NovelToon NovelToon
Istri Kedua Suamiku

Istri Kedua Suamiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami / Spiritual / Kehidupan di Kantor / Romansa / Dijodohkan Orang Tua / Suami ideal
Popularitas:4.9k
Nilai: 5
Nama Author: ARSLAMET

Sebuah keluarga yang harmonis dan hangat,
tercipta saat dua jiwa saling mencinta dan terbuka tanpa rahasia.
Itulah kisah Alisya dan Rendi—
rumah mereka bagaikan pelukan yang menenangkan,
tempat hati bersandar tanpa curiga.

Namun, kehangatan itu mendadak berubah…
Seperti api yang mengelilingi sunyi,
datanglah seorang perempuan, menembus batas kenyataan.

“Mas, aku datang...
Maaf jika ini bukan waktu yang tepat...
Tapi aku juga istrimu.”

Jleebb...
Seketika dunia Alisya runtuh dalam senyap.
Langit yang dulu biru berubah kelabu.
Cinta yang ia jaga, ternyata tak hanya miliknya.

Kapan kisah baru itu dimulai?
Sejak kapan rumah ini menyimpan dua nama untuk satu panggilan?

Dibalut cinta, dibungkus rahasia—
inilah cerita tentang kesetiaan yang diuji,
tentang hati yang terluka,
dan tentang pilihan yang tak selalu mudah.

Saksikan kisah Alisya, Rendi, dan Bunga...
Sebuah drama hati yang tak terucap,
Namun terasa sampai

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ARSLAMET, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Mencoba menjadi ada

Hari-hari terus berlalu.

Sudah dua bulan Rendi menjadi suami Bunga—namun tanpa sentuhan, tanpa pelukan, tanpa ungkapan cinta.

Hanya ada jarak yang makin hari makin terasa nyata.

Bunga mulai terbiasa dengan hubungan yang tak pernah ia yakini sejak awal. Ia tak berharap lebih, tak menuntut apa-apa. Ia hanya menjalankan peran sebagai anak yang patuh pada titah ayahnya. Dan baginya, itu sudah cukup.

"Pekerjaan makin banyak... dan makin aku terbiasa dengan keadaan ini," gumamnya dalam hati, sembari merapikan berkas-berkas di meja.

Sesekali, matanya mencuri pandang ke ruang kerja Rendi. Lelaki itu tampak tenggelam dalam layar komputer dan percakapan telepon, seolah keberadaannya tak lebih dari bayang-bayang yang bisa diabaikan.

"Mas Rendi… benar-benar tak melihatku sebagai wanita…" lirihnya, perih.

Di sudut ruangan yang lain, terdengar dering telepon kantor.

Panggilan masuk dari seorang kontraktor lokal Yogyakarta, dan seperti biasa, melalui sekretarisnya—Bunga.

Dengan cepat dan cekatan, Bunga menyambungkan sambungan itu ke ruang Rendi.

"Halo, iya. Ada apa?" suara Rendi terdengar tenang namun tegas dari balik meja kerjanya.

Bunga hanya berdiri diam di depan pintu, menatap lelaki itu dari kejauhan. Ada sesak yang tak bisa ia jelaskan, namun ia tetap membisu.

Dari telepon terdengar suara Pak Wisnu, sedikit bergetar, "Begini, Pak. Maaf, ada keterlambatan. Bangunan yang seharusnya selesai dalam tiga bulan, kini malah mangkrak. Perkiraan kami baru bisa selesai enam bulan ke depan."

"Kok bisa? Kenapa bisa mangkrak?" nada suara Rendi mulai meninggi, penuh tekanan.

"Para pekerja mogok, Pak... Mereka menuntut tambahan bayaran. Kalau tidak, mereka tidak mau melanjutkan pekerjaan."

Rendi menghela napas dalam, matanya memejam sejenak.

"Nanti saya hubungi lagi," ucapnya singkat, lalu menutup telepon tanpa menunggu jawaban.

Bunga masih berdiri di sana, tak sanggup berkata-kata melihat ekspresi Rendi yang terlihat letih dan cemas.

Tanpa menunggu aba-aba, Rendi segera menekan interkom dan memanggil Kepala Bagian Keuangan.

Situasi sedang genting.

...****************...

Dengan wajah tegas dan suara datar, ia menekan tombol interkom di meja kerjanya.

"Bunga, tolong panggil Pak Arfan ke ruangan saya sekarang. Kamu juga masuk, bawa laptop dan catatan rapat kemarin."

Suara itu tenang, tapi menyiratkan urgensi.

Bunga yang sedang membereskan berkas lagi langsung berdiri. "Baik, Pak," ucapnya singkat, menahan gemuruh kecil di dadanya.

Tak butuh waktu lama, Bunga mengetuk pintu ruang kerja Rendi, lalu masuk bersama Pak Arfan yang tampak tergesa namun tetap rapi.

Rendi menatap mereka berdua dengan tajam namun terkendali.

"Silakan duduk, Pak Arfan. Bunga, duduk di sebelah saya. Saya mau bahas masalah proyek Yogyakarta."

Pak Arfan duduk, membuka map berisi laporan. Bunga duduk di samping, membuka laptop dan menyiapkan jari-jarinya di atas keyboard.

"Saya baru saja bicara dengan Pak Wisnu," Rendi membuka percakapan. "Proyek mangkrak. Harusnya tiga bulan selesai, tapi sekarang estimasi enam bulan. Pekerja mogok, minta tambahan bayaran."

Pak Arfan mengangguk pelan, membuka lembar laporan.

"Saya juga dapat laporan itu, Pak. Kalau kita setujui permintaan mereka, akan ada penambahan biaya sekitar delapan persen dari anggaran awal."

"Kalau tidak disetujui?" tanya Rendi, nadanya dingin tapi fokus.

"Mereka bisa tinggalkan proyek. Kita harus rekrut tenaga baru, dan itu butuh waktu serta dana lebih besar. Belum lagi risiko keterlambatan lainnya."

Bunga mencatat cepat, namun pikirannya berkelana pada gurat lelah di wajah Rendi. Lelaki itu seperti membawa beban yang tak pernah ia bagi pada siapa pun. Termasuk pada dirinya… istrinya yang bahkan tak dianggap.

"Kita butuh solusi yang bisa menekan risiko. Saya gak mau tambah biaya kalau gak ada jaminan proyek selesai tepat waktu," ujar Rendi.

Pak Arfan membalik halaman laporan. "Saya pikir ada dua opsi. Pertama, kita lakukan efisiensi operasional dari cabang lain. Kurangi biaya perjalanan, tunda pembelian alat berat untuk proyek yang belum mulai. Itu bisa nutup hampir setengah kekurangannya."

"Dan sisanya?"

"Ajukan revisi anggaran ke investor. Tapi itu butuh data kuat dan pendekatan yang diplomatis."

Rendi terdiam beberapa detik, jari-jarinya mengetuk meja. Matanya menatap lurus ke arah jendela, lalu kembali menoleh ke Pak Arfan.

"Lakukan simulasi anggarannya hari ini. Kirim ke saya sebelum jam empat. Saya akan siapkan pertemuan dengan investor lusa. Jangan sampai proyek ini jadi bumerang buat kita."

"Siap, Pak."

Rendi kemudian menoleh pada Bunga, sekilas tapi cukup untuk membuat napasnya tercekat.

"Bunga, salin semua poin rapat ini. Print dan kirim digitalnya juga ke email saya."

"Baik, Pak," jawabnya cepat, tak berani menatap langsung.

Rapat selesai. Pak Arfan berdiri dan pamit dengan anggukan. Rendi hanya mengangguk kecil, tenggelam kembali dalam pikirannya.

Bunga pun berdiri perlahan, hendak keluar, namun langkahnya tertahan sejenak. Ingin rasanya mengatakan sesuatu… apa pun. Tapi ia tahu, ruang itu bukan miliknya.

Ruang itu milik sang direktur.

Dan ia, hanyalah sekretaris—dan istri yang tak pernah diakui.

...----------------...

Waktu menunjukkan pukul 15.37 , Langit mulai berubah warna di luar jendela, pertanda senja akan tiba sebentar lagi. Rendi masih di ruangannya, menatap laporan simulasi anggaran yang baru saja dikirimkan Pak Arfan. Matanya menelusuri angka demi angka, namun pikirannya terus melayang entah ke mana.

Tiba-tiba, interkom berdering.

"Pak Rendi, ada telepon untuk Bapak. Dari sekretaris Pak Ilyas , Sekertaris Ayah " suara Bunga terdengar dari seberang.

Rendi mengerutkan kening. Ayah Bunga?

Ia meraih gagang telepon di meja.

"Halo, Rendi di sini."

Suara perempuan yang tenang dan formal menjawab.

"Selamat sore, Pak. Saya Ilyas , sekretaris pribadi Bapak Hendra . Beliau menyampaikan pesan khusus untuk Bapak, terkait proyek yang sedang berjalan di Yogyakarta."

Rendi duduk tegak.

"Silakan."

"Beliau menyatakan kesediaannya menjadi investor pendamping di PT Griya Mandiri Konstruksi. Secara pribadi, beliau ingin membantu kelancaran proyek yang sedang terkendala. Semua kebutuhan tambahan anggaran akan ditanggung oleh beliau, tanpa syarat." Jelasnya

Suasana mendadak hening dalam ruang kerja itu.

Lama Rendi tak menjawab. Hanya suara detik jam yang terdengar pelan di atas kepala.

"Jadi, beliau ingin... mendanai langsung?"

"Benar, Pak. Beliau sudah menghubungi konsultan keuangan untuk koordinasi. Bapak tidak perlu repot menggelar pertemuan dengan investor eksternal. Beliau hanya berharap proyek ini berjalan lancar."

Telepon ditutup dengan ucapan terima kasih singkat.

Namun isi kepala Rendi justru penuh—bukan hanya soal proyek, tapi soal keterlibatan ayah Bunga.

Mendadak. Penuh arah. Tanpa diminta.

Ia memutar kursinya pelan, menatap keluar jendela.

Hatinya bergemuruh.

"Sekarang... ayah Bunga yang turun tangan. Seolah semua orang ingin ikut mengatur arah hidupku."

"Tapi paling tidak, aku tak perlu ubah anggaran atau rapat dengan investor lain. Untuk sekarang."

Bunga masuk beberapa menit kemudian, membawa hasil print laporan revisi anggaran.

"Ini, Pak. Sudah saya rangkum sesuai permintaan tadi."

Rendi menatap berkas itu sebentar, lalu meletakkannya di meja tanpa membuka.

"Nggak usah. Batal."

Bunga terkejut, tapi tak berani bertanya.

"Ayahmu baru saja menawarkan diri sebagai investor. Semua anggaran tambahan ditanggung oleh beliau."

Bunga mematung. Matanya menatap Rendi sesaat, lalu menunduk dalam diam.

Rendi menghela napas pelan. Di antara ribuan angka dan perhitungan, hidupnya tiba-tiba dipenuhi begitu banyak keputusan yang datang dari orang lain.

Termasuk dari pria yang kini menjadi mertuanya.

...****************...

1
Yati Syahira
sdh panjang bab tdk terungkap perselingkuhan suaminya aneeh bikin males baca
ARSLAMET: biar makin penasaran kak , hehehe staytune trus ya
total 1 replies
D͜͡ ๓KURNI CACAH
wanita sebaik dan secantik sabar alisha kok bisa si di sakiti Sama laku laku kampret Kya si Rendi
D͜͡ ๓KURNI CACAH
ngk rela bgt alisha di Madu
D͜͡ ๓KURNI CACAH
kampret Rendi sama bunga kok bisa nikah ...dasar laki laki apa pun ala San nya tetap tak di benarkan
Rubyna
kok gak ada kejelasan tiba tiba menikah karna apa, dan bunga seharus nya menolak tau kan kalau Rendi susah beristri
ARSLAMET: dukungan nya kaka , selalu berharap yang terbaik untuk tulisan ku dan semua hal hehe
Rubyna: semangat ya, noveltoon gak kayak dulu, asal kontrak sudah dapat cuan sekarang susah
total 4 replies
❤ Nadia Sari ❤
ketikannya kok center semua?
ARSLAMET: @ terimakasih sebelumnya atas sarannya ..
❤ Nadia Sari ❤: bagus yg awal aku tadi bacanya kayak lagu
total 3 replies
pembaca
lanjut kan tuk menuju sukses
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!