Perjalanan NusaNTara dan keluarga didunia spiritual. Dunia yang dipenuhi Wayang Kulit dan Hewan Buas yang menemani perjalanan. Mencari tempat-tempat yang indah dan menarik, demi mewujudkan impian masa kecil. Tapi, sebuah tali yang bernama takdir, menarik mereka untuk ikut dalam rangkaian peristiwa besar. Melewati perselisihan, kerusuhan, kelahiran, kehancuran dan pemusnahan. Sampai segolongan menjadi pemilik hak yang menulis sejarah. Apapun itu, pendahulu belum tentu pemilik.
"Yoo Wan, selamat membaca. Walau akan sedikit aneh."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jonda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rumah Petunjuk. Nyawa Barni Di Ujung Tanduk.
# Cover Story: Perjalanan Tuan Dodi
Para tukang bangunan bekerja membangun ulang rumah yang sudah terbakar.
Seorang teknik sipil membentangkan cetak biru di meja dan memberikan instruksi ke tukang senior.
Tukang panggul menurunkan kayu dari gerobak.
##
......................
#*# Info
Ada dua jenis cara bertarung yang umum di gunakan, jauh dan dekat. Ada dua tipe serangan, fisik dan mental.
Petarung fisik jarak dekat ada empat sebutan:
- Pendekar; petarung yang menggunakan senjata, baik tajam atau tumpul.
- Pesilat; petarung tangan kosong yang menggunakan seluruh tubuhnya.
- Petinju; petarung yang hanya menggunakan tangan.
- Penendang; petarung yang hanya menggunakan kaki.
#*# Info Bersambung.
......................
** Di bawah jemuran
"Haha, dia lahap sekali makannya. Sampai belepotan," ucap Bu Windi gemas melihat tingkah anak Mbak Tari.
"Pantasan pipimu tembem. Makanmu banyak," ucap Bu sambil mengusap mulut anak Mbak Tari.
Mbak Tari mengambil kutang miliknya yang terjatuh di kepala Rinson dengan wajah sedikit malu.
Bu Winda menarik kedua kuping Rinson dan membuat Rinson kesakitan.
"Kenapa kamu malah nyantai dengan kutang di kepalamu!" ucap Bu Winda geram.
"Aduh! Aduh! Itu bukan salahku! Salahkan anginnya! Lagian, kenapa kita makan di bawah jemuran? Tidak ada tempat lain, apa?" ucap Rinson merasa di hakimi sepihak. {Rinson berbicara memakai bahasa keluarga kalau dialog bercetak tebal.}
"Maaf, ya. Hanya ini tempat yang longgar untuk kita," ucap Mbak Tari sungkan karena memberi tempat yang tidak semestinya.
"Tidak apa-apa. Tempat ini juga nyaman. Udaranya sejuk. Ayo Rini, buka mulut, aaaaaa," ucap Bu Sari tidak mempermasalahkannya.
"Oh, iya. Bu Winda, aku ingin bertanya suatu hal," ucap Mbak Tari mengingat ada yang membuatnya penasaran.
"Apa?" Bu Winda masih menarik telinga Rinson dengan geram.
"Apa garis hitam di punggung Nusa itu?" tanya Mbak Tari.
"Aku juga tidak tau. Tapi karena dia merasa itu tidak mengganggunya, aku juga tidak terlalu perduli." Bu Winda memasukkan paksa ubi jalar ke mulut Rinson. Mulut Rinson penuh dengan ubi dan dia terlihat kewalahan.
"Apa dia sendiri yang melukisnya?" tanya Mbak Tari.
"Bukan. Katanya saat dia bangun tidur, itu sudah ada," jawab Bu Winda.
"Oooo."
Bu Windi mendengar suara derak tapal kuda. Dia berdiri dengan menggendong anak Mbak Tari untuk memeriksanya. Dia melihat NusaNTara mengendarai kuda dengan cepat seperti mengejar sesuatu. Dia melihat Tara melompat dan menangkap benda yang terbang.
"Yeeeyyy, dapat!" ucap Tara gembira.
"Tara, Nusa? Sedang apa kalian?" seru Bu Windi heran.
NusaNTara menoleh bersamaan.
"Ah, ibu! Aku mendapat petunjuk untuk mencari Barni!" seru Tara sambil menunjukkan boneka elang.
"Boneka elang? Dapat dari mana kalian?" tanya Bu Windi.
"Dari rumah Nusa!" balas Tara.
"Boneka elang? Dari rumahku?"
Bu Winda mendengar percakapan mereka dan ikut berdiri di samping Bu Windi. Dia melihat Tara memegang boneka elang yang terlihat familiar baginya. Dia terkejut ketika tau model boneka itu seperti yang ada di kamarnya.
"Hei! Dimana kalian mendapatkan itu?" seru Bu Winda dengan ekspresi marah.
"Kamar Ibu," jawab Nusa polos.
"Ka—mar—ku!" Bu Winda terlihat sangat marah. Dia tau betul di mana dia menggantung boneka itu.
Rinson berusaha lepas dari pelukan Bu Winda. Dia mendapat kesempatan ketika pelukan Bu Winda melemah dan langsung lompat turun. Rinson berlari menghampiri Nusa.
"Rinson! Mau kemana kamu?" teriak Bu Winda.
"Nusa! Ajak aku bersama kalian!"
Rinson merubah ukuran tubuhnya menjadi besar dan berlari ke samping NusaNTara.
"Ayo! Aku bantu kalian mencari Barni." Rinson ingin melarikan diri dari Bu Winda. Dia tidak mau melawannya.
NusaNTara mengangguk dan bergegas naik ke Rinson. Tara mengikat kudanya di pagar.
"Memangnya boneka apa itu?" tanya Bu Windi penasaran kenapa boneka itu bisa membuat kakaknya semarah ini.
"Bukan masalah boneka apa itu, tapi di mana tempat boneka itu," ucap Bu Winda dengan nafas berat.
Bu Winda melompat dari balkon.
"Kakak!"
"Bu Winda!"
Mereka terkejut dengan tindakan Bu Winda.
Bu Winda bergegas naik ke kudanya Tara dan berkendara pulang.
"Kenapa dengan Bu Winda?"
Bu Windi hanya mengangkat bahunya. Dia juga tidak mengerti dengan apa yang terjadi.
...****************...
Rinson terus melaju. Kecepatannya melebihi ukuran tubuhnya. Sepertinya kelincahan dan kekuatannya juga ikut meningkat berkat kulit Pisang Raja.
Nusa duduk di depan dan Tara di belakang. Tara memegang tali boneka dan membiarkan boneka melayang. Mereka bergerak sesuai arah boneka.
Rinson berusaha mencari jalan yang bisa di lalui. Karena mereka melintasi area pertanian, mereka tidak bisa sembarangan melaju.
Mereka sampai di area hutan.
"Hutan?" ucap Tara.
"Traabaass!" ucap Nusa merasa bersemangat.
"Hhoooouuuhh!"
Mereka masuk ke area hutan. Rinson menerobos semua semak di hadapannya.
NusaNTara kewalahan dengan ranting dan rumput yang mengenai mereka. Nusa melindungi wajahnya dengan kedua tangannya sedangkan Tara meringkuk di punggung Nusa.
"Craakk."
Nusa menabrak ranting yang cukup besar dan ranting itu patah. Nusa terkulai lemas karena hantaman yang cukup keras. Dia merentangkan badannya ke belakang dan menimpa Tara.
"Nusa! Nusa!" teriak Tara. Tapi Nusa tidak menjawab. Dia telah pingsan. Tara merebahkan tubuh Nusa kedepan.
Tara menarik satu kerisnya dan menebas semua ranting dan rumput.
Karena pandangan Rinson juga terhalang, dia terkejut ketika ada sungai di depannya. Dia reflek melompat. Karena berat badannya, dia tidak bisa melompat tinggi dan akhirnya tercebur.
Tara beruntung karena dia terpental ke depan dan jatuh di seberang. Sedangkan Nusa masih pingsan dan ikut tercebur.
"Uugghh."
Tara merasa badannya sakit karena terjatuh cukup keras.
"Nusa? Nusa!" Dia teringat temannya tidak bisa berenang. Dia langsung menyelam dan berhasil menyelamatkan Nusa dan membawanya ke daratan. Rinson yang bisa berenang bisa mengatasi masalahnya.
"Haaah, haaah, haaah." Mereka bertiga terengah-engah. NusaNTara terkapar di tanah. Nusa terbatuk dan tersadar dari pingsannya karena menelan air.
"Semuanya aman?" tanya Rinson. Mereka berdua mengacungkan jari jempol.
"Oke, ayo kita lanjut. Kita sudah dekat. Aku bisa merasakan Aura Barni. Auranya melemah. Lihat bulu di boneka. Mulai rontok," jelas Rinson.
Tara terkejut mendengar pernyataan Rinson dan mengecek boneka. Memang bulu yang ada di boneka mulai rontok. Tara langsung bangkit dan bergegas mengangkat Nusa. Mereka melanjutkan perjalanan.
...****************...
** Rumah Nusa
Bu Winda membuka kamarnya dengan penuh amarah. Dia melihat pakaian dalam yang di gantungnya ada yang hilang. Kemarahannya semakin memuncak.
"Taaraaa! Hiiyaaa!" Bu Winda melepaskan Energi Spiritual yang besar. Seisi rumah bergetar. Pakaian dalamnya berterbangan.
"Awas kau— plak." Sebuah kutang menampar wajah Bu Winda.
...****************...
** Di hutan
Lima orang pemburu sedang menjelajahi hutan. Mereka memeriksa area hutan seperti mencari sesuatu.
"Sreeekk." Seorang pemanah muncul di ranting pohon.
"Boss, aku menemukan sebuah rumah!" ucap seorang pemanah di atas pohon.
"Rumah? Di tengah hutan? Apa kau bercanda?" ucap Si boss tidak percaya. Dia adalah seorang pendekar.
"Aku serius. Kemarilah. Rumahnya cukup besar," ucap Pemanah.
Boss memberi isyarat untuk mengikuti pemanah.
...****************...
"Itu Boss." Pemanah itu menunjuk sebuah rumah kayu yang cukup besar.
"Siapa yang membuat rumah di tengah hutan? Apa mereka orang kaya yang ingin hidup tenang?" ucap Petinju.
"Ssstttt, diam. Ada yang datang," ucap Pemanah. Mereka bersembunyi di semak-semak.
Seseorang berjalan di dekat mereka dan lewat di samping mereka. Dia berjalan sambil menyeret rambut seorang laki-laki yang sudah babak belur. Laki-laki dalam kondisi pingsan.
Itu adalah Supa yang sedang menyeret kakak Roni, Bita. Supa berjalan ke arah rumah kayu itu. Dia keluar dari area hutan. Dia memperhatikan rumah itu dan mengangkat kepala Bita.
"Hei! Apa ini rumah yang kau maksud?" tanya Supa sambil mengarahkan wajah Bita ke rumah.
"....." Kakak Roni hanya diam.
"Hmm?" Supa memiringkan kepalanya karena tidak mendapat balasan. Dia memegang hidung Bita dan menekannya. Bita terbangun karena kesulitan bernafas.
"Haaah ... haaah ... haaah." Bita terduduk karena tidak kuat mengangkat kepalanya. Dia sudah terkulai lemas dan nafasnya tersengal.
Supa kembali mengangkat kepala Bita.
"Woi! Sudah bangun kau? Lihat! Apa ini rumah yang kau maksud, hah?" bentak Supa sudah merasa kesal. Dia melototi Bita seakan matanya mau keluar.
"Malah diam saja. Gak guna kau!" Supa membanting wajah Bita ketanah.
"Untung kau kakaknya Roni. Setelah urusan di sini selesai, pulanglah. Ibumu sedang sakit," ucap Supa seakan memberi pengampunan dan saran. Dia kembali memperhatikan rumah itu.
Tubuh Bita sedikit bergetar setelah mendengar ucapan Supa.
Kelompok pemburu tadi masih bersembunyi. Mereka menunggu waktu yang tepat untuk keluar.
"Pintu berwarna hitam. Dinding dari kayu papan. Atap dari genteng. Tidak ada jendela depan. Berarti ini?" gumam Supa mengingat definisi rumah.
"Ahh, trabas sajalah. Salah rumah tinggal cari lagi," ucap Supa bersemangat. Dia melakukan peregangan sebelum mengambil posisi melempar tombak.
"Wamena-wamena! Bantai para siluman!" Supa melempar tombaknya dan mengarah ke pintu.
** Kelompok pemburu
"Boss, orang itu terlihat seperti orang timur ..." ucap Petinju lirih.
"Menilai dari pakaian nya mungkin bukan. Orang timur pakaian nya terbuat dari rumput dan kulit kayu, tapi dia berpakaian seperti orang Malaylaka ..." balas Boss.
"Iya. Orang timur cenderung memakai banyak asesoris untuk identitas mereka ..." balas Pendekar.
"Kita tidak perlu mempermasalahkan dia orang mana. Dia sudah menyeret seseorang seperti menyeret batang pohon. Kita harus menangkapnya dan membawanya ke Ormas Tukang ..." ucap Boss.
"Kalau begitu, langsung saja kita tangkap. Mumpung dia tidak sadar kehadiran kita ..." ajak pendekar.
"Kita tunggu—huh? Dia berjalan ke arah rumah itu. Apa itu rumahnya?" ucap Boss terkejut.
"Mungkin saja. Kita amati dulu," saran Pemanah.
Beberapa menit kemudian.
"Cih, kasar sekali dia. Dia tidak punya sisi kemanusiaan," ucap Pendekar geram.
"Loh? Mau ngapain dia? Dia seperti ingin menyerang rumah itu?" ucap Pemanah terkejut atas tindakan yang di ambil Supa.
** Aksi Supa
"Wuuusssshh." Supa melesatkan tombaknya. Tombak itu mengarah kepintu rumah. Tiba-tiba pintu rumah terbuka dan seorang perempuan keluar.
"Huh?" Supa terkejut melihat seorang perempuan membuka pintu.
"Tidaaakkk!" Kelompok pemburu itu keluar dari semak-semak dan berlari. Mereka ingin menghentikan tombak itu tapi mereka tidak mungkin bisa. Si Boss dan petinju berlari kearah Supa untuk menangkapnya.
Tombak itu sudah berada di depan mata perempuan itu.
...****************...
** Posisi NusaNTara
Rinson berlari dengan sekuat tenaga. Tara menggenggam erat boneka itu dengan wajah cemas. Nusa memandang ke depan dengan tatapan serius. Mereka melewati jalan setapak kecil. Sepertinya jalan itu sering di lewati orang.
"Bersiap! Aku merasakan beberapa orang di depan kita," ucap Rinson meminta bersiaga.
Tara menyelipkan boneka ke dalam kain pinggangnya.
"Nusa, kalau terjadi pertarungan, larilah kalau kau tau tidak bisa melawan. Itu lebih baik untukmu dan orang penting di hidupmu," ucap Rinson memberi saran. Dia tidak ingin terjadi hal yang tidak di inginkan.
"Oke!" jawab Nusa tegas.
Mereka melihat ujung jalan setapak. Samar-samar terlihat rumah kayu dia antara pohon. Rinson menambah kecepatan nya. Mereka keluar dari jalan setapak.
Rinson menurunkan kecepatannya dan berhenti.
Mereka melihat seorang pemuda—Supa—sedang mengambil ancang-ancang dengan tombak di tangan kanannya. Rinson memandang tajam ke pemuda itu.
Pemuda itu melempar tombak ke arah rumah. Pintu rumah terbuka dan muncul seorang perempuan.
"Hah?" Mereka bertiga terkejut dengan mulut terbuka. Mereka hanya bisa melihat tombak itu melayang ke arah perempuan itu.
...****************...
** Penjara Ormas
Seorang pegawai melangkah di antara pintu sel. Dia menghampiri penjara pelaku pembunuhan kemarin.
"Ada seorang wanita yang memberikan laporan. Itu ada kaitannya dengan mu. Hakim memintamu untuk datang memberikan penjelasan," ucap Pegawai.
"Sel mu akan di pindah ke kota, untuk memudahkan investigasi," lanjutnya.
"Kemarikan tanganmu."
Anak itu hanya bisa pasrah dan menyerahkan tangannya.
"Bagaimana dengan ibuku?" tanya Anak itu hawatir. Dia tidak bisa tidur nyenyak kerena memikirkan ibunya.
"Baru tiga hari. Dia masih dalam proses pemulihan. Mungkin butuh satu atau dua Minggu untuknya pulih, secara fisik. Saat itulah dia akan di interogasi," jelas Pegawai. Dia selesai memasang borgol baja dan membuka sel. Dia menuntun anak itu keluar dan membawanya masuk ke gerobak yang berbentuk seperti penjara.
...****************...
** Kantor Jaksa
Anak itu duduk di kursi terdakwa, tanpa pengacara. Karena dia seorang siluman, dia tidak akan bisa lepas dari hukuman.
Orang-orang yang duduk di kursi pengunjung sidang saling berbisik.
"Beni—tersangka pelaku pembunuhan, alasannya menyelamatkan Ibu—korban pembantaian, kamu salah seorang warga yang kampungnya telah di bantai.—terbukti seorang siluman, kamu bisa berubah menjadi macan akar—kasusmu cukup rumit," ucap Hakim melihat hasil laporan.
"Kau masih anak-anak, tapi, karena kau sudah terbukti seorang siluman, kau tetap akan di hukum penjara sampai mati," lanjut Hakim.
"Sebelumnya, ada laporan dari seorang wanita, yang katanya dia telah di aniaya oleh sekelompok anak, dan kau salah satunya. Tolong di jelaskan kejadiannya dengan rinci. Ini bisa merubah hukuman mu," ucap Hakim.
Beni hanya bisa tertunduk dan menggigit bibirnya. Dia tidak bisa melakukan apapun, serasa tak berdaya. Dia mengangkat kepalanya dan berkata "Aku menginjak payu**** nya."
Se isi ruangan hening. Beni sepertinya melakukan pembukaan dengan meriah dalam hening.