Lana, seorang gadis yang tumbuh dalam pengabaian orangtua dan terluka oleh cinta, harus berjuang bangkit dari kepedihan, belajar memaafkan dan menemukan kembali kepercayaan pada cinta sejati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lidya Riani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CHAPTER 25 Memasak Untuk Nenek Part 2
"Enak kan, Nek, masakan Sakha?" tanya Sakha dengan mata berbinar, tak sabar menunggu pujian dari nenek Yasmin yang sedang menikmati rawon buatannya dan Lana.
"Jangan ngaku-ngaku kamu, Sakha. Ini masakan Lana," tukas nenek Yasmin sambil tersenyum geli, menikmati suapan rawon di hadapannya. Meskipun bukan rawon terenak yang pernah ia cicipi, usaha Lana, gadis remaja yang dengan tulus memasak untuknya, sungguh menyentuh hatinya.
"Enak sekali, Lana! Kamu jago masak ternyata," puji nenek Yasmin dengan tulus, matanya berbinar kagum.
"Syukurlah kalau Nenek suka. Ini pertama kalinya Lana masak rawon, jadi Lana kurang yakin sama rasanya," jawab Lana dengan senyum malu.
"Ini enak, enak banget, sayang. Terima kasih ya," ucap nenek Yasmin tulus, menggenggam tangan Lana dengan lembut.
"Sama-sama, Nek," jawab Lana sambil menuangkan air minum ke dalam gelas neneknya, perhatiannya yang tulus membuat hati nenek Yasmin menghangat.
"Kok terima kasihnya cuma sama Lana, Nek? Sakha juga bantu iris-iris, lho!" protes Sakha dengan wajah pura-pura cemberut.
"Iya, iya, terima kasih, cucu Nenek yang paling ganteng," goda nenek Yasmin, mencubit pipi Sakha dengan sayang.
Sakha tersenyum puas, lalu melanjutkan makan dengan lahap. Selain rawon, Lana juga menyiapkan hidangan pelengkap seperti perkedel kentang, telur asin, sambal terasi, dan bakwan jagung. Semua hidangan itu dibuat dalam jumlah banyak, agar Bi Maya dan para pekerja di rumah nenek Yasmin juga bisa ikut menikmati.
Nenek Yasmin mengamati Lana dengan seksama. Gadis itu berbeda dari kebanyakan remaja yang ia kenal. Ia sangat perhatian dan peka terhadap sekitarnya, rendah hati, dan sopan. Ia tak canggung berinteraksi dengan siapa saja, bahkan dengan para pekerja di rumah nenek Yasmin. Meskipun usianya masih muda, cara Lana berbicara menunjukkan kedewasaan dan pemikiran yang luas.
"Jadi, kamu rencananya mau lanjut kuliah di luar negeri?" tanya nenek Yasmin, penasaran.
Lana mengangguk mantap.
"Lana lagi berusaha mendapatkan beasiswa, Nek. Sekarang sedang menyiapkan diri," jawabnya dengan semangat.
"Tapi kamu ikut les untuk persiapannya?" tanya nenek Yasmin lagi.
Lana menggeleng. "Enggak, Nek. Lana belajar mandiri. Biayanya cukup mahal kalau ikut preparation class seperti itu," jelasnya.
"Ayah dan ibu kamu pasti khawatir melepas kamu sekolah di luar negeri?" tanya nenek Yasmin, mencoba memahami perasaan orang tua Lana.
Lana hanya menjawab dengan senyum tipis, menyiratkan kerinduan dan harapan.
"Kamu sudah tahu jurusan apa yang akan kamu ambil nanti?" tanya nenek Yasmin lagi.
Lana mengangguk. "Iya, Nek. Lana sudah memutuskan dua jurusan yang memang menarik minat Lana sejak dulu," jawabnya dengan mata berbinar.
"Wah, kamu hebat! Sudah tahu tujuan hidup kamu. Nah, Sakha, kamu contoh nih Lana," kata nenek Yasmin, melirik Sakha yang sedang asyik makan.
"Ah, santai saja, Nek," jawab Sakha cuek, mengangkat bahunya.
Nenek Yasmin hanya bisa menghela napas, melihat kelakuan cucunya yang keras kepala.
...-----------...
Malam semakin larut, dan Lana telah diantar pulang oleh Pak Izal. Tinggallah nenek Yasmin dan Sakha berdua di ruang keluarga yang hangat, ditemani cahaya lembut dari layar televisi yang menampilkan serial favorit nenek.
"Nek, kalau Sakha kuliah, nenek pengennya Sakha ambil jurusan apa?" tanya Sakha tiba-tiba, memecah keheningan yang nyaman.
Nenek Yasmin mengerutkan kening, menatap cucunya dengan tatapan menyelidik.
"Kenapa kamu tiba-tiba bahas soal kuliah?" tanyanya, penasaran.
"Ya, nggak apa-apa, Nek. Penasaran aja," jawab Sakha cuek, berusaha menyembunyikan rasa gugupnya.
"Pasti karena Lana, ya?" goda nenek Yasmin, senyumnya mengembang.
Sakha hanya mengangkat bahunya, tidak menyangkal, tidak juga mengiyakan.
"Kalau nenek, ya terserah kamu. Nenek nggak bisa memaksakan kemauan nenek sama kamu. Toh, kamu nanti yang akan menjalani masa depanmu sendiri," jawab nenek Yasmin bijak.
"Kalau Sakha nggak kuliah gimana?" tanya Sakha lagi, menatap neneknya dengan serius.
"Hufft..." Nenek Yasmin menghela napas panjang, menatap cucunya dengan tatapan kecewa. "Kalau nggak kuliah, lalu kamu mau jadi apa, Sakha?" tanyanya, suaranya sedikit meninggi.
"Ya, langsung kerja di perusahaan nenek," jawab Sakha enteng, seolah itu adalah pilihan yang paling logis.
"Terus, nanti gelar pendidikan karyawan kamu lebih tinggi dari kamu, memangnya kamu nggak malu?" sindir nenek Yasmin, mencoba menyadarkan cucunya.
"Ngapain malu? Memangnya masalah?" balas Sakha, tidak mengerti maksud neneknya.
"Ah, terserah kamu saja!" Nenek Yasmin sewot, bangkit dari sofa dan berlalu meninggalkan Sakha yang keheranan. "Nenek tidur duluan!" serunya kesal, sebelum menghilang di balik pintu kamarnya.
Sakha menatap kepergian neneknya dengan bingung. Ia tidak mengerti mengapa neneknya tiba-tiba marah.
"Salah ngomong di mana, sih?" gumamnya, menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
...----------------...
tak bapak tak ibu sama aja dua duanya jahat sama anak sendiri