Di dunia yang dikuasai oleh dua bulan.
Araksha dan Luminya.
Sihir dan pedang adalah bagian dari kehidupan sehari-hari. Kedua bulan tersebut mewakili dua kekuatan yang bertentangan, Araksha adalah sumber sihir hitam yang kuat, sedangkan Luminya menjadi sumber sihir putih yang penuh berkah.
Namun, keseimbangan dunia mulai terganggu ketika sebuah gerhana yang belum pernah terjadi sebelumnya mulai terbentuk, yang dikenal sebagai "Gerhana Bulan Kembar".
Saat gerhana ini mendekat, kekuatan sihir dari kedua bulan mulai menyatu dan menciptakan kekacauan. Menyebabkan kehancuran diberbagai kerajaan.
"Aku adalah penguasa, diam dan patuhi ucapanku!"
[NOVEL ORISINIL BY SETSUNA ERNESTA KAGAMI]
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Setsuna Ernesta Kagami, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bulan Araksha - VII
Drake, seorang petualang peringkat Orichalum yang dikenal dengan julukan "Sang Serigala Emas", berdiri dengan kedua tangan bersedekap, menatap Jellal atau Asher, identitasnya saat ini dengan sorot mata penuh tantangan.
"Jangan sembunyi di balik topeng itu terus, Asher," ujar Drake, suaranya penuh percaya diri. "Aku ingin tahu apakah orang sepertimu hanya sekadar omong kosong atau benar-benar layak menyandang peringkat Orichalum."
Jellal, tetap tenang seperti biasa, hanya mengangguk kecil. "Baiklah," katanya, suaranya tetap datar namun mengandung wibawa yang tak bisa diabaikan. "Tunjukkan jalannya."
Drake menyeringai, lalu berbalik dan mulai berjalan menuju luar serikat. Para petualang yang menyaksikan kejadian itu mulai berbisik-bisik, beberapa bahkan diam-diam mengikuti dari belakang, penasaran dengan apa yang akan terjadi.
Selvhia, alias Sylvia, berjalan di samping Jellal dengan ekspresi tidak senang. "Makhluk menjijikkan," gumamnya pelan, cukup rendah agar hanya Jellal yang mendengarnya.
Jellal hanya meliriknya sekilas tanpa berkata apa-apa. Dia sudah terbiasa dengan cara pandang Selvhia terhadap manusia biasa, meskipun kali ini dia merasa Selvhia terlalu vokal.
Saat mereka hampir tiba di area yang lebih sepi, Jellal tiba-tiba berbicara.
"Drake Alstein, petualang berbakat dari keluarga Alstein, terkenal dengan rekor misinya yang sempurna dalam sepuluh tahun terakhir," katanya dengan nada santai. "Aku harus mengakui, prestasimu cukup mengesankan."
Drake berhenti berjalan sejenak, menoleh dengan alis terangkat. "Kau sudah tau prestasiku? Hah?!" tanyanya, sedikit terkejut.
Jellal mengangguk. "Tentu saja. Bagaimana mungkin aku tidak tahu tentang seseorang sepertimu? Apalagi dengan julukan ‘Sang Serigala Emas’, pemegang rekor misi terbanyak tanpa kegagalan."
Namun, sebelum Drake bisa merespons, Jellal melanjutkan dengan tenang, "Drake Alstein... atau mungkin seharusnya aku mengatakan... Drake Alst—"
"Astelvain," potong Drake dengan nada tajam, wajahnya sedikit mengeras. "Bukan Alstain, tapi Astelvain."
Jellal terdiam sejenak, lalu mengangguk seakan baru menyadari kesalahannya. "Ah, benar. Aku lupa. Maafkan aku."
Mata Drake menyipit, jelas tidak menyukai kesalahan penyebutan namanya. "Lupakan saja," katanya, tetapi ada nada kesal dalam suaranya.
Namun, Jellal bisa merasakan sesuatu yang lebih dalam. Bukan sekadar kesalahan nama yang membuat Drake kesal, ada sesuatu tentang nama aslinya yang tampaknya sensitif baginya.
Menarik, pikir Jellal.
Suasana di antara mereka menjadi lebih panas, ketegangan meningkat seiring mereka semakin menjauh dari serikat petualang. Drake mempercepat langkahnya, kini ingin segera sampai ke tempat yang lebih sepi untuk menyelesaikan masalah ini.
Setelah beberapa menit berjalan, mereka tiba di sebuah lapangan terbuka di pinggiran kota, jauh dari keramaian serikat. Tempat ini dikelilingi reruntuhan bangunan tua, cocok untuk duel tanpa gangguan.
Drake menoleh ke Jellal dan menyeringai. "Baiklah, di sini cukup sepi. Tidak ada yang akan mengganggu kita."
Jellal melirik sekeliling, lalu mengangguk pelan. "Setuju."
Namun, sebelum duel benar-benar dimulai, Drake menambahkan sesuatu dengan nada mengejek, "Tapi kita harus menambahkan sedikit taruhan agar lebih menarik, bukan?"
Jellal mengangkat alis. "Taruhan?"
Drake menyeringai lebih lebar, lalu melirik ke arah Selvhia. "Jika kau kalah, Sylvia akan menjadi pengikutku."
Selvhia, yang sejak tadi hanya diam sambil memperhatikan, tiba-tiba menoleh tajam ke arah Drake. Tatapannya penuh kebencian seolah dia baru saja mendengar sesuatu yang paling menjijikkan di dunia.
"Apa?" katanya dengan nada dingin, matanya menyala dengan amarah terpendam.
Drake terkekeh. "Apa masalahnya? Jika kau percaya diri dengan kekuatanmu, taruhan ini tidak akan jadi masalah, bukan?"
Jellal menoleh ke Selvhia dan melihat bagaimana dia hampir saja meledak dalam kemarahan. Namun, sebelum dia bisa bereaksi lebih jauh, Jellal mengangkat tangan sedikit, memberi isyarat agar Selvhia tetap tenang.
Mata merah Selvhia yang dipenuhi amarah bertemu dengan mata Jellal yang tetap dingin dan penuh otoritas. Dalam sekejap, emosinya mereda. Meskipun dia masih merasa muak dengan makhluk bernama Drake ini, perintah Jellal adalah mutlak.
Jellal lalu menatap Drake dan berbicara dengan suara tenang.
"Baiklah," katanya. "Aku menerima taruhannya."
Drake menyeringai puas. "Bagus," katanya sambil mulai merenggangkan tubuhnya, bersiap untuk bertarung. "Jangan berpikir untuk mundur sekarang, Asher."
Jellal hanya tersenyum kecil di balik topengnya.
"Jangan khawatir," katanya, suaranya mengandung nada yang sulit ditafsirkan. "Aku justru menantikan ini."
Selvhia menatap Jellal dengan penuh kepercayaan. Dia tahu, siapa pun lawannya, Tuan Jellal tidak akan pernah memberi ampunan.
Angin malam berembus pelan, menggoyangkan dedaunan di antara reruntuhan yang mengelilingi medan pertarungan. Langit gelap tanpa bintang, seakan menutup diri dari duel yang akan segera terjadi.
Jellal berdiri di tengah tanah berbatu, mengamati sekelilingnya dengan tenang. Tidak ada seorang pun di sini selain dirinya, Selvhia, dan Drake. Lokasi ini sempurna, arena yang tersembunyi dari pandangan orang luar. Bahkan jika seseorang tidak sengaja melewati daerah ini, mereka tak akan melihat apa yang terjadi di dalamnya.
Drake, yang sejak tadi sudah dipenuhi semangat bertarung, menjejakkan kakinya ke tanah, mencengkeram pedangnya dengan erat. "Jangan berpikir untuk kabur, Asher!" katanya dengan seringai percaya diri. "Aku akan menghajarmu habis-habisan."
Jellal tidak menanggapi. Dia hanya berdiri diam, seolah-olah Drake hanyalah angin yang lewat.
Geram melihat sikap Jellal yang meremehkannya, Drake langsung bergerak. Dia menerjang dengan cepat, pedangnya yang berkilauan melaju dalam garis lurus menuju dada Jellal, serangan tajam yang seharusnya bisa membelah lawan dalam sekejap.
Namun—
KRAK!
Pedangnya patah.
Mata Drake membelalak. Separuh pedangnya kini jatuh ke tanah, patah seperti sepotong ranting kering. Yang lebih mengerikan. Jellal tidak bergerak sedikit pun.
"Apa...?" Drake menatap tangannya dengan tidak percaya.
"Begitu mudahnya hancur," gumam Jellal pelan. Suaranya terdengar kecewa.
Sebelum Drake bisa bereaksi lebih jauh, Jellal mengulurkan tangannya.
CRACK!
"A-AAARGH!!"
Darah menyembur ke udara. Drake berteriak histeris saat salah satu tangannya terlepas dari tubuhnya. Tulang dan otot yang terkoyak terlihat jelas saat darah mengalir deras ke tanah.
Namun Jellal belum selesai.
CRACK!
Tangan satunya pun menyusul.
Jeritan Drake semakin menggema di tengah reruntuhan yang sepi. Matanya membulat, wajahnya berubah pucat saat tubuhnya jatuh terduduk di tanah. Darah dari kedua lengannya yang buntung membasahi pakaian dan tanah di bawahnya, menggenang seperti genangan merah pekat.
"Tenang saja," kata Jellal, suaranya tetap datar. "Aku tidak akan membiarkanmu mati begitu cepat. Penderitaanmu baru saja dimulai."
Drake terengah-engah, tubuhnya gemetar hebat. "K-Kau... m-monster..."
Jellal menatapnya dengan ekspresi dingin. "Aku lebih dari itu."
Selvhia, yang berdiri di belakang Jellal, hanya menatap pemandangan itu dengan mata dingin. Tidak ada simpati, tidak ada belas kasihan, hanya kepuasan melihat seorang manusia sombong dihancurkan di hadapannya.
"Tuan Jellal," katanya dengan suara lembut. "Apa yang harus kulakukan dengan sampah ini?"
Jellal menatap Drake yang kini terengah-engah dengan wajah penuh penderitaan. Darah masih mengalir deras dari kedua tangannya yang terpotong, membentuk jejak merah di tanah.
"Lenyapkan dia," perintah Jellal tanpa ragu.
Selvhia tersenyum tipis. "Dengan senang hati."
Drake berusaha mundur, wajahnya dipenuhi teror. "T-Tidak... Tolong... Aku bersumpah aku tidak akan—"
Selvhia sudah bergerak. Dalam satu langkah ringan, dia sudah berada tepat di depan Drake.
Dengan tatapan penuh penghinaan, dia mengangkat pedangnya.
"Diamlah, anjing," bisiknya.
Lalu, dalam satu gerakan kejam, dia menyodorkan pedangnya tepat ke dalam mulut Drake.
STAB!
Darah menyembur deras. Pedang Selvhia menembus tenggorokan dan keluar dari bagian belakang leher Drake, menghancurkan tenggorokannya dengan cara yang begitu brutal. Suara geraman teredam terdengar saat Drake kejang-kejang, matanya terbelalak dengan ekspresi tak percaya.
Selvhia sedikit memiringkan pedangnya, memastikan bahwa bilahnya merobek lebih banyak daging dan tulang sebelum akhirnya menariknya keluar dengan kasar.
SRET!
Darah dan daging tersobek terciprat ke wajah Drake yang kini penuh ketakutan dan penderitaan. Tubuhnya jatuh ke tanah, kejang beberapa kali, sebelum akhirnya diam selamanya.
Hening.
Selvhia mengibaskan pedangnya, membuang darah yang masih menetes dari bilahnya, lalu menatap Jellal dengan penuh penghormatan. "Perintah telah dilaksanakan, Tuan Jellal."
Namun, Jellal masih menatap tubuh Drake dengan ekspresi berpikir. Lalu, dia tersenyum tipis.
"Tidak, Selvhia," katanya pelan. "Ini belum selesai."
Dia mengangkat satu tangannya, dan seketika, suasana di sekitar mereka berubah drastis.
Udara terasa lebih dingin. Angin berhenti berhembus. Suara dari dunia luar seperti menghilang, digantikan oleh aura gelap yang semakin menebal.
Energi hitam mulai merayap keluar dari tubuh Jellal, berkumpul di sekitar mayat Drake yang sudah tak bernyawa.
Selvhia, yang menyadari apa yang terjadi, tersenyum kecil.
Jellal mengangkat tangannya lebih tinggi, dan suara bisikan mengerikan mulai terdengar di udara, bisikan yang berasal dari dunia arwah, dari kegelapan yang tak tersentuh oleh makhluk fana.
"Tidak ada kematian bagi mereka yang masih berguna," gumam Jellal. "Bangkitlah."
Tiba-tiba—
Mata Drake terbuka kembali.
Namun kali ini, mata itu kosong, hanya ada sinar merah gelap yang berkedip samar di dalamnya. Kulitnya mulai berubah pucat, tubuhnya bergerak dengan gerakan kaku dan tak wajar. Luka-lukanya masih ada, kedua tangannya tetap terpotong, lehernya masih berlubang, namun dia kini hidup kembali.
Atau lebih tepatnya, dia tidak lagi hidup sebagai manusia.
Drake yang baru adalah seorang undead.
Jellal menatapnya dengan senyum dingin. "Selamat datang kembali, Drake Altenstein.. Ah, apalah itu," katanya pelan. "Mulai sekarang, kau harus melayani perintahku."
Drake, yang kini hanyalah boneka tanpa kehendak, hanya bisa berlutut di hadapan Jellal, mengakui tuannya yang baru.
Selvhia menyeringai puas. "Begitulah seharusnya seorang manusia berakhir," katanya sinis.
Jellal hanya mengangguk. "Kita punya satu anjing baru dalam pasukan kita. Mari kita lihat seberapa berguna dia nantinya."
Di bawah langit yang gelap, Jellal Astraus, Raja Kegelapan yang Sesungguhnya, telah menambahkan satu pion baru dalam permainannya.