Di balik nama Alysa Kirana Putri, tersembunyi tiga kepribadian yang mencerminkan luka dan pencariannya akan kebebasan. Siapakah "Putri," anak ceria yang selalu tersenyum, namun menyembunyikan ribuan cerita tak terucapkan? Apa yang disembunyikan "Kirana," sosok pemberontak yang melawan bukan untuk menang, tetapi untuk bertahan dari tekanan? Dan bagaimana "Alysa," jiwa yang diam, berjalan dalam bayang-bayang dan bisu menghadapi dunia yang tak pernah memberinya ruang?
Ketika tuntutan orang tua, perundungan, dan trauma menguasai hidupnya, Alysa menghadapi teka-teki terbesar: apakah ia mampu keluar dari kepompong harapan dan luka menjadi kupu-kupu yang bebas? Atau akankah ia tetap terjebak dalam tekanan yang terus menjeratnya? Semua jawabannya tersembunyi dalam jejak langkah hidupnya, di antara tiga kepribadian yang saling bertaut namun tak pernah menyatu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Garni Bee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menuju titik nol
...Angin pagi berhembus pelan, membawa serta sisa-sisa luka yang belum sempat kusembuhkan, membisikkan kenyataan bahwa aku kini berdiri di titik nol....
...🦋...
Setelah pamitan dengan semua orang di Jakarta, aku, mamah, dan papah akhirnya naik bus malam menuju Yogyakarta. Aku duduk di dekat jendela, sementara mamah dan papah masih berdiri di gang bus, tampak berdiskusi tentang tempat duduk.
"Mas, aku mau duduk sama mas aja, takut mabuk perjalanan," kata mamah sambil menggandeng tangan papah.
Papah melirik ke arahku, ragu. Aku tahu dia bingung memilih, tapi sebelum dia sempat berkata apa-apa, aku sudah mendahuluinya.
"Gak apa-apa, aku sendiri aja," ucapku cepat, memaksakan senyum.
Papah menatapku sejenak, seakan memastikan aku benar-benar tidak keberatan. Aku hanya mengangguk meyakinkannya.
"Yaudah, kalau gitu nanti kalau capek kasih tahu, ya," kata papah sebelum akhirnya duduk di sebelah mamah.
Aku menarik napas panjang dan menyandarkan kepala ke jendela. Cahaya lampu jalan mulai redup saat bus meninggalkan kota. Aku mencoba menikmati perjalanan, meskipun dengan air mata yang terus menetes.
...
Di tengah perjalanan, saat malam semakin larut, papah tiba-tiba memanggilku.
"Putri, sana duduk sama mamah," katanya sambil menepuk bangku di sebelahnya.
Aku yang masih mengantuk hanya mengangguk dan berpindah tempat, mamah ku saat itu sedang tidur lelap. Sementara papah kini duduk di kursiku sebelumnya, tepat di depan kami.
Bus semakin sunyi. Sebagian besar penumpang sudah terlelap, termasuk aku. Angin malam berhembus lembut dari celah jendela. Mataku mulai berat. Aku pun tertidur.
Entah berapa lama aku tertidur, tapi tiba-tiba aku merasakan guncangan hebat.
BRAAAKK!!
Aku tersentak bangun. Kepalaku masih berat, mataku setengah terbuka. Aku bisa mendengar suara panik dari beberapa penumpang.
Aku menoleh ke mamah dan papah yang juga tampak kebingungan.
"Ini kenapa?" tanyaku dengan suara serak.
Mamah menatapku dengan wajah cemas. "Rem busnya blong, Putri."
Jantungku langsung berdegup kencang. Aku mencoba melihat ke depan. Sopir terlihat panik, berusaha mengendalikan bus yang mulai melaju tak terkendali di jalanan gelap.
Para penumpang mulai berteriak. Ada yang berdoa, ada yang memeluk keluarga mereka erat-erat.
Aku bisa merasakan genggaman tangan mamah yang semakin kuat di lenganku.
"Ya Allah, tolong selamatkan kami," gumamnya dengan suara gemetar.
Bus semakin tidak terkendali. Aku bisa merasakan roda-rodanya melintasi jalanan dengan kecepatan yang tidak wajar.
Kemudian, dalam hitungan detik-
DUAAARRR!!
Bus menabrak sesuatu dengan keras. Tubuhku terhempas ke depan, untungnya sabuk pengaman masih terpasang. Aku mendengar suara kaca pecah, suara logam yang beradu keras.
Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, semuanya berhenti.
Aku membuka mataku perlahan. Bus ini telah menabrak sebuah warung kecil di pinggir jalan yang sepi, di tengah hutan dan terperosok ke sawah yang gelap.
Aku mendengar suara rintihan dan keluhan dari para penumpang. Aku sendiri merasa pusing, tapi tubuhku hanya luka-luka ringan dan memar saja. Aku menoleh ke mamah dan papah.
"Mamah, Papah, kalian gak apa-apa?" tanyaku panik.
Papah mengusap lengannya yang sedikit terluka, sementara mamah mengangguk pelan. "Iya, kita gak apa-apa. Kamu gimana, Putri?"
Aku menggeleng, masih merasa sedikit linglung.
Sopir bus segera meminta semua penumpang untuk keluar. Satu per satu, kami berusaha turun dengan hati-hati. Beberapa orang tampak mengalami luka ringan, tapi tidak ada yang parah.
Di luar bus, udara dingin malam menyambut kami. Beberapa orang tampak membantu satu sama lain, sementara yang lain mencoba menghubungi pihak berwenang.
Di dekat tempat kecelakaan, ada sebuah bangunan kecil dengan beberapa pekerja yang masih lembur. Mereka berbaik hati membiarkan kami mengungsi sementara waktu.
Aku duduk di salah satu sudut, masih mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi.
Beberapa jam kemudian, mekanik dari bus lain datang untuk membantu memperbaiki rem. Setelah diperiksa dan diperbaiki sebisa mungkin, bus akhirnya bisa digunakan kembali.
Dengan hati-hati, kami melanjutkan perjalanan. Tidak ada yang benar-benar bisa tidur setelah kejadian tadi. Semua orang masih waspada, masih trauma.
Aku menatap keluar jendela, melihat gelapnya malam yang seolah menelan jalanan di depan.
Aku baru saja kehilangan rumah dan kehidupan lamaku. Dan sekarang, aku hampir kehilangan segalanya.
Perjalanan ini benar-benar awal dari kehidupan baru yang berat.
...
Setelah perjalanan panjang yang penuh ketegangan, akhirnya bus kami memasuki daerah pedesaan di Yogyakarta. Langit masih berwarna jingga samar, pertanda matahari baru saja terbit. Jalanan mulai dipenuhi kabut tipis yang melayang di antara pepohonan dan sawah hijau yang terbentang luas di kiri dan kanan jalan.
Aku menghela napas panjang.
"Akhirnya sampai juga..." batinku.
Bus berhenti di sebuah terminal kecil di desa. Papah dan mamah segera turun, sementara aku masih duduk diam sejenak, mencoba mencerna kenyataan bahwa mulai hari ini, inilah rumahku.
Dari kejauhan, aku melihat sepasang orang tua yang berdiri dengan senyum hangat. Mereka adalah kakek dan nenekku. Mereka tampak sederhana, dengan pakaian khas pedesaan. Nenek mengenakan kebaya dan kain jarik, sementara kakek memakai baju batik dengan peci hitam.
Begitu melihat kami, nenek langsung menghampiri dan memeluk ku erat.
"Alhamdulillah, cucuku sampai dengan selamat. Nenek khawatir sekali," ucap nenek dengan suara bergetar.
"Iya, buk... Perjalanannya agak berat, tapi alhamdulillah kita baik-baik aja," jawab mamah sambil tersenyum tipis.
Kakek menepuk bahu papah dengan penuh pengertian.
Aku berdiri di belakang mamah dan papah, merasa sedikit canggung. Kakek lalu menoleh padaku dan tersenyum lebar.
"Putriii... Cucuku sudah besar sekarang, ya!" katanya sambil merentangkan tangannya.
Saat kakek merentangkan tangannya, menunggu aku masuk ke dalam pelukannya, aku justru mundur selangkah. Dadaku terasa sesak, semua yang terjadi dalam beberapa hari terakhir masih terlalu berat untuk aku terima.
Aku menggigit bibir, berusaha menahan air mata yang tiba-tiba menggenang di pelupuk. Tanpa sadar, kata-kata itu meluncur dari bibirku dengan nada bergetar, penuh emosi.
"Putri gak mau!" seruku tiba-tiba, membuat semua orang terdiam.
Kakek dan nenek saling pandang, terlihat kaget dengan reaksiku. Mamah yang berdiri di sampingku langsung menarik tanganku dengan lembut.
"Putri! Kamu gak boleh gitu!" tegur mamah, suaranya bergetar menahan kesabaran.
Aku menunduk, genggaman tangan mamah terasa hangat, tapi hatiku tetap terasa dingin. Rasanya masih sulit menerima kenyataan kalau aku harus meninggalkan segalanya di Jakarta—teman-temanku, rumahku, kehidupanku.
Papah hanya bisa menghela napas panjang, sementara nenek mendekat lagi, kali ini suaranya lebih pelan dan lembut.
"Nduk... Nenek ngerti, ini susah buat Putri. Tapi ntar juga lama-lama Putri terbiasa," ucap nenek lirih.
Aku tidak menjawab, hanya bisa mengalihkan pandangan ke arah lain.
"Ayo, kita pulang dulu. Kalian pasti capek dan lapar," ajak nenek akhirnya, berusaha mencairkan suasana.
Dengan langkah berat, aku mengikuti mereka menuju mobil bak terbuka. Aku memilih duduk di belakang, menjauh dari mamah dan papah. Selama perjalanan, aku hanya menatap kosong ke arah sawah-sawah yang membentang luas.
Sawah hijau terhampar luas, beberapa petani sudah mulai beraktivitas, dan anak-anak kecil berlari-lari di pematang sawah. Semua terasa begitu berbeda dengan Jakarta. Tidak ada gedung tinggi, tidak ada jalanan macet, tidak ada hiruk-pikuk kota.
"Ini beneran? Mulai sekarang, disini rumahku?" gumamku dalam hati.
"Aku gak mau di sini..." batinku lirih.
Aku tidak tahu bagaimana hidupku ke depannya di sini, tapi yang jelas, aku harus terima dan siap apapun yang akan terjadi kedepannya.