Pernikahannya dengan Serka Dilmar Prasetya baru saja seminggu yang lalu digelar. Namun, sikap suaminya justru terasa dingin.
Vanya menduga, semua hanya karena Satgas. Kali ini suaminya harus menjalankan Satgas ke wilayah perbatasan Papua dan Timor Leste, setelah beberapa bulan yang lalu ia baru saja kembali dari Kongo.
"Van, apakah kamu tidak tahu kalau suami kamu rela menerima Satgas kembali hanya demi seorang mantan kekasih?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasna_Ramarta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25 Cengkraman Tangan Dilmar
Malam pun tiba, Vanya berhasil membawa Dilmar ke dalam kamar dan tidur di kamar yang sama. Kalau mau egois dan ingat akan perlakuan Dilmar, inginnya Vanya tidur di ruang tengah saja di atas sofa. Kalau ada apa-apa, Vanya tinggal menghampiri Dilmar di dalam kamar seumpama Dilmar memanggil namanya. Namun, Vanya masih punya hati, mengingat setelah kejadian dibogem sang papa mertua Dilmar belum mau bicara padanya sepatah katapun, Vanya akhirnya tidur di kamar yang sama dan ranjang yang sama. Lagipula mereka masih suami istri, pikir Vanya.
Mereka masuk kamar, setelah tadi Dilmar berhasil makan sedikit lalu minum obat yang diberikan Raka. Kini, Dilmar sudah terbaring dan memejamkan mata.
Vanya segera ambil posisi di samping Dilmar, ia tidak berani mendekat dengan suami yang dulu begitu amat dicintainya. Vanya membaringkan tubuhnya dengan tubuh membelakangi Dilmar. Seandainya Dilmar tidak mengkhianatinya, mungkin saja saat ini ia tidur menghadap ke arah Dilmar dan menatapnya penuh was-was dan cinta.
Setengah jam Vanya belum bisa memejamkan mata, rasa kantuk itu hilang. Sedangkan Dilmar sudah menghembuskan nafasnya teratur pertanda ia sudah benar-benar di alam mimpi. Vanya bersyukur, itu artinya obat yang diberikan Perawat Raka tadi sudah bereaksi dengan bagus.
"Semoga saja Bang Dilmar cepat turun demamnya," harap Vanya sembari mulai memejamkan matanya yang kini mulai mengantuk.
"Vanya, Vanya."
Tepat jam satu dini hari, Dilmar tiba-tiba terbangun dan memanggil-manggil nama Vanya. Namun Vanya yang dipanggilnya, tidak terganggu, sebab baru sekitar setengah jam yang lalu dia baru bisa memejamkan matanya.
"Vanya, maafkan Abang Vanya. Abang tidak akan ulangi kesalahan itu lagi. Abang mohon percayalah. Vanya."
Vanya kini sedang terbuai di alam mimpi. Ia menghadapi Dilmar yang bersimpuh di bawah kakinya sembari meminta maaf padanya.
"Jangan jauhi Abang, Abang takut tanpamu."
Vanya diam saja tanpa menggubris, sedangkan Dilmar berusaha meraih tangan Vanya yang menghindar.
"Maafkan abang, abang khilaf, abang tidak akan pernah ulangi lagi. Uhuk uhuk uhuk," mohonnya sampai terbatuk. Vanya tidak menghiraukan Dilmar yang kini sedang batuk, nafasnya kini tercekat dan sakit. Tangan kanan Dilmar meraba lehernya yang sakit.
"Maafkan abang, jika abang harus pergi," ucapnya sekali lagi terbata, tiba-tiba tubuh Dilmar terjatuh karena tidak bisa menahan tumpuannya. Dilmar seakan hilang tenaga ketika Vanya tidak lagi menghiraukannya.
"Gubrak, gedebruk, prayyyyy."
Suara tubuh Dilmar dan gelas yang jatuh mengenai lantai seketika terdengar dan masuk ke alam mimpi Vanya. Vanya tiba-tiba terbangun karena menyaksikan Dilmar tubuhnya jatuh ke tanah.
"Bang Dilmar," sentaknya seraya bangkit perlahan seraya membuka matanya perlahan, karena jujur saja saat ini Vanya masih dalam keadaan ngantuk.
Vanya menoleh ke samping pembaringannya, akan tetapi Dilmar tidak ada di sana. Vanya keheranan dan terkejut. "Bang Dilmar, Abangggg. Abang di mana?" teriaknya seraya bangkit dan menuruni ranjang.
Vanya melangkah mengitari ranjang dan mencari Dilmar yang menghilang dari atas ranjang. Vanya melangkah menuju kamar mandi, akan tetapi urung, karna melihat tubuh Dilmar tergeletak di lantai dengan pecahan gelas berserakan.
"Ya Allah, Abang."
Sontak Vanya menghampiri dengan hati-hati ke arah Dilmar yang terbaring dengan tubuh tersungkur dan tengkurap. "Pecahan gelas itu, apakah tidak mengenai wajah Bang Dilmar?" pikir Vanya was-was. Segera ia beraksi. Namun sebelum mengangkat tubuh Dilmar, Vanya bergegas meraih sendal kamar yang berada di rak sepatu di kamar itu, karena ia takut pecahan gelas itu mengenai kakinya.
Vanya berusaha mengangkat tubuh Dilmar kembali ke atas ranjang. Tubuh Dilmar lumayan berat, sehingga Vanya cukup terengah mengangkat tubuh suaminya itu. Belum lagi tubuh Dilmar hawanya masih panas, tarikan nafasnya juga kerap dan mengeluarkan hawa panas dari dalam mulutnya. Sepertinya demam Dilmar justru semakin bertambah suhunya.
Vanya berusaha membaringkan kembali tubuh Dilmar dengan benar, ditelentangkan kembali seperti sebelumnya. Vanya cukup terkejut saat melihat lengan kanan Dilmar berlumuran darah, sepertinya tadi tangannya kena pecahan gelas.
"Duh, ya ampun, kok jadi begini? Gara-gara aku ketiduran, Bang Dilmar jadi terjatuh dari ranjang.
"Vanya, abang ha~us," ucap Dilmar terbata. Vanya tersentak, sebab baru saat ini Dilmar berbicara padanya dan menyebut namanya.
"Abang haus? Sebentar Vanya ambilkan lagi gelasnya di dapur. Tapi, Abang sabar, ya. Vanya bersihkan dulu pecahan gelas ini, setelah itu baru Vanya ambilkan minum," bujuk Vanya sembari bangkit dari ranjang. Dilmar tidak menyahut, dia hanya menatap Vanya sampai tubuh istrinya itu menghilang di balik pintu.
Beberapa saat kemudian Vanya kembali dengan membawa gelas di tangannya serta sapu dan penadah sampah.
"Abang minum dulu." Vanya lebih dulu melayani Dilmar sebelum akhirnya membersihkan lantai yang basah dan terdapat pecahan gelas.
Dilmar meneguk air dalam gelas itu sampai tandas, lalu tubuhnya dibaringkan kembali dengan benar. Kini tugas Vanya membersihkan lantai dari basah dan pecahan kaca.
"Sepertinya tadi Bang Dilmar haus ingin minum, sampai gelas itu pecah. Dan mimpi tadi kemungkinan Bang Dilmar memang meminta aku untuk minum," duga Vanya dalam hati.
Sambil berpikir, terus membersihkan pecahan gelas. Setelah pecahan gelas itu bersih, kini giliran Vanya membersihkan luka di lengan Dilmar dan mengompres kening Dilmar dengan air es.
"Vanya," panggil Dilmar dengan tubuh yang menggigil. Vanya melihat Dilmar sepertinya saat ini tubuhnya merasakan panas dingin.
Vanya keluar kamar, ia bermaksud mengambil air untuk mengompres Dilmar. Vanya kembali lagi ke kamar, meskipun lelah tapi Vanya melakukan semua dengan ikhlas, meskipun awalnya ia merasa terpaksa. Jujur saja melihat lelakinya terbaring lemah seperti ini dan memanggilnya manja bak anak kecil, siapa yang tidak terenyuh?
"Baiklah, aku akan merawat Bang Dilmar dengan tulus dan ikhlas. Semoga saja ketulusan dan keikhlasan aku kelak berbuah manis," batinnya berharap.
Vanya membersihkan dahulu luka di tangan Dilmar, lalu luka kena pecahan kaca itu ia balut dengan plester. Setelah itu, ia meletakkan kain kompres di dahi Dilmar agar demamnya reda.
Melihat tubuh Dilmar menggigil, Vanya menyelimutinya dengan selimut.
"Vanya," panggilnya lagi saat tangan Vanya menyentuh dahi Dilmar. Vanya menatap mata Dilmar yang sayu dan merah, ada rasa sakit di sana yang kini dirasakan Dilmar.
"Abang kembali beristirahat, agar demamnya besok turun," bujuk Vanya.
"Vanya, ja ngan per gi!" Dilmar terbata sembari menahan tangan Vanya.
"Vanya di sini, Abang jangan takut," ucap Vanya memberikan Dilmar keyakinan.
Karena tangan Vanya tidak dilepaskan, Vanya akhirnya membaringkan tubuhnya di samping Dilmar. Kini tubuhnya menghadap Dilmar, lelakinya kini mulai terpejam seakan sedang dinina bobokan oleh Vanya. Vanya lega saat deru nafas Dilmar kembali teratur, menandakan ia kembali tertidur. Perlahan Vanya menarik tangannya dari pegangan Dilmar. Namun, Dilmar seakan tahu, lalu dia mencengkeramnya lebih kuat seakan takut dilepaskan Vanya.
nyesel atau marah sama Vanya....
lha gmn tidak ..ms Vanya masih kepikiran takut kalau gigi Dilmar ompong ...😁
𝗅𝖺𝗇𝗃𝗎𝗍 𝗒𝖺 𝗄𝖺
ternyata gak kapok ya...🤬🤬🤬