"mas belikan hp buat amira mas dia butuh mas buat belajar" pinta Anita yang ntah sudah berapa kali dia meminta
"tidak ada Nita, udah pake hp kamu aja sih" jawab Arman sambil membuka sepatunya
"hp ku kamarenya rusak, jadi dia ga bisa ikut zoom meating mas" sanggah Nita kesal sekali dia
"udah ah mas capek, baru pulang kerja udah di sodorin banyak permintaan" jawab Arman sambil melangkahkan kaki ke dalam rumah
"om Arman makasih ya hp nya bagus" ucap Salma keponakan Arman
hati Anita tersa tersayat sayat sembilu bagaimana mungkin Arman bisa membelikan Salma hp anak yang usia baru 10 tahun dan kedudukannya adalah keponakan dia, sedangkan Amira anaknya sendiri tidak ia belikan
"mas!!!" pekik Anita meminta penjelasan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
hari pertama tanpa anita
Hari ini seharusnya menjadi hari yang membahagiakan bagi Arman. Hari gajian, dan bukan hanya itu—gajinya naik karena prestasi kerjanya. Tapi pagi ini terasa hampa.
Saat membuka mata, dia tidak menemukan sandal, handuk, atau baju kerja yang biasanya sudah disiapkan. Tidak ada jejak tangan Anita di setiap sudut rumah. Dia menghela napas, duduk di tepi ranjang, lalu mengusap wajahnya yang terasa lebih berat dari biasanya.
Dengan langkah malas, ia berjalan mencari handuk. Hampir dua menit ia mondar-mandir sebelum menyadari bahwa handuk itu, seperti biasa, tergantung di dekat kamar mandi. Dia mendengus kesal. Biasanya, ia tidak perlu memikirkan hal-hal seperti ini.
Saat masuk ke kamar mandi, rasa kesalnya bertambah. Air hangat tidak tersedia, sabun dan sampo tidak di tempatnya. Hal sepele seperti ini, yang dulu tidak pernah menjadi masalah, kini membuatnya frustrasi. Ia terbiasa segalanya sudah siap. Tinggal pakai. Tapi hari ini, semuanya terasa asing.
Keluar dari kamar mandi, ia langsung berteriak, "Anita... bajunya mana?"
Namun, begitu kata-kata itu meluncur dari mulutnya, dadanya berdegup kencang. Ada jeda. Ada hening yang menyakitkan.
"Anita sudah tidak ada," bisiknya pelan.
Dengan panik, ia membuka lemari pakaian. Tangannya gemetar saat mengacak-acak tumpukan baju. Semakin lama mencari, semakin kalut pikirannya. Semua baju yang tadinya rapi kini berantakan, hanya karena ia mencari satu helai baju kerja. Dan, ternyata, baju itu ada di depan matanya. Ia menghela napas panjang, lalu menoleh ke kasur. Baju-baju yang tadi dilemparnya teronggok di sana.
Tapi ia tidak punya waktu untuk merapikan. Dengan asal, ia menyambar kemeja yang sedikit kusut dan mengenakannya. Celana kerja yang ia pakai juga tidak tampak rapi. Biasanya, sebelum berangkat, ia akan bercermin, memastikan penampilannya sempurna. Tapi pagi ini, untuk sekadar mengecek kesiapan diri pun ia tidak sempat.
Saat keluar dari kamar, ia mendapati ibunya di meja makan.
"Arman, gimana sih Anita? Kok dia nggak bikin sarapan?" suara ibunya, Laksmi, terdengar kesal.
Arman menatap ibunya dengan ekspresi lelah. Ia menghembuskan napas pelan.
"Ibu lupa, ya?" katanya, lirih. "Semalam ibu sendiri yang mengusirnya. Aku juga sudah menceraikannya, demi ibu."
Keheningan menggantung di antara mereka. Laksmi terlihat terkejut, seolah baru menyadari apa yang telah terjadi.
Arman menelan ludah, menatap meja makan yang kosong. Tidak ada sarapan. Tidak ada teh hangat. Tidak ada Anita.
"Bu, aku berangkat kerja," ucapnya, lalu beranjak.
"Ibu minta uang," kata Laksmi, membuat langkah Arman terhenti.
Arman menoleh, matanya menyipit. "Buat apa?"
"Kamu tega membiarkan ibumu kelaparan?"
Arman tidak ingin berdebat. Dengan enggan, ia mengeluarkan uang lima puluh ribu—uang terakhirnya pagi ini. Tapi tidak apa-apa, pikirnya. Hari ini gajiannya. Pulang nanti, uangnya sudah masuk ke rekening.
Namun, saat ia berjalan ke garasi, sesuatu yang lain membuatnya terkejut. Motornya tidak ada.
"Ibuuu...!" teriaknya panik.
Laksmi bergegas datang. "Ada apa sih, Man?"
"Motorku hilang, Bu!"
"Loh, kok bisa? Jangan-jangan Anita yang bawa?"
"Tidak, Bu. Kita lihat sendiri semalam, Anita pergi jalan kaki."
Mereka terdiam. Pikirannya berputar-putar. Kemana motornya?
"Dewi...!" teriak Laksmi.
Dari dalam kamar, Dewi terperanjat. Dengan baju tidur, ia keluar sambil mengucek matanya. "Ada apa sih, Bu, ribut-ribut?"
"Motor Arman hilang. Kamu lihat nggak?"
Dewi mengerutkan kening, berpikir sejenak. "Bukannya Mas Arman kemarin pulang sama Bianka? Pakai mobil Bianka, kan?"
Arman menepuk jidatnya. "Astaga, Bu! Motorku masih di kantor!"
Laksmi mendecak kesal. "Huh, kamu itu masih muda sudah pikun!"
Arman menghela napas panjang. "Bu, aku minta uang tadi lagi, buat pesan ojek."
"Enggak bisa. Ini buat makan ibu," jawab Laksmi tegas.
"Terus aku bayar pakai apa, Bu? Uangku tinggal itu tadi."
"Kamu naik saja dulu. Nanti Bianka yang bayar."
"Itu merepotkan orang, Bu. Aku nggak biasa begitu."
"Terus kamu tega membiarkan ibumu kelaparan?"
Hening.
Arman tahu, perdebatan ini tidak akan ada habisnya. Dengan pasrah, ia meraih ponselnya dan memesan ojek online. Saat melihat layarnya, ia semakin kesal—baterainya tinggal sepuluh persen. Biasanya, Anita yang memastikan ponselnya terisi penuh sebelum ia berangkat kerja.
Tak lama kemudian, ojek online datang. Arman naik, dan sepanjang perjalanan ia tidak bisa berhenti berpikir. Gajinya lebih dari cukup untuk beli bensin sebulan penuh, tapi pagi ini ia bahkan tidak punya uang untuk mengisi tangki motornya.
Sesampainya di kantor, masalah baru muncul.
"Mas, ongkosnya," kata si abang ojol.
"Tunggu sebentar, Pak. Saya cari teman saya dulu," jawab Arman, celingukan.
"Loh, kok cari teman? Mas nggak punya uang?"
Arman menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Uang saya jatuh tadi, Pak."
Si abang ojol mendengus. "Tau uang jatuh kenapa masih pesan ojol? Ini jam sibuk, Mas. Saya bisa kehilangan banyak order!"
"Sebentar saja, Pak," ucap Arman penuh harap.
Lima menit. Sepuluh menit. Arman masih mencari-cari Bianka. Wajah abang ojol semakin kesal.
"Boby...!" teriak Arman saat melihat temannya melintas.
Boby menoleh. "Ya, Man, ada apa?"
"Aku pinjam uang buat bayar ojol."
Boby terdiam, menatap Arman dari atas ke bawah. Biasanya, Arman selalu tampil rapi. Tapi pagi ini, kemejanya kusut, rambutnya berantakan, wajahnya kusam.
Tanpa banyak tanya, Boby mengeluarkan uang dan menyerahkannya pada abang ojol. "Nih, Bang."
"Kebanyakan, Pak."
"Ambil saja. Doakan anak-istriku selalu sehat," ucap Boby.
Si abang ojol tersenyum. "Tentu saja, Pak. Bapak pasti orang baik. Rezekinya lancar."
Setelah itu, ia pergi.
Arman menatap uang di tangannya. Selembar kertas yang biasanya tak berarti apa-apa kini terasa begitu berat. Matanya lalu beralih pada Boby, teman kerjanya yang masih berdiri di sana, memandangnya dengan tatapan prihatin.
"Kenapa lu kusut banget, Man?" tanya Boby.
Arman terdiam. Ia ingin menjawab, tetapi lidahnya kelu.
"Anita nggak ada," akhirnya ia berkata, suaranya nyaris seperti bisikan.
Boby mengernyit. "Loh? Emang ke mana istri lu?"
Hening. Arman menunduk, wajahnya tampak semakin lelah.
Boby menarik napas, menepuk bahu Arman dengan lembut. "Man, jangan gampang menceraikan istri. Kesuksesan hasil kerja lu hari ini, itu ada doa dan usaha istri lu juga. Dia yang selama ini nyiapin segalanya, supaya hari-hari lu berjalan lancar."
Arman menegang. Kata-kata Boby bagai hantaman telak di kepalanya. Sejak pagi tadi, hidupnya kacau hanya karena hal-hal yang selama ini tidak pernah ia pikirkan: sandal yang tidak ada di tempatnya, handuk yang harus ia cari sendiri, baju yang tidak tersusun rapi, sarapan yang tidak tersedia di meja makan.
Ia bahkan harus naik ojek ke kantor, sesuatu yang tidak pernah terjadi selama ini.
"Ayo masuk. Jam kerja sebentar lagi mulai," ujar Boby, memecah lamunan Arman.
Arman mengangguk pelan, lalu mengikuti Boby masuk ke dalam kantor. Langkahnya berat, tidak seperti biasanya. Biasanya, setiap pagi, ia datang dengan penuh semangat, pakaian rapi, wajah segar setelah mandi air hangat, perut kenyang setelah sarapan buatan Anita. Tapi hari ini, ia seperti orang yang baru saja kehilangan arah.
Dan memang benar, ia kehilangan arah.
Beberapa rekan kerja menoleh ke arahnya. Ia bisa merasakan tatapan mereka—kaget, penasaran, dan beberapa bahkan tampak prihatin. Arman yang biasanya begitu rapi, kini tampak berantakan. Kemejanya kusut, rambutnya tidak tertata, wajahnya pun terlihat lebih kusam dari biasanya.
Tapi Arman tak peduli. Yang ada di kepalanya saat ini hanya satu hal: kata-kata Boby tadi.
"Jangan gampang menceraikan istri."
Tapi semuanya sudah terlambat. Ia sudah menceraikan Anita. Sudah menuruti keinginan ibunya, mengusir perempuan yang selama ini mengurusnya tanpa keluhan.
Hari ini adalah hari pertama tanpa Anita.