Anna tidak pernah membayangkan bahwa sebuah gaun pengantin akan menjadi awal dari kehancurannya. Di satu malam yang penuh badai, ia terjebak dalam situasi yang mustahil—kecelakaan yang membuatnya dituduh sebagai penabrak maut. Bukannya mendapat keadilan, ia justru dijerat sebagai "istri palsu" seorang pria kaya yang tak sadarkan diri di rumah sakit.
Antara berusaha menyelamatkan nyawanya sendiri dan bertahan dari tuduhan yang terus menghimpitnya, Anna mendapati dirinya kehilangan segalanya—uang, kebebasan, bahkan harga diri. Hujan yang turun malam itu seakan menjadi saksi bisu dari kesialan yang menimpanya.
Apakah benar takdir yang mempermainkannya? Ataukah ada seseorang yang sengaja menjebaknya? Satu hal yang pasti, gaun pengantin yang seharusnya melambangkan kebahagiaan kini malah membawa petaka yang tak berkesudahan.
Lalu, apakah Anna akan menemukan jalan keluar? Ataukah gaun ini akan terus menyeretnya ke dalam bencana yang lebih besar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eouny Jeje, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Teror yang baru dimulai
Anna tiba kembali setelah empat jam meninggalkan penjara. Langkahnya terhenti begitu melihat sipir yang menyambutnya. Pria itu menatapnya tanpa ekspresi, tapi mata penuh keserakahan itu berbicara lebih banyak daripada kata-kata.
Dada Anna bergejolak. Ia ingin meludah ke arah pria itu—ingin mencabik wajahnya yang mengingatkan pada parasitik yang hanya hidup dari uang. Tapi sesuatu menahannya. Ia belum pernah melihat pria ini berkeliaran di sel. Ini bukan orang Harry.
Jantungnya berdegup lebih cepat. Ada sesuatu yang salah.
Anna harus lebih waspada. Jika ada orang asing di sini, itu berarti ada kekuatan lain yang ikut bermain—sesuatu yang lebih besar dari sekadar pengaruh Harry. Sesuatu yang telah menyusup jauh lebih dalam. Dan jika benar begitu… maka Harry bisa berada dalam bahaya.
Pikiran itu membuat perutnya bergejolak. Ia menelan ludah, mencoba menenangkan diri, tapi wangi sisa salon yang masih melekat di rambutnya justru membuatnya mual. Bukan karena aromanya—tetapi karena ingatan yang dibawanya.
Ethan.
Anna mengejang. Tenggorokannya terasa kering.
Tangannya gemetar saat menyentuh bibirnya, seolah masih merasakan sentuhan yang tidak seharusnya ada di sana. Napasnya pendek dan tertahan. Bayangan Ethan, dengan mata penuh birahi dan tatapan haus darah, muncul di benaknya. Ia bisa merasakan cengkeraman kasar itu lagi. Bisa mendengar bisikannya.
Tiba-tiba Anna merasa kotor.
Ia berlari keluar sel, menghampiri wastafel, lalu mencuci wajahnya dengan air dingin. Tapi itu tak cukup. Ia menggosok bibirnya, lebih keras, lebih kuat—seakan bisa menghapus jejaknya dari bibirnya.
Sialan!
Ia mengangkat kepala, dadanya naik-turun.
Lalu ia melihatnya.
Pantulan di cermin.
Wajah Ethan.
Ia menyeringai padanya.
"KAU PIKIR BISA MEMBELI SEMUA ORANG?!"
Jeritan Anna menggema di dinding sel.
Anna menatap cermin dengan napas tersengal. Ia seharusnya hanya melihat pantulan dirinya, tapi yang muncul justru wajah Ethan—menyeringai, penuh kesombongan dan kesenangan sakit.
"Lihat kau sekarang," suara Ethan terdengar, seakan cermin itu bisa berbicara. "Masih berpikir punya pilihan?"
Anna menegakkan tubuhnya, menahan muntah yang hampir naik ke tenggorokannya. "Kau pikir aku akan tunduk padamu hanya karena uang?"
Ethan tertawa pendek.
"Aku sudah membeli banyak orang, Anna. Kau pikir kau lebih istimewa?"
"Kau menjijikkan," desis Anna. "Kakiku yang sehat ini… andai bisa, aku lebih memilih menukarnya dengan kakimu yang cacat, hanya agar aku bisa melihatmu merangkak dalam kehinaan."
Ethan mencondongkan tubuhnya di dalam cermin, matanya menyala dengan kekejaman.
"Tapi kau tetap ada di sini. Dan kau tetap milikku."
"Di dalam mimpimu yang paling sakit!" Anna membalas dengan mata membara.
Ethan menyeringai lebih lebar.
"Dan mimpi burukmu yang paling nyata."
Tiba-tiba, seseorang berlari di luar kamar mandi. Suara napas tersengal, langkah kaki terburu-buru.
"Harry dihajar habis-habisan!"
Dunia Anna berhenti seketika.
Jantungnya seperti terhenti, lalu berdetak begitu kencang hingga hampir melompat keluar dari dadanya.
Ia membayangkan sepasang kaki Harry—hancur, diinjak-injak, dihajar tanpa ampun.
Matanya kembali ke cermin.
Ethan masih tersenyum.
"Aku bilang, aku sudah membeli banyak orang."
Darah Anna membeku.
Tidak.
Tidak mungkin.
Ia berbalik dan berlari keluar, menerobos kerumunan yang mulai berkumpul di lapangan. Orang-orang berteriak, sorak-sorai menggema.
Setiap pria di sana bertelanjang dada, tubuh mereka penuh keringat dan luka perkelahian.
Tapi Anna tidak mencari mereka.
Ia mencari seseorang yang tidak seharusnya terluka.
Di mana Harry?
Dimana dia?!
Ketakutan mulai mencengkeram hatinya.
Dan di dalam cermin yang telah ia tinggalkan, Ethan masih tersenyum.
Seolah tahu bahwa pertarungan ini baru saja dimulai.
Anna menerobos kerumunan, matanya liar mencari satu sosok yang harus ia temukan. Para pria bertelanjang dada membentuk lingkaran di sekitar arena pertarungan, tubuh mereka bergerak gelisah, membentuk dinding penghalang yang seakan mustahil ditembus.
Tidak. Anna tidak bisa terjebak di sini. Ia harus melihat. Ia harus tahu apa yang sedang terjadi.
“Permisi,” ucapnya, suaranya tenggelam dalam sorak-sorai beringas di sekelilingnya.
Tak ada yang peduli.
Seseorang mendorongnya keras, tubuhnya terhuyung ke belakang. Sebelum ia bisa menyeimbangkan diri, kakinya tersandung seseorang.
Lalu—
“Akh!”
Rasa sakit menusuk telapak tangannya. Seseorang—tidak, beberapa orang—menginjak tangannya yang terjatuh di tanah. Anna meringis, mencoba menarik tangannya, tapi kerumunan terus bergerak, membuatnya tak punya celah untuk melarikan diri.
Di tengah derit kesakitannya, matanya menangkap sesuatu.
Darah.
Dan di tengah lingkaran itu—Harry.
Dikelilingi oleh pria-pria yang bahkan belum pernah ia lihat sebelumnya.
Mereka bukan petarung biasa. Gerakan mereka terlalu terlatih, pukulan mereka terlalu kejam. Harry dihantam bertubi-tubi, tubuhnya terus mundur. Napasnya kasar, tapi matanya tetap tajam, meskipun darah mengalir dari sudut bibirnya.
Tidak!
Anna menahan napas, hatinya mencelos saat melihat salah satu pria itu mencengkeram leher Harry, menjepitnya dengan tenaga penuh. Harry berusaha melawan, tapi tekanan di tenggorokannya semakin kuat.
Anna panik.
“Harry!” teriaknya, suara penuh ketakutan dan kepanikan yang tidak bisa ia sembunyikan lagi.
Dan saat itu, sesuatu di dalam diri Harry seolah meledak.
Dengan kekuatan yang tiba-tiba kembali, ia melayangkan pukulan brutal ke pria yang menjepitnya. Tubuh pria itu terangkat dari tanah, diputar di atas punggungnya, lalu dijatuhkan dengan keras ke lantai.
Brak!
Si pria mengerang kesakitan, tubuhnya terpelintir.
Harry berdiri di atasnya, dadanya naik-turun, matanya dipenuhi bara kemarahan. Sepatunya terangkat sedikit, tepat di atas wajah pria itu, siap untuk menghantamnya habis-habisan.
Pria itu mengangkat tangannya lemah.
“M-menyerah…” suaranya nyaris tak terdengar.
Namun, bagi Harry, itu bukan akhir dari segalanya.
Dan bagi Anna, ketakutan yang menghantuinya baru saja dimulai.
Harry mengabaikan pria di bawah kakinya. Pertarungan seperti ini bukan hal baru—di tempat seperti ini, kekuatan adalah segalanya. Namun, kali ini berbeda. Lawan yang ia hadapi bukan sekadar narapidana baru yang ingin unjuk gigi. Jika kata-kata Kevin benar, mereka adalah singa lama—petarung yang telah lama mengincarnya, menunggu saat yang tepat untuk menerkam.
Tapi mereka lupa satu hal.
Harry bukan pria yang mudah ditaklukkan. Sejak kecil, hidupnya telah ditempa dalam pertarungan. Ia tidak hanya terbiasa menghadapi pukulan, tetapi juga telah hidup dalam bayang-bayang benda tajam yang siap merobek dagingnya kapan saja. Instingnya tajam, setajam serigala yang selalu tahu kapan harus menyerang dan kapan harus bertahan.
Dan kali ini, ia kembali berdiri sebagai pemenang.
Anna menarik napas lega, dadanya yang tadi sesak kini terasa lebih lapang.
Matanya mencari sosok yang selama ini membuatnya cemas.
Lalu, ia melihatnya.
Harry melangkah mendekat, tubuhnya masih tegap meski keringat membasahi kulitnya. Setiap gerakannya kuat, penuh percaya diri. Dan di sanalah—sepasang kaki yang sejak tadi Anna khawatirkan.
Utuh.
Masih berdiri kokoh.
Harry berhenti tepat di hadapannya. Matanya yang tajam menatap lurus ke dalam mata Anna, seakan ingin meyakinkannya bahwa ia baik-baik saja.
Tanpa sadar, Anna meraih tangannya—mencengkeram erat, merasakan kehangatan di balik kulitnya. Ia tidak peduli pada tatapan orang-orang di sekelilingnya. Yang penting, Harry ada di sini. Masih berdiri. Masih… dirinya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Fashion House bukan sama dengan Rumah Mode dalam bahasa?