Ini tentang gadis ambigu yang berhasil merayakan kehilangannya dengan sendu. Ditemani pilu yang tak pernah usai menyapanya dalam satu waktu.
Jadi, biarkan ia merayakannya cukup lama dan menikmatinya. Walau kebanyakan yang ia terima adalah duka, bukan bahagia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Raft, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Angkasa - 35
...Berusaha menerima suatu hal yang belum sepenuhnya bisa diterima itu akan menyita banyak rasa. Termasuk duka. ...
***
Suara jangkrik menjadi melodi di malam hari. Meredam sunyi yang tak pernah Rai suka. Juga suara Ibunya di sebrang sana yang membuat malamnya lebih indah dari biasanya.
Ditemani Ananta dan Dikta, Rai melakukan panggilan video dengan orang rumah di Bandung sana. Bahkan Adhisty dan Guntur masih betah tinggal di rumahnya, menemani Sang Ibu juga Tantenya.
Rasanya Rai ingin kembali ke Bandung lagi, dan berkumpul dengan mereka.
"Tadi Rai main ke Ancol sama temen-temen! Seru banget! Nanti kita main kesana juga, ya!" Rai memiliki cerita itu hari ini.
"Kok gak ngajak ngajak?" Tanya Ananta dengan tatapan matanya yang tak biasa. Seperti orang iri saja.
"Perginya dari sekolah, lah!"
"Telpon kek biar kita nyusul." Ucap Dikta tak mau kalah.
Ini kesannya kenapa Rai yang sangat bersalah? Padahal 'kan niatnya hanya ingin bercerita saja.
"Kapan kapan aja kita kesananya." Ucap Rai yang mampu membuat dua orang itu diam seketika.
"Kelulusan tanggal berapa, Rai? Udah dikasih tau belum?"
Matanya refleks melihat kalender yang tergantung di balik pintu kamar Ananta. "Tanggal 30." Katanya sih tanggal segitu.
"Oke, tanggal 30 kita kesana!"
Rai tersenyum mendengarnya. Ia jadi tak sabar untuk menyambut mereka, terlebih lagi Ibunya.
"Dicatat!" Ucapnya dengan semangat.
"Kamu mending di Bandung lagi Rai kalau udah lulus."
Ya, sepertinya. Karena dari awal juga Rai tidak mau pindah. Tapi karena permintaan sang Ibu, ia terpaksa pindah sekolah.
"Iya, gimana nanti."
Tepat ketika kalimat Rai selesai, pintu rumah terketuk dari luar. Sepertinya ada tamu yang berkunjung. Tapi mereka tidak tau siapa. Karena biasanya mereka tak pernah kedatangan tamu ketika malam tiba.
Awalnya Ananta menyuruh untuk mengabaikan, tapi ketika terdengar suara Rey dari luar membuat mereka berubah pikiran. Sepertinya Rey yang berkunjung sekarang.
"Rey ternyata, aku aja yang buka."
Benar saja, Rey berdiri tepat di depan pintu rumahnya sembari membawa paper bag yang entah isinya apa.
"Tumben malem main ke rumah. Ada apa?"
Rey tersenyum sebentar, lalu menyodorkan paper bag ke hadapan Rai. "Biasa, kue buatan Ibu."
Ibu Rey sepertinya memang pandai memasak. Kuenya saja selalu enak. "Makasih banyak, ya!"
"Sama-sa- aduh!" Rey tiba-tiba memegang dada kanannya cukup kuat. Karena penyakitnya sekarang sedang kumat.
"Sial. Kenapa harus di depan Rai." Tentu saja itu hanya Rey katakan dalam hati.
Rai sendiri menatap Rey keheranan. Kenapa tiba-tiba Rey merasa kesakitan? "Kamu kenapa?" Rai semakin khawatir melihat kerutan karena menahan sakit yang sangat kentara di wajah tampan milik Rey.
"Gak papa, gue-balik-dulu." Ucapnya terbata-bata karena menahan sakit di dada.
Rey berjalan cepat ke rumahnya, meninggalkan rasa penasaran yang membuncah dalam diri Rai.
Dan rasa penasaran itu bisa teralihkan karena aroma kue yang menyapa indra penciumannya. Rai mulai masuk ke dalam untuk segera menikmatinya. Tanpa Rai tau jika di dalam rumahnya, Rey sedang bersusah payah menelan obatnya.
***
Berdamai dengan masalah itu seperti apa? Mencoba menerima, begitu? Kalau memang iya, Angkasa akan mencobanya.
Untuk pertama kali, setelah sekian lama. Akhirnya Angkasa mau pulang dan sukarela menginap di rumahnya lagi.
Kamar berwarna kelabu itu terlihat rapi namun berdebu. Mungkin karena sudah ditinggalkan terlalu lama, makanya banyak debu yang singgah di dalamnya.
Dulu, tempat ini adalah tempat paling nyaman yang Angkasa punya. Tapi setelah Ibunya tidak ada, rumahnya saja sudah ia anggap sebagai neraka.
Pelan pelan Angkasa mulai membersihkan debu dengan lap yang ia ambil dari dapur. Gerakannya mencipta bising yang membuat orang rumah membuka pintu kamarnya tiba-tiba. Tepatnya Rindu yang merasa terganggu karena kamarnya tepat di sebelah kamar Angkasa.
"Lho? Kapan lo pulang?"
Rindu kira suara bising yang Angkasa ciptakan itu ulah tikus, atau kucing yang masuk lewat jendela. Tapi ternyata ada Angkasa, sang pemilik ruangan di dalamnya.
"Makanya jangan ngurung diri terus di kamar, ada tamu aja sampe gak tau, 'kan."
Ada perasaan bahagia yang menyapa ketika Angkasa berbicara cukup panjang dengannya.
"Tamu darimana? Lo 'kan tuan rumahnya." Rindu mulai masuk lebih dalam, dan mendudukkan dirinya di sofa panjang yang disimpan di ujung ruangan.
"Kamar gue masih kotor. Lo keluar aja, sana!"
Walau mendapat pengusiran, hati Rindu sudah cukup senang. Angkasa benar-benar pulang.
"Siapa tau lo butuh bantuan gue?"
"Ogah! Udah, sana!"
Dengan senyum tipis yang mengembang di bibirnya, Rindu melangkah keluar dan kembali masuk ke kamarnya.
"Anak haus kuasa kayak dia emang becus bantuin gue? Idih!" Celoteh Angkasa setelah Rindu tidak ada di kamarnya.
Rasanya Angkasa sedang bernostalgia dengan barang-barangnya. Bahkan mainan ketika ia umur lima tahun saja masih tersimpan apik di atas nakas, bersanding dengan foto masa kecilnya yang sedang dipangku sang Ibu. Membuat perasaan rindu bergejolak dalam dada.
Tak ingin terlalu meratapi, Angkasa menyimpan benda bersejarah itu ke dalam laci yang ia pakai untuk menyimpan pakaian yang sudah tidak ia gunakan.
Selain pakaian, ternyata laci ini berisi benda yang tidak tau milik siapa.
Karena penasaran, Angkasa mengeluarkan semuanya.
Ada jam tangan antik yang sudah mati, radio antik yang sepertinya sudah rusak. Juga flashdisk yang dibungkus plastik bening bertuliskan 'For Angkasa.'
Angkasa mengerutkan alisnya ketika membaca itu. Flashdisk ini untuknya?
Karena penasaran, Angkasa memasang flashdisk itu di laptopnya, dan menemukan video Ibu di di dalamnya.
Jantungnya tiba-tiba berdetak kencang ketika mulai memutar videonya.
Ada Ibu yang sedang menatap kamera, menggunakan gaun bunga-bunga, dengan rambut yang tergerai sempurna.
Cantik.
Ibu selalu terlihat cantik dimatanya.
Senyumnya perlahan terbit.
"Hai Angkasa. Umurmu sekarang berapa? Sepertinya sudah besar, ya! Ibu ngerekam ini waktu umurmu tujuh tahun, lho! Tepat ketika Ayah sudah mengucap ijab kabul dengan sahabat Ibu yang ditinggal suaminya. Kamu ingat, 'kan?"
Angkasa menekan pause sebentar. Otaknya sedang mencerna perkataan Ibu barusan.
'Sahabat Ibu yang ditinggal suaminya'? Bukannya saat itu Ibu Rindu masih melajang?
Baiklah, Angkasa bisa tanyakan itu nanti.
"Angkasa jangan benci sama Ibu baru Angkasa, ya? Demi Tuhan, dia baik. Ibu mengenalnya melebihi kamu. Kamu juga jangan membenci Rindu, karena dia adik kamu sekarang."
Lagi, Angkasa berpikir kenapa Ibu mengenal Rindu? Bukannya waktu itu Rindu belum ada?
"Jangan juga membenci Ayah, karena dia gak salah apa-apa. Ayah nikah bukan karena gak cinta lagi sama Ibu, Sayang. Tapi karena Ibu yang menyuruhnya, sebelum akhirnya Ibu pergi meninggalkan."
Ayahnya ternyata memang tidak berbohong perihal itu.
"Angkasa mungkin belum tau, kalau Ibu sakit kanker darah stadium lanjut waktu itu."
Ibu menghentikan kalimatnya dan mengusap matanya sebentar. Angkasa tau jika Ibunya sedang menangis.
"Waktu Ibu gak lama buat hidup di dunia. Terlalu banyak rasa sakit yang Ibu rasain waktu itu, Sa. Hingga akhirnya Dokter bilang kalau kanker yang ada di tubuh Ibu udah menyebar ke seluruh tubuh, dan mustahil untuk bisa sembuh."
Selanjutnya Ibu menghela napas panjang.
"Rambut yang Ibu pakai sekarang ini, cuman rambut palsu, Sa." Tangan Ibu bergerak untuk melepas rambut panjang hitam yang Angkasa kira itu rambut asli Ibunya. Dan sekarang, terlihatlah kepala Ibu tanpa mahkotanya.
"Rambut Ibu udah habis, Sa."
Kenapa Angkasa baru mengetahuinya sekarang? Kenapa Ibunya harus menyembunyikan? Padahal ia ingin menjadi orang pertama yang menghiburnya dari keterpurukan.
"Angkasa, Ibu harap kamu selalu bahagia. Maaf karena Ibu gak pernah ada dikala kamu membutuhkan. Tapi yang pasti, Ibu akan selalu ada di hati kamu selamanya. Tumbuh jadi lelaki baik ya, Sayang? Jangan mengkhawatirkan Ibu, karena disini, Ibu udah bahagia. Angkasa juga harus bahagia, ya?"
Apa Angkasa sudah bahagia sekarang? Rasanya belum, tepatnya ia belum menyadari kebahagiaan itu.
Perlahan, tangan jenjangnya mengusap layar yang menunjukkan sang Ibu di dalamnya. "Angkasa. Bahagia, Bu!"
Mulai sekarang, Angkasa memang harus bahagia. Dengan keluarga barunya, yang pernah ia anggap asing sebelumnya.
***
^^^31-Mei-2025^^^