NovelToon NovelToon
Jejak Metamorfosa

Jejak Metamorfosa

Status: sedang berlangsung
Genre:Menyembunyikan Identitas / Trauma masa lalu / Bullying dan Balas Dendam
Popularitas:133
Nilai: 5
Nama Author: Garni Bee

Di balik nama Alysa Kirana Putri, tersembunyi tiga kepribadian yang mencerminkan luka dan pencariannya akan kebebasan. Siapakah "Putri," anak ceria yang selalu tersenyum, namun menyembunyikan ribuan cerita tak terucapkan? Apa yang disembunyikan "Kirana," sosok pemberontak yang melawan bukan untuk menang, tetapi untuk bertahan dari tekanan? Dan bagaimana "Alysa," jiwa yang diam, berjalan dalam bayang-bayang dan bisu menghadapi dunia yang tak pernah memberinya ruang?

Ketika tuntutan orang tua, perundungan, dan trauma menguasai hidupnya, Alysa menghadapi teka-teki terbesar: apakah ia mampu keluar dari kepompong harapan dan luka menjadi kupu-kupu yang bebas? Atau akankah ia tetap terjebak dalam tekanan yang terus menjeratnya? Semua jawabannya tersembunyi dalam jejak langkah hidupnya, di antara tiga kepribadian yang saling bertaut namun tak pernah menyatu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Garni Bee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Langit senja dan rintik hujan

...Kadang, momen sederhana menyimpan makna yang lebih dalam dari apa yang terlihat....

...🦋...

Hari itu, ketika bel pulang sekolah berbunyi, langit yang tadinya cerah mulai gelap. Rintik hujan perlahan turun, menciptakan aroma tanah yang khas. Aku, Dinda, Marvin, dan beberapa teman lainnya memutuskan untuk tetap pulang dengan sepeda. Namun, alih-alih terburu-buru menghindari hujan, kami justru menikmati suasana itu. 

“Hei, main hujan-hujanan aja, yuk!” seru Dinda sambil mengayuh sepedanya lebih kencang. 

Aku tertawa kecil dan mengangguk. “Ayo!” 

Dengan semangat, kami mengayuh sepeda di bawah hujan yang mulai deras. Air hujan membasahi seragam dan rambut kami, tapi tidak ada yang peduli. Kami tertawa, berteriak, dan bahkan sesekali melewati genangan air, mencipratkan percikan ke arah satu sama lain. 

“Lomba siapa yang paling cepat sampai di ujung jalan!” tantang Marvin sambil mengayuh sepedanya lebih cepat. 

“Eh, jangan curang, Marvin!” teriakku sambil mengejarnya, diikuti oleh Dinda dan yang lainnya. 

Suara tawa kami bercampur dengan gemuruh hujan, menciptakan kenangan yang tak terlupakan. 

...

Sesampainya di sebuah taman kecil, kami berhenti untuk beristirahat di bawah pohon besar yang rindang. Tubuh kami basah kuyup, tetapi wajah kami penuh senyuman. Kini hanya tersisa aku, Dinda, dan Marvin saja, karena teman-teman lain sudah pulang lebih dulu. 

“Aku nggak pernah main hujan-hujanan kayak gini sebelumnya,” kata Marvin sambil tersenyum lebar. 

“Aku juga,” sahutku. “Rasanya kayak... bebas banget!” 

Hujan yang mulai mereda menyisakan rintik kecil, seolah memberi kami waktu untuk menikmati momen itu. Aku menatap teman-temanku satu per satu, merasa bersyukur telah menemukan kebahagiaan sederhana seperti ini. 

“Tahu nggak?” kata Dinda tiba-tiba, suaranya sedikit pelan. “Aku rasa, momen kayak gini lebih berharga daripada apa pun.” 

Aku dan Marvin mengangguk setuju. “Iya, Din. Kadang yang sederhana justru yang paling berkesan,” jawabku. 

Namun, senyuman di wajah Dinda perlahan memudar. Dia menunduk, menarik napas panjang, lalu berkata, “Aku mau kasih tahu sesuatu. Minggu depan aku pindah.” 

Aku membeku sejenak, mencoba mencerna kata-katanya. “Hah? Serius? Kok nggak bilang dari dulu?” tanyaku, suaraku bergetar. 

Dinda tersenyum lemah. “Aku juga baru tahu. Papah pindah tugas kerja, dan kami harus ikut. Maaf banget, ya. Aku nggak mau ninggalin kalian, tapi aku nggak punya pilihan.”  Yudhain menghela napas berat, lalu berkata, “Yah, terus kita gimana dong? Nggak seru kalau kamu nggak ada.” 

Dinda menahan air matanya sambil menatapku. “Kirana, aku titip *Tim Kupu-Kupu*, ya. Jangan sampai bubar. Kamu yang gantiin aku jadi Sayap Biru. Kamu pasti bisa.” 

Aku tertegun, mataku mulai berkaca-kaca. “Din, aku nggak yakin bisa gantiin kamu. Kamu kan yang paling bisa nyatuin kita semua.” 

Dinda meraih tanganku erat. “Kamu bisa, Kirana. Aku percaya. Kupu-Kupu harus terus ada, buat kita semua. Jangan lupa semua mimpi yang udah kita rencanain.” 

Aku mengangguk pelan, suaraku hampir tidak terdengar. “Aku janji, Din. Aku bakal jaga semuanya. Tapi aku pasti kangen banget sama kamu.” 

Dinda memelukku erat, dan aku merasakan air matanya di pundakku. “Aku juga bakal kangen kalian. Tapi ingat, persahabatan kita nggak akan putus, meskipun aku jauh.” 

Marvin menepuk bahu Dinda. “Kalau kamu balik ke sini, langsung kabarin, ya. Kita pasti tungguin kamu.” 

Dinda tersenyum tipis. “Iya, Vin. Pasti.” 

Langit mulai lebih cerah, hujan tinggal menyisakan rintik kecil. Dinda berdiri, menepuk kedua pundak kami. “Ayo pulang. Udah sore.” 

Kami bertiga berjalan pelan, sepeda kami basah terkena hujan. Suasana terasa berbeda, seakan alam tahu bahwa itu adalah momen terakhir mereka bersama seperti ini. 

...

Keesokan harinya, setelah Dinda pindah, kelas terasa berbeda. Kursi Dinda kosong, membuatku termenung sepanjang hari. Aku menatap ke luar jendela, melihat taman kecil tempat kami biasanya bermain. Hatinya terasa berat, seperti ada bagian dari diriku yang hilang. 

Saat jam istirahat, aku duduk sendirian di taman, memandang teman-temanku yang sedang asyik bermain. Salsa dan Intan melihatku dan menghampiri. 

“Kirana, kenapa nggak ikut main?” tanya Salsa dengan wajah ceria, sementara Intan tersenyum lembut. 

Aku hanya menggelengkan kepala, mataku menatap kosong ke tanah. “Apa kalian nggak sedih Dinda pergi?” tanyaku pelan, suaraku hampir tenggelam di tengah suara tawa teman-teman lainnya. 

Salsa dan Intan saling pandang sejenak. Salsa akhirnya berkata, “Kirana, Dinda masih teman kita, kok. Dia cuma pindah. Nggak ada yang perlu disedihin. Kita masih bisa ketemu lagi.” 

Aku tersenyum kecil, tapi hatiku tetap merasa kosong. Rasanya seperti kehilangan sebagian dari kebahagiaan yang selama ini aku rasakan. 

...

Saat bel pulang berbunyi, Marvin menghampiriku. “Kamu merasa kesepian, ya?” tanyanya dengan lembut. 

Aku mengangguk, mataku mulai terasa panas. “Aku kangen Dinda... Rasanya nggak lengkap tanpa dia.” 

Marvin tersenyum dan menepuk bahuku. “Aku ngerti kok, Kirana. Tapi ingat, kita masih punya satu sama lain. Kamu nggak sendirian. Kalau kamu butuh teman, aku selalu ada.” 

Aku menatap Marvin, mencoba tersenyum walau mataku masih sembab. “Iya, vin. Aku bakal jaga semuanya.” 

Marvin mengangguk. “Dinda pasti percaya sama kamu, Kirana. Dan aku juga percaya. Kita nggak boleh bikin dia kecewa.” 

"Kamu di jemput?" Tanya Marvin.

"Hari ini enggak, aku jalan kaki." Jawabku.

"Yaudah aku anter, ayah sama ibu ku juga nanti mau kerumah kamu katanya." Kata Marvin.

"Oh yaudah ayo." Ajak ku.

...

Hari itu menjadi awal dari perubahan besar dalam hidupku. Meski tanpa Dinda, aku tahu aku harus menjaga janji kami. Dan di tengah rasa kehilangan, aku mulai belajar bahwa persahabatan sejati tidak pernah benar-benar hilang, bahkan ketika jarak memisahkan.

1
Black Jack
wah, jalan ceritanya bikin gue deg-degan 😱
Mulyani: wahh makasih dukungan nya, jangan ragu buat kasih masukan atau sarannya ya..
total 1 replies
Kakashi Hatake
Aku selalu menantikan update dari cerita ini. Jangan sampai berhenti menulis, thor!
Mulyani: Waaaah makasih dukungan nya! Ikutin terus update nya ya..Jangan lupa juga masukan nya
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!