Ada cowok yang pikirannya masih di zaman batu, yang menganggap seks cuma sekedar kompetisi. Semakin banyak cewek yang ditiduri, maka semakin jantan dia.
Terus ada juga yang menganggap ini cuma sebagai salah satu ajang seleksi. Kalau goyangannya enak, maka mereka bakal jadian.
Ada lagi yang melihat ini cuma buat kesenangan, tanpa perlu ada keterikatan. Ya, melakukannya cuma karena suka. Sudah, begitu saja.
Dan ada juga cowok yang menganggap seks itu sesuatu yang sakral. Sesuatu yang cuma bisa mereka lakukan sama orang yang benar-benar mereka sayangi.
Nah, kalau gue sendiri?
Jujur, gue juga nggak mengerti. Gue bahkan nggak tahu apa arti seks buat gue.
Terus, sekarang gue ada di sini sama Carolline?
Gue baru kenal dia, jadi gue nggak ada niatan buat tidur sama dia. Tapi kalau soal bikin dia puas?
Itu cerita lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Si Paling Bucin
Gue melihat wajahnya yang pelan-pelan seperti dapat pencerahan. Terus dia pasang ekspresi sok kaget. "Gila sih, itu gila banget. Asta yang kalem gini ternyata diam-diam yang paling bucin, ya?"
Dia bercanda sambil ketawa.
Gue ikut ketawa kecil. "Gue emang orang paling gampang ditebak."
Dia ketok lengan gue pelan. "Terus? Nunggu apa lagi? Kenapa nggak lo samperin?"
"Gue nggak jago sosialisasi."
Bessie cuman nyengir. "Iya, gue tahu, Asta."
Kita geser sedikit ke samping supaya nggak menghalangi orang yang lewat. Bessie bersandar ke dinding, menyilangkan tangannya di dada.
"Kayaknya kita perlu latihan buat ningkatin skill sosialisasi lo."
"Lihat, siapa yang ngomong? Emang lo jago bersosialisasi?"
Bessie langsung pasang ekspresi sok tersinggung. "Asal lo tahu aja, gue punya banyak teman."
"Iya, iya—"
"Asta!"
Tiba-tiba ada suara lain yang manggil gue.
Gue melihat rambut biru menyelip di antara kerumunan sebelum akhirnya dia sampai ke tempat kita berdiri.
Phyton.
Dia senyum lebar, pipinya masih ada semburat merah seperti biasanya. Dan saat itu juga, gue sadar… itu bukan karena panas di kafe tempat dia kerja atau gara-gara emosi. Itu emang bagian dari dia. Phyton punya pipi yang agak kemerahan.
"Asta! Dan Nona Bessie." Phyton membungkuk sedikit, sok sopan.
"Kalian berdua saling kenal?" Bessie ganti-gantian nunjuk kita berdua.
Phyton mengangguk. "Asta pelanggan tetap di Teras."
"Serius?" Bessie melihat gue kayak nggak percaya. "Kok gue nggak pernah lihat lo di sana?"
"Dia selalu dateng pagi, lo biasanya ke sana sore," jelas Phyton sambil naruh tangan di pinggang, terus menatap gue. "Gue seneng lo akhirnya dateng. Udah ngomong sama Selma?"
Bessie langsung mengeluarkan napas panjang. "Menurut lo, Phyton? lihat deh, tatapan anak anjing terlantar itu."
Phyton geleng-geleng kepala. "Lo butuh bantuan? Gue jago urusan gini-ginian."
"Gue baik-baik aja," jawab gue, meskipun agak malu.
Phyton langsung ngobrol sama Bessie, kasih ide-ide buat samperin Selma. Tapi gue malah fokus ke satu hal lain.
Tanpa sadar, Phyton garuk-garuk lengannya sendiri, terus betulkan lengan bajunya sampai ke atas bahu. Dan saat itu juga, gue lihat…
Lebam.
Bekas memar di kulitnya.
Jelas banget kayak bekas jari-jari tangan yang mencengkram terlalu keras.
Gue langsung mengerutkan alis. Phyton berhenti garuk-garuk, terus benerin lagi lengan bajunya.
Mata kita ketemu.
Gue pengen banget tanya, "Lo nggak apa-apa? Lo butuh bantuan?"
Tapi gue tahu… itu bukan pertanyaan yang bisa gue lempar begitu saja di tengah pesta kayak begini.
Di depan Bessie, gue rasa ini bukan hak gue buat tanya, tapi ya sudah lah, bakal gue lakuin pas ada kesempatan lain.
Pandangan gue beralih ke pojok, tempat gue tadi lihat Phyton pertama kali. Di sana ada cowok berambut hitam, lagi merokok sambil ngobrol serius sama cowok lain.
"Ada yang aneh sama nih orang..." pikir gue.
Gue balik melihat ke Phyton lagi. Dia ketawa bareng Bessie, mereka ngobrolin kejadian waktu Bessie nggak sengaja numpahin kopi dan mereka harus bersihin lantai bareng.
Gue lirik lagi cowok berambut hitam itu. Mereka kayak dua kutub yang beda banget. Phyton tuh ceria, penuh energi, sedangkan cowok ini... ada aura gelap yang mengikuti dia ke mana-mana.
"Asta, lo ngelakuin itu lagi," keluh Bessie.
"Hah?"
"Lo kebanyakan mikir, nggak ngomong apa-apa. sudah sepuluh menit lo diam aja."
"Oh... maaf."
"Jadi, lo ada rencana nggak?" Bessie nunjuk ke arah Selma pakai bibirnya. Gue mengikuti arah tatapannya, dan di sana ada cewek pirang yang dari tadi nggak berhenti senyum.
Pikiran gue langsung balik ke malam itu. Siluetnya di tengah gelap, payungnya, suaranya. Mungkin itu alasan kenapa jantung gue langsung deg-degan tiap lihat dia. Cara kita bertemu, susah buat dilupain. Tapi gue harus bisa santai, nggak mau bikin dia takut.
"Gue butuh udara," kata gue sambil muter balik ke lorong yang menuju pintu masuk.
Begitu keluar, udara malam langsung menyambut gue. Gue duduk di tangga depan, memperhatikan langit yang malam ini kosong, nggak ada bintang.
Gue dengar langkah kaki dari belakang, dan pas gue lihat ke belakang, ternyata Phyton. Dia duduk di sebelah gue, tapi nggak ngomong apa-apa. Gue balik melihat ke depan, diam saja.
Selama beberapa detik, kita cuma diam.
"Pertama kalinya gue kenal seseorang yang namanya Asta."
Gue menghela napas.
"Oh, ya?"
"Umm."
Gue sedikit nengok ke dia, masih duduk di sebelah gue, rambut birunya tetap berantakan ke segala arah.
"Kenapa?"
Phyton menyandarkan kepalanya ke belakang, matanya menempel ke langit.
"Harus banget gue jelasin?"
"Iya."
Dia angkat bahu terus memperhatikan gue.
Hening.
cobalah utk hidup normal phyton
𝚜𝚊𝚕𝚞𝚝 𝚜𝚊𝚖𝚊 𝚜𝚎𝚕𝚖𝚊,𝚠𝚊𝚕𝚊𝚞𝚙𝚞𝚗 𝚖𝚊𝚕𝚟𝚒𝚗 𝚔𝚊𝚔𝚊𝚔𝚗𝚢𝚊 𝚝𝚊𝚙𝚒 𝚍𝚒𝚊 𝚝𝚍𝚔 𝚋𝚎𝚕𝚊𝚒𝚗 𝚔𝚊𝚔𝚊𝚔𝚗𝚢𝚊,𝚜𝚎𝚕𝚖𝚊 𝚖𝚊𝚕𝚊𝚑 𝚗𝚐𝚎𝚍𝚞𝚔𝚞𝚗𝚐 𝚙𝚑𝚢𝚝𝚘𝚗
𝚜𝚎𝚖𝚊𝚗𝚐𝚊𝚝 𝚍𝚘𝚗𝚐 🥰🥰
𝚜𝚖𝚘𝚐𝚊 𝚌𝚘𝚌𝚘𝚔 𝚢𝚊 𝚜𝚊𝚖𝚊 𝚜𝚎𝚕𝚖𝚊 🥰🥰
𝚜𝚎𝚖𝚘𝚐𝚊 𝚍𝚐𝚗 𝚊𝚍𝚊𝚗𝚢𝚊 𝚜𝚎𝚕𝚖𝚊 𝚔𝚊𝚖𝚞 𝚋𝚒𝚜𝚊 𝚗𝚎𝚖𝚞𝚒𝚗 𝚓𝚊𝚝𝚒 𝚍𝚒𝚛𝚒 𝚔𝚊𝚖𝚞 𝚍𝚊𝚗 𝚕𝚞𝚙𝚊𝚒𝚗 𝚟𝚎𝚢..𝚐𝚊𝚔 𝚜𝚎𝚝𝚞𝚓𝚞 𝚔𝚕𝚘 𝚊𝚜𝚝𝚊 𝚜𝚊𝚖𝚊 𝚟𝚎𝚢