ucap Dara kesal dan beranjak meninggalkannya. Tak ingin perdebatan ini berlanjut yang akhirnya merusak hubungan mereka berdua yang baru saja membaik.
“Heh, mau ke mana kamu?!” Chandra menarik tangannya keras.
“Argghg, lepas! Jangan kasari aku!”
“Begini salah, begitu salah. Apa sebenarnya maumu, Dara!?”
Dara memberontak begitu ketakutan. “Jangan kasari aku! Lepasss!”
“Kamu harus dikasih pelajaran. Masih beruntung aku mau menerimamu karena kecacatanmu itu. Tapi sekarang kamu malah menyikapiku dengan sedemikian buruknya.”
“Apa hanya sebatas itu kamu mencintaiku, ha? Jangan merasa paling suci, ya?” sembur Dara dengan mata tak kalah tajam.
“Runcing sekali mulutmu berbicara.” Chandra mencengkeram tangan Dara semakin keras hingga Dara merasa tangannya sudah terluka oleh kuku-kukunya.
Dara kembali menantang. “Kamu itu terlalu berlebihan. Dengar aku, Mas. Dengan kamu yang begini membuatku semakin yakin bahwa kamu memang benar-benar selingkuh, iya kan?”
PLAK!
Dara memekik.
Satu tamparan, mendarat di pipi Dara sampai tubuh wanita itu terhuyung dan terjatuh menghantam kerasnya lantai.
“Sakit ...,” rintihnya terdengar pilu. Sudut bibirnya mengalir darah yang Dara sendiri tak mengetahuinya. Sedang satu tangannya kini berusaha menggapai apa pun yang ada agar dia bisa terbantu untuk kembali bangkit.
“Lain kali jaga cara bicaramu!” ucap Chandra penuh penekanan kemudian meninggalkannya pergi ke atas. Sebelum itu, dia sempat menyebar barang-barang yang tadi sedang Dara kumpulkan.
Tidak tahan lagi diperlakukan sedemikian keji, Dara meraih ponselnya dan menarik kopernya sendiri yang kebetulan sudah ia persiapkan, lalu gegas pergi keluar meninggalkan rumah ini. Persetan dengan Singapura dan segala keindahannya. Dara tak sudi pergi bersama dia; seekor singa yang amat menyeramkan!
“Aku harus pergi ke mana ...,” gumamnya di bawah hujan yang menderas dan kegelapan yang melingkupi kota.
***
To Be Continued.