“Silakan pergi dari mansion ini jika itu keputusanmu, tapi jangan membawa Aqila.” ~ Wira Hadinata Brawijaya.
***
Chaca Ayunda, usia 21 tahun, baru saja selesai masa iddahnya di mana suaminya meninggal dunia karena kecelakaan. Kini, ia dihadapi dengan permintaan mertuanya untuk menikah dengan Wira Hadinata Brawijaya, usia 35 tahun, kakak iparnya yang sudah lama menikah dengan ancaman Aqila—anaknya yang baru menginjak usia dua tahun akan diambil hak asuhnya oleh keluarga Brawijaya, jika Chaca menolak menjadi istri kedua Wira.
“Chaca, tolong menikahlah dengan suamiku, aku ikhlas kamu maduku. Dan ... berikanlah satu anak kandung dari suamiku untuk kami. Kamu tahukan kalau rahimku bermasalah. Sudah tujuh tahun kami menikah, tapi aku tak kunjung hamil,” pinta Adelia, istri Wira.
Duka belum usai Chaca rasakan, tapi Chaca dihadapi lagi dengan kenyataan baru, kalau anaknya adalah ....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25. Terluka
Adelia melangkah perlahan-lahan dari ambang pintu kamar Chaca, matanya merah dipenuhi api cemburu. Amarah yang sudah ia tahan sejak tadi akhirnya meledak. Ia meraih vas bunga di atas meja rias, lalu dengan sekuat tenaga melemparkannya ke lantai, pecahan kaca berhamburan ke segala arah.
"KAMU PENGGODA! DASAR PERUSAK RUMAH TANGGA!" teriak Adelia dengan suara bergetar.
Wira yang masih berdiri di tepi ranjang menatap Adelia dengan rahang mengeras. "Adel, cukup! Jangan bertindak seperti orang gila!"
Tapi Adelia sudah kehilangan kendali. Ia meraih apa pun yang bisa dijangkaunya—buku, bingkai foto, bahkan botol parfum—semuanya ia lemparkan ke arah Wira dan Chaca. Wira berhasil menghindari beberapa lemparan, tapi satu pukulan keras dari sebuah buku tebal mendarat di dadanya.
“Adelia, hentikan!” Wira melangkah mendekat, berusaha meraih tangan istrinya agar berhenti merusak barang-barang di kamar Chaca.
Namun, Adelia justru melayangkan tangannya, memukul dada Wira dengan keras. “Kamu yang keterlaluan, Mas! Kamu janji tidak akan menyentuhnya, tapi sekarang aku melihat sendiri bagaimana kamu mengingkari janjimu!”
Chaca yang masih terguncang hanya bisa duduk diam di ranjang dengan tangan mencengkeram erat handuk yang menutupi tubuhnya. Napasnya masih tidak beraturan, pikirannya kacau. Ia sudah tahu, ujung-ujungnya ia yang akan disalahkan.
“Aku tidak melakukan apa pun dengannya!” bentak Wira, mencoba menjelaskan.
“Mas Wira pikir aku buta? Aku melihat sendiri bagaimana kalian berdua!” Adelia semakin histeris. Tangannya meraih gelas di meja dekat ranjang, lalu tanpa pikir panjang, ia melemparkan benda itu ke arah Chaca.
"AWAS!" Wira yang menyadari tindakan istri pertamanya langsung mencoba menghalangi, namun terlambat.
Mata Chaca membesar saat Adelia tiba-tiba meraih gelas kaca yang ada di meja samping ranjang.
"Adelia, JANGAN!" seru Wira, melangkah maju untuk menghentikannya.
Terlambat.
Dengan mata penuh kemarahan dan tangan yang gemetar, Adelia melemparkan gelas itu langsung ke arah Chaca. Wanita itu hanya bisa memejamkan mata, bersiap menerima pukulan.
PRANG!
Gelas itu mengenai kepala belakang Chaca dengan keras. Tubuhnya langsung terhempas ke samping, dan suara napasnya yang tersengal terdengar jelas di ruangan yang tiba-tiba hening. Darah segar mulai mengalir dari lukanya, membasahi bantal putih di bawah kepalanya.
Wira langsung melompat ke depan, menangkap tubuh Chaca yang hampir jatuh dari tempat tidur. "Chaca! Chaca!" serunya panik.
Tapi Chaca tidak merespons. Kelopak matanya perlahan tertutup, napasnya melemah, dan tubuhnya terasa lemas di pelukan Wira.
Adelia, yang baru sadar apa yang telah ia lakukan, membeku di tempatnya. Tangannya bergetar, matanya menatap horror ke arah darah yang mulai menggenang di lantai.
"A-aku ... aku nggak sengaja ... M-mas Wira, aku ... aku cuma marah... aku nggak bermaksud ...." Suaranya lirih, hampir tak terdengar.
Wira menoleh dengan tatapan yang tak pernah terlihat sebelumnya—penuh kemarahan dan kekecewaan yang mendalam. Dalam satu gerakan cepat, tangan besarnya melayang ke wajah Adelia.
PLAK!
Tamparan keras itu membuat Adelia terdorong ke belakang. Ia jatuh terduduk di lantai, tangannya meraba pipinya yang kini memerah karena tamparan itu. Matanya membelalak tidak percaya.
"Lihat apa yang sudah kamu lakukan!" sentak Wira dengan suaranya bergetar karena amarah. "Aku bisa menerima semua kecemburuan dan kemarahanmu, tapi melukai Chaca? Kamu sudah melewati batas, Adelia!"
Air mata Adelia mengalir deras. Ia ingin membela diri, ingin mengatakan sesuatu, tetapi lidahnya terasa kelu.
Tiba-tiba, suara langkah kaki tergesa-gesa terdengar dari luar kamar. Bik Rahma dan Mama Maryam muncul di ambang pintu. Begitu melihat kondisi kamar yang berantakan dan Chaca yang sudah bersimbah darah di pelukan Wira, mereka terperanjat.
"YA ALLAH! CHACA!" seru Mama Maryam, tangannya menutupi mulutnya karena terkejut.
Tanpa menunggu lebih lama, Wira segera menarik selimut dan menutupi tubuh Chaca yang hanya berbalut handuk. Dengan hati yang mencelos, ia mengangkat tubuh istrinya yang lemah, lalu bergegas keluar kamar.
"BIK RAHMA, MINTA RESTU SIAPKAN MOBIL! KITA KE RUMAH SAKIT SEKARANG!" perintah Wira dengan suara tegas, penuh ketegangan.
Bik Rahma langsung berlari menuju garasi, sementara Mama Maryam masih berdiri terpaku, menatap Adelia dengan kecewa.
"Apa yang sudah kamu lakukan, Adel? Apa kamu sadar akibat dari perbuatanmu?" tanya Mama Maryam dengan suaranya dingin dan menusuk.
Adelia hanya menangis tersedu, tidak bisa berkata apa-apa.
***
Di dalam mobil, Wira memangku tubuh Chaca yang lemas, darahnya masih mengalir dari kepala bagian belakang. Napas pria itu memburu, tangannya menggenggam erat tangan Chaca yang dingin.
"Bertahanlah, Chaca ... Kamu nggak boleh pergi ...," gumam Wira dengan nada penuh rasa bersalah. Lalu, dikecupnya sekilas bibir Chaca dengan lembutnya.
Sesampainya di rumah sakit, tim medis langsung menyambut mereka. Chaca segera dibawa ke ruang gawat darurat, dan Wira bergegas menyiapi dirinya.
“Segera siapkan ruang operasi!“ perintah Wira tegas.
“Baik Dok,” jawab salah satu perawat, dan bergegas konfirmasi dengan perawat OK.
***
Tanpa menunggu waktu lama, di dalam ruang operasi rumah sakit milik keluarganya, Wira mengenakan jas bedah dan sarung tangan steril. Napasnya berat, tangannya mengepal, mencoba mengendalikan emosi yang berkecamuk di dadanya. Di hadapannya, Chaca terbaring tak berdaya di meja operasi, dengan darah yang masih merembes dari luka di kepalanya. Monitor jantung berdetak stabil, namun Wira tahu, wanita itu kehilangan cukup banyak darah.
Mata Wira menajam saat ia mengambil pisau bedah. Ini bukan sekadar operasi biasa—ini adalah wanita yang seharusnya ia lindungi, bukan yang justru terluka karena pertengkaran bodoh dalam rumah tangganya.
"Dokter Wira, apakah Anda yakin ingin menangani ini sendiri?" tanya salah satu asisten dokter dengan ragu.
"Saya dokter bedah, dan saya keluarganya," jawab Wira tegas. "Tidak ada yang lebih bisa saya percayai untuk memastikan dia selamat selain diri saya sendiri."
Tim medis saling berpandangan, lalu mengangguk. Mereka tahu, ini bukan sekadar profesionalisme—ini adalah pertarungan Wira dengan dirinya sendiri.
Wira menarik napas panjang sebelum membuat sayatan kecil di kulit kepala Chaca untuk membersihkan sisa pecahan kaca yang tertinggal. Tangannya terampil, tapi hatinya terasa berat. Setiap kali pisau bedah menyentuh kulit Chaca, ada sesuatu dalam dirinya yang bergetar—ketakutan akan kehilangan.
"Coba cek tekanan darahnya," pinta Wira dengan suara rendah.
"Masih stabil, Dok," jawab perawat.
Namun, saat ia mulai menjahit luka di kepala Chaca, matanya sedikit berkabut. Bayangan saat Chaca tergeletak bersimbah darah di kamarnya tadi masih terpatri jelas dalam pikirannya.
"Maaf …," gumam Wira lirih, meskipun Chaca tak bisa mendengarnya.
Saat akhirnya jahitan terakhir selesai dan perban melilit kepalanya dengan sempurna, Wira menghela napas panjang. Ia meletakkan alat bedahnya dan mundur selangkah, menatap wajah Chaca yang masih terpejam.
"Dia akan baik-baik saja, Dokter," ujar salah satu perawat, mencoba menenangkan.
Wira hanya mengangguk, lalu melepas sarung tangannya dengan kasar. "Pindahkan dia ke kamar VIP, pastikan dia mendapatkan pengawasan penuh," instruksinya, sebelum berbalik meninggalkan ruang operasi dengan perasaan campur aduk.
Ia menangani operasi dengan baik, tapi bisakah ia menyembuhkan luka yang lebih dalam—luka di hati Chaca?
Bersambung .... ✍️
cha² kan orang nya lurus² aja kan dia ga ada kepikiran jadi pelakor atau apalah... si dedel yg bikin ulah dan permainan yg dia buat sendiri kan dari awal bab pertama itu ... si dedel ga sadar banget petatah bilang bila tidak cinta jangan di paksa untuk mencintai seorang yang tidak mencintai mu tapi bikin km menderita dan tersiksa jadi itu bukan cinta nama nya tapi obsesi.lebih baik di lepas kan saja pasangan yg tidak mencintai mu Krn di luar sana masih banyak lelaki yang masih bisa mencintai dengan tulus dan apa ada tidak melihat masa lalu mu dulu.
dedel yg ga bisa pikir jernih atau apalah susah di bilang pasti udah bebal tuh ... perlu di kasih pelajaran agama toh si dedel ....
yg di sini salah itu siapa ya itu si dedel maupun Wira kata orang ambil hikmahnya dan pelajaran nya ketika memilih pasangan hidup yang lebih baik dan bisa membimbing pasangan ke jalan yg benar.ini kan ga ada lho si dedel maupun Wira 😓😓
cha² nah dia udah benar di jalan nya
𝑚𝑎𝑘𝑎𝑠𝑖ℎ 𝑀𝑜𝑚𝑚𝑦
𝑙𝑎𝑛𝑗𝑢𝑡 💪💪💪💪💪
alurnya keren , cerita yang disajikan bisa membawa hato dan suasana pembaca.
keren pokonya top markotop THE BEST rugi yang gak mau kasih vote