NovelToon NovelToon
The Vault : Organisasi Penyeimbang Dunia

The Vault : Organisasi Penyeimbang Dunia

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Sci-Fi / Misteri / Mata-mata/Agen
Popularitas:564
Nilai: 5
Nama Author: Saepudin Nurahim

The Vault membawa pembaca ke dalam dunia gelap dan penuh rahasia di balik organisasi superhero yang selama ini tersembunyi dari mata publik. Setelah markas besar The Vault hancur dalam konflik besar melawan ancaman luar angkasa di novel Vanguard, para anggota yang tersisa harus bertahan dan melanjutkan perjuangan tanpa kehadiran The Closer dan Vanguard yang tengah menjalankan misi di luar angkasa.

Namun, ancaman baru yang lebih kuno dan tersembunyi muncul: Zwarte Sol, sebuah organisasi rahasia peninggalan VOC yang menggabungkan ilmu gaib dan teknologi metafisik untuk menjajah Indonesia secara spiritual. Dengan pemimpin yang kejam dan strategi yang licik, Zwarte Sol berusaha menguasai energi metafisik dari situs-situs kuno di Nusantara demi menghidupkan kembali kekuasaan kolonial yang pernah mereka miliki.

Para anggota The Vault kini harus mengungkap misteri sejarah yang tersembunyi, menghadapi musuh yang tak hanya berbahaya secara fisik, tapi juga mistis, dan melindungi Indonesia dar

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Raungan Tak Pernah Padam

RAUNGAN ITU MASIH menggema di telinga Dira.

Dalam mimpinya, dia berdiri sendirian di tengah hutan purba yang asing, dedaunan bergerak seolah hidup, dan dari langit retak, turun sosok raksasa bersisik hijau emas. Mata makhluk itu menyala biru, menatap langsung ke dalam jiwanya.

“Bukan waktumu... Tapi waktumu akan tiba.”

Suara itu seperti petir yang dilapisi air. Dingin, namun menggelegar.

Dira terbangun dengan napas terengah, tubuh berkeringat meski suhu ruang penjara tetap dingin. Langit-langit batu menyambut pandangannya, tak ada naga, tak ada hutan, hanya realitas yang kembali mengekang.

“Dira?” suara Bagas, pelan namun waspada, terdengar dari ranjang di seberangnya. “Kau mimpi lagi?”

Dira duduk perlahan, mengangguk. “Iya... Tapi bukan mimpi biasa.”

Suara raungan itu—ia masih bisa mendengarnya. Samar, seperti gema dari dalam dirinya sendiri. Seakan ada bagian dari dirinya yang memanggil balik.

“Semalam kau mengigau,” tambah Yuni dari pojok ruangan, suaranya lembut. “Tentang naga, langit retak, dan... air yang membelah bumi.”

Dira memejamkan mata sejenak. Mimpi itu terlalu nyata. Dan yang membuatnya lebih ganjil—naga dalam mimpinya sama dengan yang ada di altar terlarang dalam lukisan yang pernah mereka lihat di markas.

Sesuatu sedang terhubung. Sesuatu yang belum bisa ia pahami sepenuhnya.

Sebelum ia bisa berkata lebih jauh, terdengar langkah kaki dari lorong luar. Suara sepatu baja menghantam lantai batu, ritmenya kaku dan teratur. Pintu penjara terbuka dengan bunyi mendesis.

Seorang prajurit masuk, tubuhnya tegap dalam baju zirah perak tua. “Yang Mulia Raja Terra memanggil kalian. Bersiaplah. Hari ini kalian akan dibawa ke Altar Penentuan.”

---

Semua anggota tim bersiap tanpa banyak kata.

Tak ada yang tahu apa sebenarnya yang akan mereka hadapi. Intan tampak lebih pendiam dari biasanya, matanya tajam mengamati tiap gerakan prajurit. Rivani menggigit bibir, jelas masih kesal dengan kejadian kemarin. Yuni, seperti biasa, menjaga ketenangannya, sementara Noval justru terlihat antusias meski mencoba menyembunyikannya.

“Altar Penentuan?” tanya Noval setengah berbisik. “Kedengarannya seperti semacam ujian suci... atau penyiksaan suci?”

“Kalau kita mati di sana, setidaknya kita bisa bilang kita masuk sejarah dunia yang tak dikenal,” gumam Rendi dengan nada pahit.

Bagas menepuk bahunya. “Optimisme versi Vault. Bagus.”

Dalam diam, Dira berjalan paling depan, mengikuti pengawalan dua prajurit. Tangannya mengepal di balik jubah tahanan. Ia tahu ia harus kuat. Bukan hanya sebagai pemimpin, tapi sebagai jembatan bagi timnya menuju kebenaran yang belum mereka pahami.

Langkah mereka menuruni koridor panjang menuju lorong utama istana. Sinar matahari menerobos dari sela dinding batu putih yang tinggi. Kota Terra tampak indah dari jendela: menara-menara berlapis emas, sungai-sungai melingkar di antara taman-taman kristal.

Namun keindahan itu tidak menghapus perasaan tegang yang menggantung di dada mereka.

Dari pelataran istana, mereka naik ke kendaraan darat berbentuk seperti kereta namun tanpa roda. Kendaraan itu melayang, digerakkan oleh kristal biru terang di bawahnya. Di kiri-kanan jalan, warga Terra menatap mereka dengan rasa penasaran dan ketakutan.

“Aku tak suka jadi tontonan,” bisik Rivani.

“Tenang,” kata Intan datar. “Tontonan kadang lebih berbahaya dari para penonton.”

Beberapa menit kemudian, mereka sampai di kaki gunung. Di sanalah Altar itu berada.

Sebuah kuil raksasa berdiri menempel di tebing batu. Pilar-pilarnya menjulang seperti akar langit, dan di atasnya berdiri patung seekor naga dengan sayap terbuka, mulutnya menganga ke langit. Di depan altar, Raja Terra dan beberapa Tetua telah menunggu.

Solara berdiri di sisi ayahnya, kali ini mengenakan jubah biru kehijauan yang bergelombang seperti laut.

Ketika Dira dan timnya tiba, Solara tersenyum tipis ke arah mereka. Tak seperti sebelumnya, matanya kali ini tampak gelisah.

“Selamat datang di Altar Penentuan,” suara Raja Terra menggema, tenang namun berwibawa. “Hari ini bukan hanya kalian yang akan dihakimi. Tapi juga niat, keyakinan, dan jalan yang kalian pilih.”

Dira menatap Raja Terra dengan tatapan penuh tekad. “Kami tidak datang untuk mengacau. Kami datang karena dunia kami dalam bahaya.”

“Semua orang yang membawa masalah selalu berkata demikian,” balas sang Raja.

Salah satu Tetua melangkah maju. Ia membawa tongkat dari batu hitam, dan di ujungnya menyala api biru.

“Langkahkan kaki kalian ke dalam lingkaran altar,” perintahnya.

Tanpa ragu, Dira maju. Satu per satu yang lain mengikutinya, membentuk lingkaran di atas simbol yang terukir dalam bahasa kuno. Saat semua telah berada di tempatnya, altar mulai bergetar pelan. Cahaya biru muncul dari bawah kaki mereka.

Seketika, tubuh mereka terasa ringan, lalu... hilang.

---

Dira membuka mata.

Ia berdiri di ruang putih tak berujung. Tidak ada dinding, tidak ada langit, hanya cahaya, dan... suara napas berat.

Lalu muncul sesosok makhluk raksasa di hadapannya—sosok yang sama dari mimpinya.

Naga itu melayang, tak menyentuh tanah. Sisiknya mengalir seperti air, matanya menatapnya dengan kesadaran purba.

“Kau datang membawa dua kemungkinan,” suara naga itu menggema, bukan dari mulutnya, tapi dari udara di sekitar. “Penghancuran... atau penyelamatan.”

Dira tak bisa bicara. Suaranya tercekat.

“Kau tidak bisa memilih keduanya. Dan waktu tidak akan memberimu jawaban.”

Tiba-tiba, naga itu menghilang. Cahaya berubah menjadi gelap. Lalu suara yang lain muncul—suara teriakan, ledakan, dan... suara Bagas.

“Dira! Bangun! Altar bereaksi!”

---

Dira membuka mata, napasnya memburu.

Ia kembali di Altar. Cahaya biru di sekeliling mereka mulai redup. Para Tetua tampak bingung. Raja Terra maju, alisnya mengernyit.

“Apa yang kau lihat?” tanya sang Raja, tajam.

Dira menatapnya dengan mata yang masih bergetar. “Aku melihat... naga penjaga. Ia bicara padaku.”

Semua yang ada di sana langsung terdiam.

Salah satu Tetua tampak tercengang. “Itu... mustahil. Hanya Pewaris Sejati yang bisa mendengar suara Naga Azhurath.”

Dira menelan ludah. “Aku tak tahu kenapa aku bisa mendengarnya. Tapi ia memperingatkan. Ada bahaya lebih besar yang akan datang ke dunia kalian.”

Raja Terra menatapnya lekat-lekat. “Atau mungkin... kaulah bahayanya.”

Bagas melangkah maju, berdiri di samping Dira. “Kami tidak datang untuk menghancurkan. Kami ingin mencegah kehancuran. Tapi jika kami terus dianggap musuh, maka kehancuran akan datang sebelum kita bisa melakukan apa pun.”

Noval menambahkan, “Kalau kau percaya pada ramalan dan naga penjaga, kau harus percaya bahwa kehadiran kami bukan kebetulan.”

Suasana altar kembali senyap. Tak ada jawaban. Tak ada keputusan. Hanya sorot mata yang saling menimbang.

Dan dari balik tebing, angin tiba-tiba berhembus kencang. Awan di langit mulai berputar. Gemuruh muncul, bukan dari dalam bumi... tapi dari langit.

Solara memandang ke atas, matanya melebar. “Langit... berubah.”

Raja Terra menengadah, dan untuk pertama kalinya, ketakutan menyelimuti wajahnya.

“Tidak mungkin... Segel langit mulai retak.”

Bersambung.....

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!