“Aku bukan barang yang bisa diperjualbelikan.” —Zea
Zea Callista kehilangan orangtuanya dalam sebuah pembantaian brutal yang mengubah hidupnya selamanya. Diasuh oleh paman dan bibinya yang kejam, ia diperlakukan layaknya pembantu dan diperlakukan dengan penuh hinaan oleh sepupunya, Celine. Harapannya untuk kebebasan pupus ketika keluarganya yang serakah menjualnya kepada seorang mafia sebagai bayaran hutang.
Namun, sosok yang selama ini dikira pria tua berbadan buncit ternyata adalah Giovanni Alteza—seorang CEO muda yang kaya raya, berkarisma, dan tanpa ampun. Dunia mengaguminya sebagai pengusaha sukses, tetapi di balik layar, ia adalah pemimpin organisasi mafia paling berbahaya.
“Kau milikku, Zea. Selamanya milikku, dan kau harus menandatangani surat pernikahan kita, tanpa penolakan,”ucap Gio dengan suara serak, sedikit terengah-engah setelah berhasil membuat Zea tercengang dengan ciuman panas yang diberikan lelaki itu.
Apa yang akan dilakukan Zea selanjutnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BEEXY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 25 - Ciuman?
"Kau tidak akan membawaku ke sebuah ruangan eksekusi dan menghabisiku di sana kan?" Zea memeluk dirinya sendiri, mengusap lengannya karena bulu kuduknya mulai merinding membayangkan skenario buruk di kepalanya.
"Jika itu bisa membuatmu diam, mungkin iya."
Zea terbelalak lalu mempercepat langkahnya untuk turun tangga hingga tepat berada dî samping Giovanni. "Bisakah kau berhenti menakut-nakuti ku?! Kau benar-benar akan menghabisiku?"
Giovanni berhenti berjalan menuruni tangga. "Apa yang membuatmu berpikir demikian?"
"Kau." Zea yang berada di samping Gio, menunjuk wajah lelaki itu. " Kau yang membuatku berpikir seperti ini karena kau menyetujui perkataanku tadi."
Giovanni menghela nafas,"Aku mengatakan 'ya' agar kau diam."
"Aku tidak akan diam sebelum mendapatkan jawaban."
"Kau memang luar biasa,"ucap Giovanni sambil tersenyum lelah.
Lelaki itu lalu menatap Zea dengan intens, mendekatkan tubuhnya, semakin dekat, hingga membuat saya terus mundur. Tapi terhalang oleh dinding tangga. Sementara Giovanni telah berada tepat di depannya, hanya berjarak beberapa cm dari wajahnya.
Giovanni menyentuh dagu Zea dengan lembut untuk membuat netra Zea bertemu dengan lelaki itu, sementara tangan yang lainnya menyentuh tembok tepat di samping telinga Zea.
Gadis itu dapat merasakan hembusan nafas hangat Giovanni yang membuat jantungnya berdebar.
Kedekatan yang intens.
Tatapan mata Giovanni yang dominan.
"Jika aku berniat menghabisimu, aku tidak akan menolongmu waktu di pantai. Aku juga tidak akan mengirim banyak bodyguard untuk melindungimu, dan aku juga tidak akan menghabiskan waktuku untuk mengkhawatirkanmu,"ucap Giovanni dengan lembut lalu ibu jari lelaki itu mengusap pipi Zea yang menciptakan sensasi aneh menjalar.
Gadis itu terbelalak, tubuhnya seketika membeku.
Giovanni makin mendekatkan wajahnya ... semakin dekat ... semakin dekat ... jarak antara bibir lelaki itu dengan kening Zea hanya tinggal beberapa sentimeter.
Zea bahkan telah memejamkan matanya dengan kedua tangan meremas ujung bajunya. Apakah Giovanni akan mengecupnya seperti malam itu? Pikiran tersebut terus mengisi sel otak Zea. Kedekatan mereka sangat intens dan membuat jantung berdebar-debar, di tambah dengan suasana remang-remang tangga.
Hingga akhirnya ... Giovanni menjauhkan dirinya. "Kenapa kau memejamkan mata?" Lelaki itu bersmirk melihat raut ketakutan yang menggemaskan dari Zea.
Sementara Zea yang merasakan keberadaan Giovanni telah menjauh, Perlahan membuka matanya, remasan di ujung kaosnya terlepas. Dia terbelalak saat melihat smirk dari Giovanni, jantungnya yang awalnya memompa cepat karena perasaan lain, kini berubah menjadi rasa malu yang menyelimuti dirinya. Zea merasakan wajahnya memanas. Apalagi setelah mendengar pertanyaan dari Giovanni.
"Kenapa aku memejamkan mata?! Itu karena kau sangat dekat denganku! Kenapa kok tiba-tiba mendekatkan tubuhmu seperti itu?!"pekik Zea dengan kedua pipi yang telah memerah malu.
Giovanni Altezza sungguh menyebalkan.
Dia selalu tahu cara membuat Zea mati kutu dan tidak bisa bergerak.
Giovanni selalu tahu cara membuat dia berdebar-debar dan pergi begitu saja.
Zea menyentuh pergelangan tangan Giovanni. "Apa kau puas, huh? Berhentilah dekat-dekat denganku tanpa alasan yang jelas. Apa sebenarnya maksud dari semua itu? Aku tidak memahami arah pikiranmu sama sekali."
Giovanni berseringai, "Memang apa yang kau harapkan akan aku lakukan? Menciummu?"
Sialan.
Apa maksudnya?
Walaupun zea memang berpikir mungkin saja Giovanni akan melakukan itu. Tapi, tetap saja dia malu jika disebutkan secara terang-terangan seperti itu.
"A-aku tidak..!" Zea malah terlihat gugup sekarang.
"Tidak apa? Jelas-jelas kau memejamkan matamu dan berharap aku melakukan sesuatu." Giovanni menarik sudut bibirnya karena dapat dengan jelas melihat wajah memerah Zea.
"A-ah.. itu.. Lupakan itu!" Zea mengalihkan wajahnya dari pandangan Giovanni. Dia kembali berbicara dengan gugup, "katanya aku ingin menunjukkan sesuatu yang menarik padaku, segera lakukan tidak usah banyak bicara."
Giovanni menghilang nafas dan mengangguk. "Baiklah. Kuharap setelah ini tidak ada pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu perjalanan." Lelaki itu berbicara dengan nada menyindir Zea.
Sialan.
Zea kena lagi.
"Baiklah terserah, aku hanya akan diam dan melihat tapi yang ingin kau tunjukkan padaku."
Setelah itu mereka kembali berjalan turun. Zea sangat gatal untuk bertanya sejauh apa mereka akan turun.
Saat mereka turun begitu jauhnya, Giovanni kembali berhenti dan menoleh ke arah Zea. Di perlahan kembali mendekati Zea.
"Ada apa lagi sekarang? Kau mau apa?"
"Tutup matamu."
"Apa? Kenapa aku harus melakukannya?"
"Aku bilang tutup matamu."
Karena tidak ingin berdebat lebih jauh, Zea akhirnya melakukan perintah Gio untuk menutup kedua matanya.
Tak lama kemudian Zea merasakan sebuah kain dibalik kedua matanya yang tertutup, "apa ini?"
"Kau akan mengetahui sesuatu yang seharusnya tidak pernah kau tahu. Tempat yang sangat rahasia dan hanya orang-orang kepercayaanku yang boleh mengetahui keberadaannya,"ucap Giovanni tepat di telinga Zea.
"Untuk apa kau akan menunjukkan tempat seperti itu padaku? Aku bukan orang yang kau percaya kan? Aku hanya proper—"
Belum sempat Zea melanjutkan ucapannya kalau Giovanni hanya menganggap gadis itu sebagai properti. Tiba-tiba lelaki itu menempelkan bibirnya tepat di bibir Zea, membungkam kedua bibir gadis itu.
Zea merasakan jantungnya makin berdebar dengan kencang.
Giovanni tidak memberikan sebuah ciuman yang panas, melainkan hanya menempelkan bibir untuk membungkam Zea. Tapi, tetap saja membuat tubuh gadis itu memanas.
"Aku sudah bilang padamu untuk berhenti bertanya kan?" Suara Giovanni terdengar sangat rendah, lelaki itu kemudian mengusap bibir bawah Zea dengan jempolnya.
Jarak mereka berdua sangat dekat, Zea kembali dapat merasakan hembusan nafas Giovanni di wajahnya.
Lelaki itu kembali bicara, masih dengan nada rendah yang lembut, "Zea Calista, Kau memanglah propertiku ... Properti yang sangat berharga, yang ingin aku jaga, dan aku tidak ingin kau terluka sedikitpun." Giovanni menggunakan jempolnya untuk menyusuri bibir dari atas ke bawah.
Sementara tubuh Zea masih menegang. Bertanya-tanya dalam pikirannya tentang tindakan seperti apa yang akan dilakukan Giovanni selanjutnya. Serta dia akan dibawa ke ruangan apa?
Keberanian Zea untuk bertanya pupus karena ancaman dari Geovani tadi.
Setelah kejadian yang cukup panas dan intens itu, Giovanni kemudian mengangkat tubuh Zea dalam gendongan ala bridal style.
Zea terkejut. "A-apa yang kau lakukan??!! Aku bisa berjalan sendiri! Lepaskan aku!"
"Diamlah atau kau ingin aku menciummu saat ini juga?"ancam Giovanni.
Ucapan itu tentu membuat Zea kembali tercengang dan malu. Perasaan Giovanni yang menempelkan bibir mereka saja masih terngiang-ngiang. Apalagi sebuah ciuman? Gila saja.
Mau tidak mau Zea hanya bisa pasrah dalam pelukan lelaki itu.
Langkah demi langkah turun dari tangga terasa, tubuh Zea bergoyang dalam pelukan tidak berani mengucap sepatah katapun
Hingga dia merasakan gesekan sepatu Giovanni tidak lagi menurun, melainkan sepertinya lelaki itu telah membawa Zea ke jalan yang datar.
Zea makin penasaran. Kemana dia akan dibawa?
Zea terus berada di pelukan Giovanni sampai lelaki itu berhenti dan menurunkan dirinya. "Kita sudah sampai, berdirilah sebentar."
Lalu indra pendengaran Zea menangkap sebuah suara touchscreen kemudian sesuatu terasa terbuka di depannya menghembuskan sedikit angin yang menyapu helai rambutnya.
Apa yang berada di depan Zea sekarang?
Beberapa detik kemudian, Giovanni menarik pinggang Zea dan menuntunnya untuk masuk ke dalam. Saat langkah kaki terkahir Zea menginjakkan kaki di dalam. Mendadak gadis itu mendengar suara seperti pintu besar di belakangnya tertutup.
Zea hanya pasrah saat Giovanni terus menuntunnya.
Hingga mereka berhenti dan Giovanni berdiri tepat di depan Zea lalu perlahan melepas penutup mata itu. "Kau bisa melihat dan berkomentar sekarang."
Zea terkejut. Kedua matanya terbelalak iris mengecil saat melihat ruangan tersebut.
Ruang itu sangat luas dengan pencahayaan redup yang didominasi lampu LED merah dan biru. Dindingnya dilapisi baja tahan peluru dan dipenuhi rak senjata yang tersusun rapi, mulai dari pistol Glock, Desert Eagle, dan Beretta, hingga senapan serbu seperti M4A1 dan AK-47. Terdapat juga lemari khusus untuk sniper rifle seperti Barrett M82 dan CheyTac M200, serta koleksi senjata dingin seperti pisau komando, belati, dan katana antik.