Aku hanya seorang figuran dalam kisah cintamu. Tapi tidak apa-apa, setidaknya Aku masih bisa melihatmu. Aku masih bisa menyukaimu sebanyak yang Aku mau. Tidak apa-apa Kamu tidak melihatku, tapi tetap ijinkan Aku untuk melihatmu. Karena keberadaanmu bagai oksigen dalam hidupku. (Khansa Aulia)
*Update Senin-Sabtu
*Minggu Libur 😁
^ErKa^
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ErKa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch 2 - Sapaan Pertama
Dia meminjam tipe-X ku. Ingin
rasanya benda itu Ku museumkan. Benda itu sudah tersentuh tangannya. Rasanya
masih tidak bisa di percaya pria itu mau berbicara denganku.
"Kamu dari SMP mana? Kok
Aku gak pernah keliatan Kamu?"
"Eh, em...Eh..." Aku
bingung. Kata-kata yang ingin Ku ucap tak bisa keluar. Padahal pria itu hanya
sedang menanyakan pertanyaan umum, dimana semua orang pasti bisa menjawabnya.
"Kamu bukan dari SMP X?
(Menyebut SMP terkenal di kotaku). Aku menggelengkan kepala. "Oh pantas
saja Aku tidak pernah melihatmu. Kita berasal dari SMP yang berbeda." Aku
mengangguk-anggukan kepala, seperti kerbau yang tengah di cocok hidungnya.
"Kenalin Aku Alex. Siapa
namamu?"
"Eh eum..." Lidahku
masih kelu. Aku ingin mengutuk kebodohanku sendiri.
"Hei, Aku membuatmu tidak
enak ya? Aku tidak akan mengganggumu lagi. Terima kasih tipeX-nya." Pria
itu kembali berbalik ke depan.
Aku ingin menjulurkan tanganku.
Menepuk bahu itu agar kembali menghadapku. Tapi tentu saja itu hanya ada di
angan-anganku saja. Aku terlalu pengecut untuk melakukannya.
Selama beberapa hari berikutnya,
dia benar-benar mengacuhkanku. Sepertinya dia lupa bahwa Aku adalah gadis
penghuni belakang kursinya. Aku pasrah. Lagi-lagi Aku hanya bisa menatap
punggungnya.
Tidak apa-apa dia mengacuhkanku.
Setidaknya Aku masih bisa menatap punggungnya.
Kejadian itu berlangsung selama
beberapa bulan. Akhirnya tibalah saat ujian. FYI (For Your Information),
kelasku terdiri dari 40 orang. Dan pengaturan duduk dalam ujian di sesuikan dengan
nomor urut di absen.
Mungkin nasib mujur sedang
berpihak padaku. Lagi-lagi dia duduk di depan bangkuku. Aneh sekali. Nama dia
berawalan dengan huruf "A", sementara namaku huruf "K",
bagaimana mungkin tempat duduk Kita bisa dekat seperti ini? Ah, lagi-lagi Aku
berpikir Tuhan sangat baik padaku. Tuhan tahu Aku tidak mungkin memilikinya,
jadi Tuhan berusaha untuk membuatku agar lebih mudah menatapnya.
Kembali ke hari ujian. Hari
pertama ujian ada 2 mata pelajaran yaitu matpel biologi dan fisika. Untuk matpel
biologi, Aku bisa mengatasinya karena pada dasarnya Aku menyukai matpel. Untuk
matpel kedua, Aku mati kutu. Aku benci matpel fisika, kimia dan matematika. Aku
sudah belajar mati-matian, namun otakku yang sedikit ini tidak bisa
menyerapnya. Kali ini pun demikian.
Hampir menangis Aku membaca
soal-soal yang tidak Ku ketahui jawabannya. Ingin rasanya Aku menghitung jumlah
kancing di bajuku dan menuliskan jawabannya. Di tengah keputusasaanku, pria 99%
berbalik ke arahku.
"Kamu sudah selesai?"
tanyanya. Aku menggeleng-gelengka kepala dengan mata memelas. Dia tersenyum
kecil melihatku yang begitu menyedihkan. Bukan senyum ejekan, hanya tersenyum
lucu saja. Dia kembali menghadap ke depan. Aku menghela napas berat.
Hah, pasti ujian semester kali
ini Aku akan mendapat nilai paling rendah lagi. Pikirku dengan sedih.
Lima menit berlalu. Tiba-tiba
tanpa berbalik, pria itu menjulurkan tangannya. Memberiku sehelai kertas kecil.
Aku menduga-duga, apa gerangan isi dari kertas itu?
Dengan hati yang berdebar, Aku
membukanya. Mataku langsung terbelalak begitu melihat jawaban di kertas itu.
Pria itu menulis nomor 1-50. Dan hampir semua nomor itu terisi. Mungkin hanya
ada 3-4 nomor yang belum terisi. Di bawahnya ada catatan : yang belum di isi,
aku tidak tahu jawabannya.
Hah? Pria ini serius sedang
memberiku contekan? Apa ini bukan isian jebakan? Sebenarnya apa tujuannya?
Otakku berpikir, namun tidak menemukan jawaban. Akhirnya Aku pasrah. Aku
menulis semua jawaban yang dia berikan. Aku hanya berharap pria itu tidak
sedang menjebakku.
Waktu ujian pun selesai. Semua
lembar jawaban harus di kumpulkan. Ketika sedang melewati pria itu, Aku
menatapnya. Pria itu tersenyum manis. Ingin meleleh rasanya melihatnya
tersenyum seperti itu.
Aku kembali duduk di kursiku.
Aku menulis di secarik kertas kecil. Dengan ragu Aku mencowel-cowel bahunya.
Dia menoleh. Dengan cepat Aku memberikan kertas itu dan kabur keluar dari
ruangan. Aku sangat malu. Isi dari kertas itu sebenarnya sangat simple, hanya
ucapan terima kasih. Tapi Aku tak sanggup melihat dia membacanya.
Hari-hari pun berlanjut. Dia
tetap konsisten membantuku. Terutama di tiga pelajaran yang tidak mampu Ku
kuasai. Lama kelamaan, Aku mulai bisa bercakap-cakap dengannya.
"Namamu siapa?"
tanyanya.
"Ak-aku Khansa..."
"Kamu dari SMP mana?"
"SMP X." (SMP yang
tidak terkenal dan terletak di pinggiran kota)
"Dimana itu?" tanyanya
bingung. Wajar saja dia tidak mengetahui SMP yang kusebut. Memang Aku berasal
dari SMP tidak terkenal kok.
Aku berusaha menjelaskan
sebisaku. Dia mengangguk-angguk, entah mengerti atau tidak.
"Kamu sendirian atau ada
teman yang lain?"
"Ak-aku sendirian..."
"Oh...pantas saja."
"Pan-pantas kenapa?"
"Kamu terlihat selalu
sendiri." katanya bergumam.
"Lex, ayo ke kantin."
Tiba-tiba segerombol teman Alex datang. Memaksa Alex untuk mengikuti mereka.
Alex pergi bersama mereka. Meninggalkanku yang kembali sendiri.
Aku menelungkupkan tanganku di
meja. Menjadikannya sebagai bantalan. Perutku lapar, tapi Aku berusaha untuk
menahannya. Aku berharap dengan tidur di waktu jam istirahat, akan menunda
laparku.
Bila ada yang bertanya-tanya,
mengapa Aku tidak ke kantin saja dan membeli makanan? Jawabannya tentu saja
karena Aku tidak punya uang. Aku ke sekolah terkadang mengayuh sepeda, namun
lebih banyak di antar ayahku yang profesinya sebagai sopir angkot.
Sebenarnya, sepeninggalnya
Ibuku, Aku menggantikan posisi beliau dalam urusan rumah tangga. Aku bangun
subuh untuk masak, nyuci baju, cuci piring, setrika seragam dan memandikan
adikku yang masih SD kelas 2. Karena padatnya rutinitasku di pagi hari, tak
ayal Aku jarang berkesempatan untuk sarapan. Menjelang siang perutku akan
terasa lapar, sama seperti yang Ku alami siang ini.
Aku hanya berharap agar bisa
segera pulang. Aku ingin makan yang banyak. Tiba-tiba bau makanan menusuk
hidungku. Aku menoleh mencari sumber bau itu.
Ternyata ada yang membawa
makanannya ke dalam kelas. Aku menghirup baunya dengan lama. Berharap dengan
melakukan hal seperti itu akan mengusir rasa laparku.
Perutku semakin berbunyi keras.
Pertanda semakin meronta untuk di isi makanan. Aku memalingkan wajahku. Kembali
menelungkupkan wajahku di atas meja. Air mataku tiba-tiba mengalir.
"Andaikan Ibu tidak
meninggal, Aku pasti tidak akan kelaparan seperti ini. Ibu pasti akan
membawakanku bekal. Memasak, mencuci dan mengurus adik untukku.
Andaikan..." Hah, terlalu banyak perandaian dalam hidupku. Aku merindukan
ibuku. Aku benar-benar merindukan beliau. Dan Aku menangis.
Kisah yang tidak keren. Dari
seorang anak berumur 15 tahun. Terkadang Aku berpikir, apakah hidupku akan
menjadi berbeda bila Aku terlahir menjadi anak orang kaya?
Tapi pikiran-pikiran seperti itu
kutepis. Aku seharusnya bersyukur. Masih di berikan seorang ayah yang
bertanggung jawab dan adik kecil yang lucu.
Terkadang Aku merasa lucu dengan
diriku sendiri. Bagaimana mungkin Aku memikirkan masalah cinta ketika dalam urusan perut pun Aku masih
belum kenyang?
Cinta memang sangat jauh dari
genggamanku. Tapi dalam hati kecilku, Aku sangat berharap cinta itu datang
kepadaku.
***
Happy Reading ^^
akunya
Emg keren lu Thor/Ok/