~Karya Original~
[Kolaborasi dari dua Author/BigMan and BaldMan]
[Update setiap hari]
Sebuah ramalan kuno mulai berbisik di antara mereka yang masih berani berharap. Ramalan yang menyebutkan bahwa di masa depan, akan lahir seorang pendekar dengan kekuatan yang tak pernah ada sebelumnya—seseorang yang mampu melampaui batas ketiga klan, menyatukan kekuatan mereka, dan mengakhiri kekuasaan Anzai Sang Tirani.
Anzai, yang tidak mengabaikan firasat buruk sekecil apa pun, mengerahkan pasukannya untuk memburu setiap anak berbakat, memastikan ramalan itu tak pernah menjadi kenyataan. Desa-desa terbakar, keluarga-keluarga hancur, dan darah terus mengalir di tanah yang telah lama ternodai oleh peperangan.
Di tengah kekacauan itu, seorang anak lelaki terlahir dengan kemampuan yang unik. Ia tumbuh dalam bayang-bayang kehancuran, tanpa mengetahui takdir besar yang menantinya. Namun, saat dunia menjerumuskan dirinya ke dalam jurang keputusasaan, ia harus memilih: tetap bersembunyi/melawan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BigMan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 34 - Abirama: Kisah Masa Lalu Sang Iblis Hitam
...----------------...
[Flashback]
Nama lama: Tidak pernah dicatat.
Julukan : Sang Iblis Hitam / Sang Seribu Wajah
Ia lahir dari rahim seorang wanita agung—kakak dari pemimpin Klan Spaide saat itu—seorang pendekar bayangan yang terkenal karena kesucian darah dan kemurnian tekniknya.
Namun sang ibu menyimpan rahasia yang bahkan mengguncang darah klannya sendiri: identitas ayah dari anak itu tidak diketahui siapapun. Bukan karena lupa… tapi karena ia sendiri tidak pernah mengucapkannya.
“Ia bukan dari sini…” itulah satu-satunya kalimat yang pernah ia ucapkan.
Kalimat yang menjadi misteri turun-temurun, bahkan untuk adiknya sendiri yang menjadi kepala klan saat itu.
Sejak kecil, anak itu—kelak dikenal sebagai Abirama, sudah menjadi sesuatu yang tidak bisa dijelaskan.
Ia tidak pernah menangis.
Ia tidak pernah sakit.
Ia tidak pernah gagal menguasai teknik apapun yang diajarkan padanya, bahkan yang hanya diwariskan pada generasi tertinggi.
Di usia 9 tahun, ia mampu menirukan 137 gaya bertarung hanya dengan melihatnya sekali.
Di usia 11, ia menghilang dari pandangan manusia selama satu bulan penuh—dan kembali tanpa luka, tanpa lapar, hanya membawa satu kalimat:
“Bayangan telah memanggilku pulang.”
Ia pun dibawa masuk ke Divisi Bayangan Dalam, unit rahasia tertua dan paling ditakuti dalam sejarah Klan Spaide—sebuah cabang yang hanya diaktifkan ketika dunia benar-benar berada di ambang kehancuran.
Sekitar 27 tahun sebelum kisah utama dimulai, dunia mengalami kekacauan besar. Bukan oleh klan.
Bukan oleh pengkhianatan.
Tetapi oleh invasi dari luar benua.
Sebuah kekaisaran dari seberang lautan, datang membawa ribuan kapal, pasukan berkuda perunggu, dan simbol naga di setiap bendera mereka.
Ketiga klan besar—Strein, Acellian, dan Spaide—harus bersatu untuk pertama kalinya dalam sejarah guna menghalau mereka.
Dan di antara pasukan aliansi itu, ada satu nama yang tidak tercatat dalam perjanjian… namun dicatat oleh tanah, darah, dan malam.
Sang Iblis Hitam.
Ia tidak memimpin. Ia tidak bersuara. Ia hanya muncul di tengah gelap, saat harapan mulai sirna. Dan setiap kali ia lewat, musuh-musuh besar tergeletak tanpa luka luar… hanya kematian dingin dengan ekspresi ketakutan tak masuk akal.
Prajurit dari kekaisaran itu menyebutnya:
“Yang tidak memiliki wajah. Yang membawa naga dari neraka.”
Mereka takut pada bentuk yang tidak bisa mereka kenali.
Mereka gemetar oleh kekuatan yang tak bisa mereka sentuh.
Dan konon… pemimpin kekaisaran itu sendiri terlibat langsung dalam invasi.
Seorang tirani dengan mahkota dari batu obsidian dan lambang naga berwarna keemasan di jubah putihnya yang berkibar.
Namun hanya segelintir saksi hidup yang mengingat wajahnya.
Ketika perang usai dan kekaisaran asing mundur, bayangan Abirama tidak memudar. Justru ketakutan mulai tumbuh di antara klan-klan lain.
Selama ia hidup, Klan Spaide akan berada di puncak dunia. Tak bisa disentuh. Tak bisa dilawan.
Dan dari ketakutan itu, lahirlah konspirasi.
Mereka ingin menjatuhkan klan Spaide melalui satu nama: Abirama.
Dan dalam balutan damai yang rapuh, konflik antar klan pun kembali meletus.
Satu nama menjadi sasaran utama dalam operasi senyap:
Yaitu, Abirama.
Dalam keputusasaan yang membungkus ambisi, Klan Acellian mengirim seorang pembunuh rahasia—putri tertua dari pemimpin mereka sendiri: Isamu Kimiko.
Cantik. Dingin. Cepat seperti anak panah yang dibisikkan angin.
Kimiko dikenal sebagai seniman kematian. Ia tidak pernah gagal.
Tugasnya sederhana: bunuh Abirama.
Malam pertemuan mereka terjadi di reruntuhan tua, di pinggiran wilayah terlarang, di mana embun malam begitu pekat, bahkan bayangan pun tampak enggan melekat.
Mereka bertarung selama tiga malam penuh.
Kimiko menyerang tanpa henti, menusuk dalam diam, menembakkan kunai beracun seperti hujan.
Namun, Abirama selalu menghindar.
Ia tidak membalas. Ia hanya… mengamati.
Di akhir pertarungan, tubuh Kimiko runtuh—bukan karena luka melainkan karena kelelahan. Tapi matanya masih menatap dengan bangga.
“Bunuh aku… atau aku akan kembali dan mencoba lagi.”
Abirama tidak merespon—tidak berbicara sepatah kata. Ia hanya membuat gerakan kecil untuk membuka topeng dan perban yang membaluti wajahnya.
Saat matanya menatap Abirama dengan dendam dan pasrah yang bersatu… Saat itulah Kimiko melihat wajah Abirama.
Ia menyadari sesuatu… lelaki itu bukan iblis—hanya seseorang yang dikutuk oleh dunia karena kekuatannya melebihi zamannya.
Abirama menunduk… menyentuh pipinya… dan menatapnya dengan mata manusia, lalu ia berkata:
“Kau datang untuk mengambil nyawaku..?” tanya Abirama.
Kimiko tidak menjawab, hanya menatap dengan nafas terengah.
“Maka aku sudah mati… saat aku melihatmu..."
......................
Setelah kejadian malam itu, Kimiko kembali ke klannya dengan luka di tubuh dan kebohongan di lidahnya.
Ia menyatakan: misi telah berhasil. Abirama telah dibunuh.
Klan Acellian percaya. Dunia percaya.
Namun setiap bulan purnama, Kimiko mencuri waktu—menyelinap keluar dari perbatasan, melintasi batas larangan, menyusuri jalan rahasia yang hanya mereka berdua tahu.
Di sebuah gubuk kayu di lembah sunyi, ia bertemu Abirama.
Mereka duduk di bawah langit, saling bersandar di tengah nyanyian angin.
Abirama sering menyusun bunga kering, lalu memberikannya pada Kimiko tanpa bicara, dan Kimiko hanya tersenyum—senyum yang perlahan menghanguskan semua perintah kematian yang pernah ia pegang.
Hari demi hari, perasaan itu tumbuh. Bukan seperti cinta para manusia biasa. Tapi seperti dua makhluk yang tidak pernah diberi hak untuk merasakan—akhirnya merasakan.
Namun, rahasia tidak bisa selamanya menjadi bayangan. Lewat bisikan mata-mata, lewat kesunyian yang terlalu sering ditinggalkan putrinya, Mamoru Isamu, ayah Kimiko, akhirnya mengetahui segalanya. Dan malam itu… tanpa peringatan…
Kimiko dihadapkan di hadapan para tetua.
"Kau mencemari darahmu.”
“Kau menyelamatkan musuh bangsa kita.”
“Kau… mencintai Iblis Hitam itu.”
Kimiko tidak menyangkal.
Dengan kepala tegak, ia menjawab:
“Jika itu dosa… maka aku memilih dosa itu ribuan kali.”
Dan seperti itu… ia diusir. Bukan hanya dari klannya, tapi dari sejarahnya. Namanya dihapus dari silsilah. Jejaknya dilenyapkan dari arsip. Ia menjadi wanita tanpa asal.
Namun dalam kehancurannya… ia memilih satu hal yang tidak bisa dihapus siapa pun yaitu, Abirama.
Malam itu, dalam senyap, Kimiko melarikan diri dan kembali ke gubuk rahasia mereka.
Abirama telah menunggunya… seakan tahu.
Tanpa berkata apapun, mereka menggenggam tangan. Dan melangkah pergi dari segalanya.
Meninggalkan klan, posisi, sejarah, gelar, bahkan nama.
Mereka tidak tahu ke mana arah masa depan.
Tapi mereka tahu…
Cinta mereka adalah satu-satunya bayangan yang layak untuk diikuti.
Dan dunia pun mencatat mereka bukan sebagai pengkhianat…melainkan sebagai cinta yang terlalu kuat untuk dikurung oleh garis darah.
Dan sejak malam itu… Sang Iblis Hitam pun menghilang. Tidak sebagai musuh.
Tidak sebagai legenda. Tapi sebagai pria yang akhirnya… memilih menjadi manusia.
maaf Thor kl nyinggung,ini cm pendapat pribadi gw aja...