Tiga gadis desa yang memiliki pemikiran sama, tidak mau menikah muda layaknya gadis desa pada umumnya. Mereka sepakat membuat rencana hidup untuk mengubah citra gadis desa yang hanya bisa masak, macak dan manak di usia muda, menjadi perempuan pintar, santun, dan mandiri.
Nayratih, dan Pratiwi terlahir dari keluarga berada, yang tak ingin anak mereka menikah muda. Kedua orang tua mereka sudah berencana menyekolahkan ke luar kota. Terlebih Nayratih dan Pratiwi dianugerahi otak encer, sehingga peluang untuk mewujudkan citra perempuan desa yang baru terbuka lebar.
Tapi tidak dengan, Mina, gadis manis ini tidak mendapat dukungan keluarga untuk sekolah lebih tinggi, cukup SMA saja, dan orang tuanya sudah menyiapkan calon suami untuk Mina.
Bagaimana perjuangan ketiga gadis itu mewujudkan rencana hidup yang mereka impikan? ikuti kisah mereka dalam novel ini.
Siapkan tisu maupun camilan.
Selamat membaca
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KABAR DUKA
"Kayaknya gampang ya, Jun?" tanya Tiwi selepas baca sekilas tutorial pekerjaan Arjuna. Ternyata Arjuna sudah menjadi pebisnis muda. Katanya sejak kelas XI SMA, ia sudah menggeluti bidang ini. Coding.
Kedua kakaknya kuliah di informatika, hidupnya fokus ke laptop saja. Alhasil, Arjuna pun ikut terseret dengan kepribadian kedua kakaknya. Kalau ia mengajak main, kedua kakaknya selalu bilang ntar deh, masih sibuk ngerjain proyek. Dan itu berulang, hingga Arjuna remaja kesal, mengadu kepada papa dan mama, alhasil kedua kakaknya diminta untuk mengajari Arjuna biar tidak mengganggu mereka.
"Terus kok kamu masuk dunia pendidikan, Jun?" tanya Tiwi penasaran, bahkan selama mata kuliah sesi 2 berlangsung selepas sholat dhuhur, Tiwi malah konsen pada produk yang ditawarkan Arjuna.
"Arahan orang tua!"
"Hem, kok beda sama dengan kakak kamu?" lanjut Tiwi mengintrogasi, kebetulan mereka sedang menunggu hujan di parkiran. Sebenarnya Arjuna bisa saja pulang langsung, toh hari ini dia bawa mobil. Tapi kasihan Tiwi, alhasil lebih baik menemani teman tapi mesranya.
"Menjadi beda kan gak pa-pa, Wi. Kalau sama profesi dalam keluarga, membosankan sekali. Lagian aku gak sepintar kakak-kakakku!"
Tiwi melongo, "Low profil sekali kamu, Arjuna!" ucapnya dengan nada menyindir, Arjuna pun tersenyum.
"Udah mau maghrib nih, Wi. Kemaleman nanti, aku antar kenapa sih!"
"Kamu pulang aja dulu, deh. Aku ogah digosipin nebeng sama kamu!" Arjuna hanya memutar bola mata malas mendengar alasan konyol Tiwi.
"Kos kamu gak jauh ya elah, kalau mau macam-macam sama kamu juga gak bakal bisa, baru naik mobil udah sampai juga!"
"Dih, dih, mikir apa kamu!"
"Udah buruan, kalau gak mau naik ya udah. Senja banyak setan yang keluar!" Tiwi mendelik, di lihatnya sekeliling, banyak mahasiswa yang mulai menerobos hujan, karena tak bawa mantel. Parkiran pun sudah mulai sepi, angin berhembus pelan tapi menusuk tubuh, sangat dingin.
"Enggak deh, kamu duluan aja!"
Arjuna menghela nafas pendek, keras kepala sekali nih cewek, dan Arjuna yang gak mau ribet, ia pun masuk mobil, tak peduli dengan Tiwi. Ia pikir kos Tiwi dekat juga, kalau pun kepepet juga bakal menerobos.
Tin
Arjuna mengklakson Tiwi, memberi penawaran terakhir, namun Tiwi malah melambaikan tangan. Arjuna pun menjalankan mobilnya.
Tiwi hanya diam, dalam batinnya beneran ditinggal. Seperti kebanyakan perempuan, harus dipaksa kesekian kalinya, baru deh gengsinya bisa turun. Tapi Tiwi salah target, ia bersikap tarik ulur pada Arjuna? Ya jelas percuma, akibatnya Tiwi semakin sendiri, dan hujan malah makin deras. Adzan maghrib sudah berkumandang, pak Satpam jurusan pun pamit untuk sholat dulu, Tiwi memberanikan diri menerobos hujan, pulang.
"Apa Nay?" baru selesai mandi dan sholat, Nay mendapat panggilan video dari Nayratih. Ia mengabarkan kalau ayah Mina meninggal sore tadi. "Innalillahi!" ucap Tiwi menghentikan gosokan rambut basahnya.
"Terus Mina?" tanya Tiwi kemudian. Nayratih jelas menggeleng, ia sudah putus kontak dengan Mina jelas tak tahu keadaan Mina sekarang.
"Coba lihat chat kamu, mungkin saja dia kirim ke kamu!" Tiwi pun mencari kontak Mina dan tak ada pesan apapun. "Gak ada!"
"Dia pasti sedih banget," ucap Nay prihatin.
"Pastinya, dia berkorban demi kesembuhan sang ayah, sampai menjual diri, tapi ternyata takdir berjalan seperti ini."
"Bahasa kamu, Wi. Menjual diri, kejam euy!"
"Eh iya maaf-maaf!"
"Kamu gak coba hubungi dia?" tanya Nay. Tiwi menggeleng.
"Aku udah janji sama diriku sendiri, demi kesahatanku, baik mental maupu jasmani, aku tak mau terlibat lebih jauh kehidupan Mina."
"Iya, kamu emang kacau banget kemarin. Terlihat kurang tidur dan banyak pikiran!" Tiwi pun mengangguk, meski calon dokter Nay ternyata sudah bisa menebak kondisi seseorang. Anak pintar memang.
Di Apartemen, Mina duduk di lantai. Kabar dari Risma membuat sisa jiwanya melayang seketika. Ia tak tahu harus bagaimana, menangis? Air matanya sudah kering. Teriak? Ia sudah tak bertenaga, badannya lemas, ditambah mual sejak pagi tadi. Sungguh malang nasibnya. Beratnya pengorbanan Mina ternyata tak berlangsung lama. Memang benar kata Tiwi sesuatu yang diawali dengan hal yang tidak baik, akan berakhir dengan tidak baik.
Mina mengelus perutnya, mendadak saja perutnya anteng, dan mual pun berhenti. Mungkin ia fokus dengan kabar sang ayah, sehingga pusing, lemas, dan mual tak dirasa.
Sampai tengah malam, Mina tak beranjak dari posisinya tadi, bahkan lampu kamar masih menyala terang. Ia melihat sekeliling, betapa sepi hidupnya, bahkan kehamilannya pun tak didampingi suami.
Sampai kapan aku menderita seperti ini ya Allah! Apakah aku sekuat itu hingga Engkau memberi cobaan bertubi-tubi?
Kebahagiaan seperti apa di depan nanti, sampai aku merasakan jatuhnya hidup terlalu sakit seperti ini.
Aku memang tak pantas protes, tapi kenapa harus aku ya Allah.
Tiwi sejak kecil ditinggal sang ayah tapi hidupnya tidak separah aku.
Nayratih, meski kedua orang tuanya sering bertengkar tapi materi terpenuhi, sehingga kalau sedih tinggal jajan saja.
Tapi aku? Harta tak punya. Kasih sayang orang tua apalagi.
Pandangan Mina teralihkan saat Risma melakukan panggilan video call. "Mbak, kamu gak pa-pa?" tanya Risma.
Mina hanya menggeleng sembari tersenyum tipis, Risma menceritakan proses penguburan sang ayah hingga tangis keduanya pecah. Meski perilaku beliau selalu mengganggu ketenangan keluarga, tetap saja kedua putri malang ini sedih.
"Ayah masih punya hutang?" tanya Mina setelah reda tangisnya. Risma menggeleng.
"Udah aku lunasin pakai sisa uang dari Mbak kemarin!"
"Baguslah, tidak ada penghalang ayah menghadap Allah!" Risma mengangguk.
"Ibu juga kondisinya gak baik, Mbak. Semenjak ayah pulang dari rumah sakit, beliau sering melewatkan makan."
"Wajarlah, Dek. Ibu sangat mencintai ayah, tentu beliau sangat sedih hingga tak mau makan!"
"Mbak! Kemarin ayah sempat tanya tentang Mbak!"
Percayalah, suara Mina tercekat di tengah tenggorokan. Tak kuasa mendengar omongan Risma selanjutnya.
"Ayah minta tolong ke aku buat minta maaf ke Mbak. Maaf, selama ini ayah selalu jahat sama Mbak, bahkan saat ayah sakit masih menyusahkan Mbak, hingga Mbak mengorbankan harga diri, Mbak!"
"Harga diri? Apa maksudnya, Dek?" ada rasa takut bila perilakunya selama ini diketahui oleh keluarganya. Selama ini, ia mengaku hutang pasa Bos, sehingga disuruh jadi pembantu di apartemen sang bos.Tapi, kenapa sang ayah malah menyebut harga diri.
"Beberapa kali ayah mimpi, Mbak datang dengan menggunakan kebaya putih. Mbak juga bilang kalau sudah hamil."
Mina spontan menutup panggilan video, tak kuasa menahan tangis. Inilah intuisi seorang ayah terhadap anak perempuannya. Kewajibannya menjadi wali nikah dialihkan ke orang lain, jelas saja beliau tak terima, hingga segala kenyataan hadir dalam mimpi.
"Maafkan Mina, Yah!" Tengah malam dilewati Mina dengan tangisan tertahan, sangat sakit.