NovelToon NovelToon
Saat Aku Berhenti Berharap

Saat Aku Berhenti Berharap

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Dijodohkan Orang Tua / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:9.2k
Nilai: 5
Nama Author: Lisdaa Rustandy

Dua tahun menjadi istri dari pria cuek nan dingin yang tak pernah mencintaiku, aku masih bersabar dalam pernikahan ini dan berharap suatu hari nanti akan ada keajaiban untuk hubungan kami.
Tetapi, batas kesabaranku akhirnya habis, saat dia kembali dari luar kota dengan membawa seorang wanita yang ia kenalkan padaku sebagai istri barunya.
Hatiku sakit saat tahu dia menikah lagi tanpa izin dariku, haruskah dia melakukan hal seperti ini untuk menyakiti aku?
Jujur, aku tak mau di madu, meskipun awalnya aku meyakinkan diriku untuk menerima wanita itu di rumah kami. Aku memilih pergi, meminta perpisahan darinya karena itulah yang ia harapkan dariku selama ini.
Aku melangkah pergi meninggalkan rumah itu dengan hati yang hancur berkeping-keping. Kupikir semua sudah berakhir begitu aku pergi darinya, namun sesuatu yang tak terduga justru terjadi. Ia tak mau bercerai, dan memintaku untuk kembali padanya.
Ada apa dengannya?
Mengapa ia tiba-tiba memintaku mempertahankan rumah tangga kami?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lisdaa Rustandy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

#16

[Rumah Alden]

Keesokan harinya...

Alden duduk di balkon kamarnya dengan secangkir teh yang hampir dingin. Sejak tadi ia hanya diam, matanya memperhatikan burung-burung yang hinggap di atas pohon dan berkicau lembut. Seperti nada-nada yang mendukung kehampaannya setiap pagi.

Alden mengerjap. Ia menghirup udara dalam-dalam dan menghembuskannya dari hidung. Sedikit banyak, udara pagi dapat membuat perasaannya tenang.

Tak lama, ia bangkit dari duduknya, membawa cangkir teh ke dalam kamar. Alden melangkah keluar kamar berniat pergi ke dapur, tapi langkahnya terhenti ketika ia tiba di depan pintu kamar yang dulu Naysila tempati.

Hal itu membuatnya memutuskan untuk masuk. Setidaknya dengan masuk ke kamar itu, ia bisa sedikit menghilangkan rasa rindu pada sosok wanita berhijab itu.

Ketika Alden masuk, hawa dingin langsung menyergap. Kamar itu sepi, tak ada siapapun di dalamnya sejak beberapa Minggu yang lalu. Sosok Naysila yang biasa berada di sana, kini tak terlihat lagi.

Alden berjalan pelan mendekati jendela kamar. Ia lalu membuka tirai dan jendelanya, duduk di sebuah sofa kecil sambil menikmati suasana pagi dari kamar yang hampa.

"Nay... aku rindu," ucapnya.

"Kepergianmu membuatku hampa, Nay... Apakah kamu tahu itu?"

"Aku ingin bertemu."

Alden duduk melamun, membiarkan sinar mentari menyinari wajahnya. Matanya terasa panas, hingga tak terasa setetes air mata jatuh membasahi pipinya.

Alden sangat merindukan Naysila. Wanita yang ia abaikan selama dua tahun menjadi istrinya. Wanita yang tak pernah ia anggap ada, bahkan meskipun ia ada di depan mata.

Semua berlalu begitu cepat. Kini, ia hanya bisa menyesalinya. Menyesali kebodohan yang menyebabkan semua berakhir buruk.

"Nay... bagaimana caranya agar aku bisa bertemu kamu?" tanyanya, lebih kepada diri sendiri.

Alden tak bisa menahan rasa rindu. Ia pun mulai memikirkan cara agar bisa bertemu dengan Naysila. Setidaknya, ia bisa melihat wajahnya. Itu saja sudah cukup.

Alden mengusap air matanya dan menarik napas panjang. Dalam benaknya, satu ide mulai terbentuk, bukan ide yang rumit, tapi cukup untuk membuatnya bersemangat kembali setelah berminggu-minggu terpuruk.

Ia sudah bertekad. Harus bertemu dengan Naysila, bagaimana pun caranya.

Tanpa berpikir panjang, Alden bangkit dari sofa, menutup jendela kamar, lalu melangkah cepat menuju kamarnya sendiri. Ia menukar pakaiannya dengan kemeja putih dan celana bahan rapi, lalu mengambil dompet dan kunci mobil.

Segera saja Alden keluar dari rumahnya dengan perasaan yang bersemangat. Ia yakin, rencananya akan berhasil.

Ia pasti bisa melihatnya langsung.

"Semoga saja, rencana ini berhasil," gumamnya penuh harap.

*****

[Rumah Naysila]

Beberapa jam kemudian, mobil hitam Alden berhenti di depan rumah bercat krem yang terasa begitu familiar. Rumah sederhana yang menjadi naungan wanita yang ia nikahi tanpa cinta, namun kini justru sangat ia rindukan kehadirannya.

Alden keluar dari mobil, merapikan pakaiannya, lalu berjalan pelan menuju pagar. Hatinya berdegup cepat, seperti seseorang yang hendak mengakui kesalahan besar di hadapan orang yang paling ia rindukan.

Ada rasa gugup menyergap, dan rasa ragu yang tak bisa terbantahkan. Alden merasa ragu untuk bertamu, takut orang tua Naysila mengusirnya.

Namun, Alden dengan segenap hati meyakinkan diri bahwa semua akan baik-baik saja seperti yang ia harapan. Ia pun mengetuk pagar perlahan dan mengucapkan salam.

"Assalamu'alaikum!"

Hening.

Tak ada sahutan dari dalam.

"Assalamu'alaikum!"

Sekali lagi, Alden mengucapkan salam dengan suara yang sedikit lebih keras dari sebelumnya.

"Wa'alaikumussalam!"

Suara jawaban terdengar dari dalam. Membuat Alden tersenyum lega, karena tahu rumah itu tidaklah sepi.

Tak lama kemudian, seorang wanita setengah baya memakai jilbab menutup perut keluar. Ia tampak tergesa-gesa memakai sandalnya dan berjalan cepat ke arah pagar rumah. Tatapannya langsung berubah kaku saat melihat siapa yang berdiri di depannya.

"Alden…" suaranya datar, tanpa senyum.

"Ibu..." ucap Alden, berusaha tersenyum.

"Ada perlu apa kamu ke sini?"

Alden menunduk sedikit, mencoba menahan gugup. "Saya… ingin bertemu Naysila, Bu."

Wanita itu, yang tak lain adalah ibunda Naysila, terdiam sejenak. Pandangannya tajam, namun dalam sorot matanya terselip keraguan. "Dia tidak mau bertemu denganmu. Kamu sudah tahu itu, kan?"

"Saya tahu, Bu... Tapi tolong, saya ingin bertemu… hanya sebentar saja. Saya… saya perlu bicara." Suara Alden nyaris bergetar.

Ibu Naysila menatapnya lama, lalu menghela napas panjang. "Kalau dia tidak mau menemui kamu, tolong jangan memaksa ya?"

Alden mengangguk. "Saya janji."

Bu Diah, akhirnya membukakan pagar dan mempersilahkan Alden untuk ikut masuk bersamanya. Alden menurut, mengekor dari belakang sang ibu mertua.

Ketika mereka sudah masuk, Bu Diah mempersilahkan Alden duduk. "Ibu panggilkan Nay dulu. Kamu mau minum apa, Nak?"

"Gak perlu repot-repot, Bu. Saya hanya ingin bertemu Naysila, sebentar," jawab Alden sopan.

"Ya sudah. Tunggu sebentar."

Bu Diah berlalu dari hadapan Alden, pergi ke kamar putrinya. Sementara Alden, duduk dengan jantung berdebar-debar tak karuan. Jika ia benar-benar bertemu dengan Naysila, pasti akan sangat memalukan karena Alden yang mengabaikan istrinya selama ini tiba-tiba saja datang hanya untuk bisa bertemu.

Tak berselang lama, Bu Diah kembali namun masih sendiri, seperti sebelumnya. Tak ada Naysila di belakangnya.

Dengan raut wajah tak nyaman, Bu Diah berkata, "Maaf, Nak. Tapi Nay tidak mau bertemu kamu katanya."

Alden tertegun. Ia berdiri dan menatap ibu mertuanya dengan tatapan penuh pertanyaan. Namun, tanpa perlu ia bertanya pun, ia sudah tahu alasannya.

"Saya gak akan macam-macam, Bu. Tolong katakan padanya. Saya hanya ingin bicara."

Bu Diah berusaha tersenyum. "Sudah Ibu katakan begitu, tapi Nay memang tidak mau. Ibu sudah bilang, kalau dia tidak mau kamu tidak boleh memaksa."

Alden membuang napas pelan, terduduk kembali dan menunduk. Ia merasa sedih, Naysila bahkan sudah tak mau bertemu dengannya walau hanya beberapa detik saja.

Bu Diah duduk di seberang Alden, menatap menantunya dengan rasa iba. Walaupun Alden pernah menyakiti putrinya dalam pernikahan, tapi ia tahu Alden sebenarnya pria yang baik. Ia juga sadar, pernikahan keduanya terlalu dipaksakan hingga membuat Alden sulit menerima Naysila.

"Al..." ucap Bu Diah pelan.

Alden memberanikan diri menatap wajah sang mertua. "Ya, Bu?"

"Maafkan anak Ibu... Dia seperti ini bukan tanpa sebab dan alasan, kamu tahu itu. Tolong... berikan dia waktu yang lebih banyak lagi, supaya dia bisa menyembuhkan luka di hatinya."

"Saya mengerti, Bu," jawab Alden. "ini kesalahan saya. Saya pantas mendapatkan kebencian dari dia. Tapi saya terus berusaha untuk menjadi lebih baik, maka dari itu saya kemari. Jika saya bisa bertemu dengannya, mungkin kami bisa berinteraksi langsung dan membicarakan hal-hal yang tak sempat kami bahas sebelumnya."

"Ya... tapi sayang, hingga detik ini Nay bahkan tidak pernah mau membahas tentang kamu pada kami. Artinya, dia memang tidak mau lagi membicarakan apapun yang berkaitan dengan kamu."

Alden terkejut. Apakah artinya, Naysila sudah benar-benar melupakan dirinya?

Bu Diah menatap Alden. "Al... jujur saja, Ibu sangat ingin kamu dan dia bersatu lagi. Mungkin hubungan kalian bisa diperbaiki dan memulai segalanya dari awal, tapi kami sebagai orang tuanya tidak bisa memaksakan kehendak lagi, seperti saat kami menjodohkan dia dengan kamu."

"Sekarang, Ibu dan Bapak akan menyerahkan sepenuhnya soal masa depannya pada anak kami. Entah dia mau kembali pada kamu atau tidak, kami tidak akan ikut campur lagi. Naysila sudah terlalu banyak terluka oleh keputusan kami. Sekarang, kami akan membiarkan dirinya bebas memilih, jika itu bisa membuatnya bahagia." Bu Diah menambahkan.

Alden terdiam, mencoba mencerna setiap kata yang diucapkan Bu Diah. Dadanya terasa sesak, seolah-olah udara yang ia hirup tak lagi cukup memenuhi paru-parunya. Ia menatap lantai, lalu kembali mengangkat pandangannya, suaranya terdengar berat.

"Bu..." ia menarik napas, lalu memberanikan diri bertanya, "Apakah... Naysila kemungkinan mencintai orang lain sekarang?"

Pertanyaan itu membuat Bu Diah mematung sejenak. Ada keraguan di sorot matanya, seolah mempertimbangkan apakah ia harus menjawab dengan jujur atau tidak. Namun akhirnya ia memilih untuk bicara apa adanya.

"Ibu tidak tahu, Al." Suaranya tenang, tapi mengandung makna yang dalam. "Naysila adalah gadis yang baik, dia tidak akan mencintai orang lain jika bukan haknya... maksudnya... suaminya."

Alden merasakan sedikit kelegaan mendengar bagian awal kalimat itu, tapi hatinya kembali mencelos ketika Bu Diah melanjutkan.

"Tapi..." Bu Diah menatapnya lekat, "karena kamu pernah menyakitinya dengan sangat dalam, bukan tak mungkin hal itu akan terjadi. Hati perempuan itu lembut, tapi juga rapuh. Saat luka itu terlalu dalam, mereka bisa saja membuka pintu untuk orang lain yang memberinya rasa aman dan dihargai."

Alden terdiam. Kata-kata itu menghantamnya seperti gelombang yang tiba-tiba datang tanpa peringatan. Tangannya mengepal di atas lutut, sementara pikirannya dipenuhi bayangan kemungkinan yang tak pernah ingin ia bayangkan.

"Kalau itu benar terjadi..." gumamnya pelan, nyaris tak terdengar, "berarti aku sudah benar-benar kehilangan dia."

Bu Diah tidak langsung menjawab. Hanya menarik napas panjang dan berkata dengan lembut, "Al... kalau kamu memang mencintainya sekarang, buktikan. Tapi ingat, membuktikan cinta tidak selalu berarti memaksa dia kembali. Kadang... justru dengan membiarkan dia memilih, itu bentuk cinta yang paling tulus."

Alden menunduk, hatinya berperang antara ingin memperjuangkan dan takut mendengar kenyataan yang lebih menyakitkan dari ini.

Beberapa saat, suasana di ruang tamu itu hening. Baik Alden maupun Bu Diah tak berkata-kata lagi, mereka sibuk dengan isi pikiran masing-masing.

Hingga akhirnya Alden bangkit dari duduknya dan mengeluarkan sesuatu dari balik saku celananya. Sebuah amplop warna cokelat yang masih baru, dengan logo bank.

Ia meletakkan amplop itu di atas meja dan berkata, "Ini untuk Naysila, Bu."

"Maksudnya?" tanya Bu Diah tak mengerti.

"Naysila masih istri sah saya. Walaupun kami tidak tinggal satu rumah, tapi saya masih berkewajiban memberikan nafkah padanya," jawab Alden.

"Tolong berikan padanya, Bu. Saya harap, dia bersedia menerima nafkah dari saya, supaya saya tidak harus menanggung dosa karena tidak menafkahi dirinya," tambahnya.

Bu Diah terdiam sejenak. Tapi kemudian tersenyum lembut. "Terima kasih masih berusaha menjalankan kewajiban kamu sebagai suami, Al. Ibu akan berikan uangnya pada Nay nanti."

Alden mengangguk lemah. "Terima kasih, Bu. Saya pamit."

Alden menghampiri ibu mertuanya dan meraih tangannya hingga mencium punggung tangan itu takzim. Setelah itu, ia pamit dan pergi dari hadapan Bu Diah.

Langkahnya gontai, seakan-akan energinya benar-benar habis di rumah itu setelah tahu Naysila enggan bertemu dengannya.

Bu Diah berdiri di depan pintu, menatap punggung Alden yang menjauh menuju mobilnya. Ada rasa iba yang sulit ia sembunyikan. Lelaki itu tampak membawa beban berat di pundaknya, beban yang sebagian besar adalah akibat dari kesalahannya sendiri.

Sesaat sebelum masuk ke mobil, Alden berhenti. Pandangannya terarah pada jendela kamar Naysila. Ia berharap bisa melihat Naysila mengintip atau semacamnya. Bibirnya bergerak seakan ingin menyapa, tapi tak ada suara yang keluar. Hanya tatapan panjang, penuh rindu dan penyesalan, yang ia tujukan ke sana.

Alden kemudian menarik napas dalam, menunduk, dan masuk ke mobil. Mesin menyala, lalu perlahan mobil itu melaju meninggalkan rumah bercat krem tersebut.

Bu Diah masih berdiri di sana, menatap kepergian menantunya sampai suara mesin mobil lenyap di kejauhan. Ia menghela napas berat, lalu menutup pagar.

_

Di kamar Naysila, di balik tirai tipis, wanita muda itu duduk diam di tepi ranjangnya. Ia tidak pernah mengintip, tapi ia tahu, hanya dari suara salam, langkah kaki, dan suara mobil, bahwa Alden datang. Ia mendengar semuanya, bahkan detik ketika mobil itu menjauh.

Begitu suara itu hilang, dadanya terasa sesak. Air mata menggenang di pelupuk mata, tapi ia cepat-cepat mengusapnya.

Bukan karena ia membenci Alden. Justru sebaliknya.

Ia menolak bertemu bukan karena ingin melupakan, tapi karena takut… takut hatinya kembali goyah. Cinta pada lelaki itu, yang berusaha ia kubur selama ini, ternyata tak pernah benar-benar mati.

Ia menunduk, menatap jemari yang saling menggenggam di pangkuannya. "Kenapa kamu datang sekarang, Mas… saat aku sudah berusaha keras menjauh?" bisiknya lirih.

"Kenapa kamu harus berusaha bertemu denganku, sementara selama ini kamu selalu ingin menyingkirkan aku?"

*****

1
Tutuk Isnawati
😍 bu tamara getol bener pgn mntunya bertahan
Tutuk Isnawati
semangat thor😍
Lestari Ari Astuti
ditunggu kelanjutannya,setelah minum jus dari ibunya adel🤭
Tutuk Isnawati
kyanya ini ulah bu tamara biar kluarga adiknya nginep 🤣
Lisdaa Rustandy: sengaja dia mah biar anak mantu satu kamar🤣
total 1 replies
Sunaryati
Karena sejak awal pernikahan kamu langsung menutup hati, dan menyakiti hati dan sekarang malu akan berjuang, setelah merasakan kehilangan saat ditinggalkan
Sunaryati
Jika ragu akan disakiti lagi namun kamu akan beri kesempatan, buat perjanjian Nay
Aretha Shanum
ahh bosen alurnya , menye2 kaya bumi sempit ga ada lski2
Lisdaa Rustandy: iya, emang sempit kok. kalo mau yg luas keluar dari novel aja🤣🤣
total 1 replies
lovina
ketawa sj kalau baca novel modelan gini, wnaitanya selalu naif dan bodoh sdngkan laki2nya selalu di buat semaunya dan ujungnya balikan dgn ending sm semua novel, baca buku berkali2 dgn alur yg sama... niat amat author2 dadakan kek gini g bisa yah buat yg beda, g mungkinkan oyak nya cmn satu tuk semua author...kalau di kritik biasnaya tantrum
Lisdaa Rustandy: maaf, saya sudah berkarya hampir 4thn, jadi bukan dadakan lagi. Setidaknya buatlah versi anda sendiri sebelum menertawakan karya orang lain🤣🤣🤣
total 2 replies
Sunaryati
Kamu renungkan semua kesalahan kamu Alden, dan berpikir cara memperbaikinya. Nayla jika kamu masih ada cinta untuk Alden berpikir jernih baru ambil keputusan.
Lestari Ari Astuti
semoga bersatu kembali
partini
hemmm enak bener jadi laki udah cup sana cup nyesel minta maaf balikan ga jadi baca Thor
Lisdaa Rustandy: tapi Alden gak pernah ngapa2in sama Serena, kan dari awal cuma boongan. Cup sana cup sininya darimana, kak? 😄 Alden masih ORI itu
total 1 replies
Lestari Ari Astuti
di tunggu kelanjutannya
Tutuk Isnawati
nyesel deh sekarang gliran orgny dah. prgi
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!