Sekelompok anak muda beranggotakan Rey Anne dan Nabila merupakan pecinta sepak bola dan sudah tergabung ke kelompok suporter sejak lama sejak mereka bertiga masih satu sekolah SMK yang sama
Mereka bertiga sama-sama tidak melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi karena terbentur biaya kala itu Akhirnya Anne melamar kerja ke sebuah outlet yang menjual sparepart atau aksesories handphone Sedangkan Rey dan Nabila mereka berdua melamar ke perusahaan jasa percetakan
Waktu terus berlanjut ketika team kesayangan mereka mengadakan pertandingan away dengan lawannya di Surabaya Mereka pun akhirnya berangkat juga ke Surabaya hanya demi mendukung team kesayangannya bertanding
Mereka berangkat dengan menumpang kereta kelas ekonomi karena tarifnya yang cukup terjangkau Cukuplah bagi mereka yang mempunyai dana pas-pasan
Ketika sudah sampai tujuan yaitu stadion Gelora Bung Tomo hal yang terduga terjadi temannya Mas Dwi yang merupakan anggota kelompok suporter hijau itu naksir Anne temannya Rey.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hanyrosa93, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bekerja Kembali
Setelah aku sembuh dari sakit, aku mulai bekerja kembali. Leaderku mulai kewalahan mengurus rekapan orderan aksesories handphone dan mengurus keluar masuk barang dari supplier. Sama seperti kekasihku Yuda, dia juga sibuk di kantornya sebagai asisten atasan yang sudah dipercaya.
Juga Rey dan Nabila, mereka juga semakin sibuk dengan orderan cetakan undangan pernikahan.
Di tengah kesibukan yang semakin padat, aku mulai merasa bahwa waktu terasa begitu cepat berlalu. Pagi datang, aku berangkat kerja dengan setumpuk tugas yang harus kuselesaikan, dan sebelum kusadari, matahari sudah tenggelam dan aku kembali ke rumah dalam keadaan lelah. Begitu pula dengan Yuda, kekasihku. Kami semakin jarang berkomunikasi seperti dulu. Jika dulu kami selalu menyempatkan diri untuk bertukar kabar di sela-sela kesibukan, kini semua berubah. Pesan yang kukirim sering kali hanya dibalas singkat atau bahkan baru dibaca berjam-jam kemudian.
Di tempat kerja, leaderku semakin kewalahan. Aku mencoba membantunya semampuku, mencatat setiap pesanan dengan lebih teliti dan memastikan barang dari supplier datang tepat waktu. Setiap harinya, dokumen menumpuk di meja, laporan harus diperiksa, dan pelanggan terus berdatangan. Ada kepuasan tersendiri saat melihat semuanya berjalan lancar, tapi tak bisa kupungkiri, tubuhku mulai terasa lelah.
Di sisi lain, Rey dan Nabila juga tak kalah sibuk. Perusahaan cetakan undangan yang mereka kelola semakin berkembang dan pesat. Mereka sering bercerita betapa pesanan terus berdatangan, bahkan dari luar kota. Mereka berusaha memenuhi semua permintaan pelanggan, termasuk desain khusus yang memerlukan kreativitas dan ketelitian ekstra. Kadang-kadang, aku merasa iri melihat mereka bekerja sama dengan begitu kompak dan penuh semangat. Sementara itu, aku dan Yuda justru semakin sulit menemukan waktu untuk sekadar bertemu.
Suatu hari, saat pulang kerja, aku mencoba menelepon Yuda. Sudah beberapa hari kami tak berbicara lama. Panggilanku tersambung, tapi tak langsung diangkat. Aku menunggu beberapa saat hingga akhirnya suaranya terdengar di seberang sana. “Halo, sayang. Maaf, aku sedang banyak kerjaan,” ucapnya dengan nada lelah.
Aku menghela napas. “Aku mengerti. Aku juga sibuk belakangan ini. Tapi aku merasa kita semakin jarang bicara,” ujarku pelan.
Yuda terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata, “Iya, aku juga merasakannya. Tapi aku benar-benar tak bisa berbuat banyak sekarang. Kantor sedang banyak proyek, dan aku harus selalu siap sedia.”
Aku memahami posisinya, tapi tetap saja ada perasaan sedih yang tak bisa kuabaikan. Aku ingin hubungan kami tetap seperti dulu, hangat dan penuh perhatian, tapi kenyataan berkata lain. Kami berdua sama-sama terjebak dalam kesibukan yang seakan tak ada habisnya.
Aku mencoba mengalihkan pikiranku dengan menghabiskan waktu bersama Rey dan Nabila. Suatu malam, mereka mengajakku makan malam di sebuah kafe kecil yang nyaman. Kami berbincang banyak hal, tentang pekerjaan, tentang mimpi-mimpi kami, dan sedikit tentang hubungan percintaan. Rey dan Nabila tampak begitu bahagia bersama, sementara aku hanya bisa tersenyum sambil menahan perasaan yang berkecamuk di dalam hati.
Setelah makan malam, aku pulang dengan perasaan campur aduk. Aku sadar bahwa aku dan Yuda harus menemukan cara untuk tetap menjaga hubungan kami di tengah kesibukan masing-masing. Aku tak ingin hubungan ini perlahan memudar hanya karena waktu yang tak bisa kami bagi dengan baik. Aku memutuskan, esok aku akan berbicara lebih serius dengan Yuda dan mencari jalan keluar agar kami tetap bisa saling mendukung tanpa merasa diabaikan.
Setelah aku pulang ke rumah, aku kemudian duduk di sofa sambil meminum secangkir teh manis hangat, begitu tegukan terakhir, nampak ibuku berjalan kearahku lalu berbisik, “ Anne, tuh ada Yuda di depan, sepertinya sedang menunggu kamu.”
Aku lalu mengangguk kepada ibu dan aku segera beranjak dari sofa sambil berkata “Baiklah Bu, Anne akan ke depan sekarang.”
Aku melangkah menuju pintu depan dengan sedikit penasaran. Yuda jarang datang tanpa memberi kabar terlebih dahulu. Begitu aku membuka pintu, sosoknya berdiri di depan pagar, tangan dimasukkan ke dalam saku jaketnya. Senyumnya tipis, seakan menunggu reaksiku.
"Hei, kamu sibuk?" tanyanya begitu melihatku.
Aku menggeleng pelan. "Enggak. Baru aja selesai minum teh. Ada apa, Yud?"
Dia menarik napas sejenak, lalu menatapku dalam. "Boleh kita jalan sebentar? Aku butuh bicara sama kamu."
Ada sesuatu di sorot matanya yang membuatku tak bisa menolak. Aku pun mengambil jaket tipis yang tergantung di belakang pintu dan keluar menghampirinya. Kami berjalan berdampingan di sepanjang trotoar, melewati deretan rumah yang sudah mulai sepi karena hari semakin malam.
"Jadi, ada apa?" tanyaku sambil melirik ke arahnya.
Yuda terdiam beberapa saat, seolah mencari kata yang tepat. "Aku dapat tawaran kerja di luar kota, Anne. Mungkin aku harus pergi dalam waktu dekat."
Aku terhenti. Langkahku seketika terasa berat. "Pergi? Ke mana?" suaraku nyaris berbisik.
"Ke Surabaya. Ada perusahaan yang menawariku posisi bagus di sana. Tapi itu berarti... aku harus ninggalin semuanya di sini."
Hatiku mencelos. Aku menelan ludah, berusaha menjaga ekspresi tetap tenang meskipun ada ribuan pertanyaan berkecamuk dalam kepalaku. "Kapan kamu berangkat?"
"Minggu depan, kalau semuanya berjalan lancar. Aku belum buat keputusan final, tapi kemungkinan besar aku akan pergi."
Aku mengangguk pelan, mencoba memahami situasi. Selama ini, Yuda adalah bagian penting dalam hariku. Kami bukan sekadar teman biasa. Ada sesuatu di antara kami yang sulit dijelaskan, sesuatu yang membuatku selalu nyaman saat bersamanya.
"Aku senang kalau itu memang yang terbaik buat kamu," kataku akhirnya, meski suaraku terdengar lebih lirih dari yang kuinginkan.
Dia menatapku lama sebelum akhirnya tersenyum. "Aku nggak tahu apakah ini benar-benar yang terbaik. Aku cuma... nggak mau nyesel di kemudian hari."
Aku mengerti maksudnya. Mungkin, dia juga sedang berharap aku mengatakan sesuatu yang bisa membuatnya tetap tinggal. Tapi aku tidak bisa egois. Jika ini adalah kesempatan baik untuk masa depannya, aku tak boleh menahannya.
"Aku akan selalu dukung apa pun keputusanmu, Yud," ucapku jujur.
Dia menghela napas panjang lalu mengusap tengkuknya, kebiasaannya saat sedang gugup. "Anne, kalau aku pergi... kamu bakal nunggu aku?"
Dadaku berdegup kencang. Pertanyaan itu seperti tamparan halus yang membuatku semakin sadar betapa dalam perasaanku padanya. Aku menatapnya dalam-dalam, mencari keberanian di antara kebimbangan.
"Aku nggak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tapi... aku selalu ada di sini, Yud," jawabku akhirnya.
Dia tersenyum kecil, lalu tanpa ragu menggenggam tanganku erat. "Terima kasih, Anne. Itu lebih dari cukup buatku."
Kami melanjutkan langkah tanpa banyak kata, menikmati kebersamaan yang mungkin tak lama lagi akan berubah. Malam semakin larut, tapi di hatiku, ada sesuatu yang baru saja dimulai.
***