Terjebak dalam sebuah pernikahan yang tidak pernah dia impikan membuat kehidupan Anik Saraswati menjadi rumit.
Pernikahannya dengan seorang dokter tampan yang bernama Langit Biru Prabaswara adalah sebuah keterpaksaan.
Anik yang terpaksa menjadi mempelai wanita dan Dokter Langit pun tak ada pilihan lain, kecuali menerima pengasuh putrinya untuk menjadi mempelai wanita untuknya membuat pernikahan sebuah masalah.
Pernikahan yang terpaksa mereka jalani membuat keduanya tersiksa. Hingga akhirnya keduanya memutuskan untuk mengakhiri pernikahan mereka.
Jika ingin membaca latar belakang tokoh bisa mampir di Hasrat Cinta Alexander. Novel ini adalah sekuel dari Hasrat Cinta Alexander
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kirana Putri761, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kontrakan Baru
Saat tubuhnya di serang rasa lelah, Anik meletakkan bobotnya di sofa. Setelah dua hari pindah di kontrakan baru, Anik masih di sibukkan merapikan kontrakannya.
Apalagi hari ini dia libur kerja, dia pun berniat menyelesaikan semuanya hari ini juga. Tapi sayang, kondisi hamil membuat tenaganya memang terbatas.
Suara motor berhenti di depan kontraknya. Anik menoleh ke arah pemiliknya hingga wanita itu tersenyum sumringah saat melihat Rini turun dari motor.
Berlahan dia beranjak dari duduk, berniat membukakan pintu untuk temannya itu.
"Assalamualaikum..." teriak Rini sambil mengetuk pintu berkali-kali.
" Waalaikum salam." jawab Anik saat membukakan pintu.
" Aku bawa rujak sama es campur. Kita makan di teras saja, ya!" ucap Rini, sambil memperhatikan teras dan sekitarnya.
"Aku ambil piring sama mangkuk dulu, Mbak." jawab Anik kemudian berjalan masuk ke dalam.
Kontrakan Anik berada di komplek perumahan menengah, bangun yang tidak terlalu mewah tapi dengan tanah yang cukup luas.
"Kontrakanmu enak ,Nik! Mahal ya?" tanya Rini masih penasaran. Kontrakan yang ditempati Anik memang tidak terlalu besar seperti rumah lainnya. Tapi penataan tanaman di depannya membuat orang merasa nyaman untuk menikmati suasananya.
"Nggak kok, standard malah cenderung lebih murah. Kayaknya yang punya rumah nggak butuh duit!" cerita Anik sambil menyuap sepotong buah yang ada di depannya.
"Eh itu, Mbak Nira! Yang punya rumah ini." lanjut Anik dengan menatap seorang wanita yang keluar dari rumah sebelah dan berjalan membuka pintu penghubung pagar mereka.
Rumah yang dikontrak Anik memang bagian samping rumah Nirani. Wanita yang menjadi istri seorang pegawai Offshore memang mempunyai rumah paling besar di komplek itu.
"Mbak Anik, aku baru saja mencoba bikin kue. Cobain ya!" ucap Nirani dengan ramah. Wanita itu memang sangat supel dengan siapapun.
" Terima kasih, Mbak."
" Oh ya, mari gabung Mbak, kita lagi rujakan bareng nih." lanjut Anik. Dia memang melihat Nira orangnya supel.
" Boleh?" Nirani kembali meyakinkan tawaran Anik.
" Tentu, Mbak." jawab Anik dan Rini hampir bersamaan.
Nirani pun ikut bergabung. Belum punya momongan dan suaminya yang jarang di rumah membuat wanita anggun itu ikut bergabung untuk mengusir kesepiannya.
" Kalian suka makan rujak?" tanya Nira sambil mengunyah sepotong buah di mulutnya.
" Tadi iseng bawain Anik. Katanya wanita hamil itu suka rujak." jawab Rini membuat Nira tersedak hingga membuat wanita itu terbatuk.
Semua menghentikan makannya saat melihat Nira tersedak. Anik segera memberikan air putih agar wanita itu merasa sedikit lega.
" Ehm..ehm... loh Mbak Anik hamil? Katanya janda?" tanya Nira dengan penuh selidik.
Saat pertama kali bertemu, Anik memang mengatakan jika dirinya adalah seorang janda. Tapi, tidak menceritakan keadaannya yang sedang hamil.
" Iya, Mbak. Saya hamil tiga bulan." lirih Anik yang merasa tidak enak.
" Aduh, mantan suami sudah tahu?" tanya Nira terlihat cemas. Anik hanya menggeleng.
"Sebaiknya bilang ke mantan suami. Siapa tahu dia juga mengharapkan bayi itu." lanjut Nira.
" Nggak, Mbak." tolak Anik. Situasi menjadi tegang termasuk Rini yang menatap serius Anik dan Nira secara bergantian.
" Loh kenapa? Dia berhak tahu lo, siapa tahu ayahnya juga ingin bayi itu. Seperti saya dan suami, sudah 10 tahun menikah belum di kasih rejeki anak sama Tuhan. Adik saya juga begitu, dia sudah ingin sekali punya anak. Tapi, istrinya belum siap katanya."
" Eh, maaf malah cerita kemana-mana." Wanita itu memang tipe yang orang yang mudah cerita.
"Ayahnya tidak menginginkan apapun dari saya, Mbak. Mungkin termasuk anak yang saya kandung." jawab Anik, ada sebuah kesedihan saat mengatakan semuanya.
" Ayahnya sudah ada wanita yang lebih pantas mendampinginya." lanjut Anik. Matanya terasa memanas, tapi dia menahan sekuat tenaga agar tidak menjatuhkan meskipun setetes saja air dari dua matanya.
" Sabar, ya! Anak adalah rejeki yang terindah. Jaga baik-baik!" lirih Nira dengan mengusap tangan Anik. Dia sendiri begitu menginginkan kehadiran buah hatii.
Mereka pun mengalihkan pembicaraan agar tidak larut dalam kesedihan. Bahkan, Nira juga bercerita jika mamanya sering mengunjungi butik tempat mereka bekerja.
###
Langit memang tidak berniat mendaftarkan perceraiannya. Meskipun beberapa kali, Nikita mendesaknya. Namun, pria itu masih mengajukan banyak alasan untuk mengulurnya.
" Tok...tok... Lang, aku bawa makan siang untukmu!" ujar Nikita yang langsung masuk dengan membawa dua kotak makan yang baru saja dia pesan.
"Sebenarnya aku mau balik, Nik. Mau ngajak Ana melihat rumah." ujar Langit yang baru saja berdiri itu pun kembali duduk.
" Ayolah, Lang. Sebentar saja. Habis itu, aku ikut sama kamu!" bujuk Nikita dengan membuka kotak makan yang berisi nasi dan ayam bakar.
"Baiklah." jawab Langit.
Mereka pun makan siang bersama. Sesekali dia melirik wanita yang elegant di depannya itu dengan penuh tanya. Entah, kenapa perasaannya masih hambar bahkan dia sudah tidak berniat untuk melanjutkan hubungan mereka.
Entah, jiwa playernya kembali atau memang dia memang tidak pernah mencintai Nikita. Tapi saat masih terikat pernikahan dengan Anik Langit memang merasa lebih baik menjalin hubungan dengan Nikita dari pada harus mempunyai istri Anik.
" Enak nggak? Ayam bakar ini legend Lo!" ucap Nikita dengan masih menikmati sesuap demi sesuap makanan di depannya.
" Enak, kok." jawab Langit singkat. Pria itu memang bermain dengan pikirannya sendiri.
Mereka pun dengan cepat menyelesaikan makan siang. Keduanya pun berada di satu mobil yang sama, yaitu mobil Langit.
Pria tampan itu mengenakan kacamata hitam karena cuaca yang cukup menyilaukan mata. Dengan mengendalikan kemudi menuju sekolah Ana, sesekali dia meyakinkan hubungannya dengan Nikita. Hubungan keduanya memang bukanlah main-main layaknya remaja yang jatuh cinta.
"Aku memang ingin dekat dengan Ana, Lang." ujar Nikita dengan menoleh ke arah pria yang terlihat lebih tampan dengan kacamata hitamnya.
" Tapi, Ana memang bukan tipe anak yang mudah beradaptasi." sahut Langit, pria itu melirik Nikita. Langit bisa melihat kesungguhan Nikita, hingga dia harus kembali meyakinkan dirinya jika Nikita adalah wanita yang tepat mendampinginya.
" Tidak masalah. Namanya juga aku cinta sama Papanya ." ucap Nikita dengan manja hingga membuat Langit tersenyum kecil.
Mereka pun berhenti tepat di depan sekolah Ana. Langit sengaja akan mengajak Ana pulang terlebih dahulu karena biasanya bocah itu di menjemput setiap jam tiga sore sekalian masuk dipenitipan.
" Halo , Sayang." sapa Niki saat bertemu dengan bocah yang kini menggendong tasnya.
" Sayang, Salim sama Tante Niki." pinta Langit saat Ana hanya menatap wanita berambut sebahu itu.
Ana pun langsung mengambil tangan wanita itu, meskipun wajahnya masih cemberut. Langit hanya menggeleng pelan saat melihat raut wajah putrinya. Dia hanya merasa heran dengan sikap Ana yang seolah sulit menerima Nikita.