Menjalani rumah tangga bahagia adalah mimpi semua pasangan suami istri. Lantas, bagaimana jika ibu mertua dan ipar ikut campur mengatur semuanya? Mampukah Camila dan Arman menghadapi semua tekanan? Atau justru memilih pergi dan membiarkan semua orang mengecam mereka anak dan menantu durhaka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tie tik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Meminta Izin
Semangat dalam diri Camila kembali berkobar. Selama dua hari ini dia sibuk dengan urusan furniture rumah. Dia mempersiapkan segalanya agar nanti jika waktunya pindah rumah, dia tidak kerepotan lagi menata tata letak barang-barangnya. Perlengkapan rumah seperti tempat tidur, almari, meja rias, kulkas dan beberapa barang lainnya sudah tertata rapi di rumah kontrakan itu.
"Mas, mau ngomong ke ibu kapan?" tanya Camila sepulang dari Masjid menunaikan sholat isyak.
"Setelah ini. Kamu tidak perlu ikut. Tunggu di kamar saja," jawab Arman.
"Aku akan menemani kamu, Mas. Aku gak mau kamu menghadapi semua ini sendiri," ujar Camila seraya melepas mukenah.
Setelah berdiskusi sejenak, mereka berdua akhirnya keluar dari kamar. Kebetulan sekali anggota keluarga sedang berkumpul di ruang tamu. Arman dan Camila langsung duduk di dekat sofa yang ditempati Aminah dan Pardi. Obrolan ringan terdengar di sana hingga tibalah waktu Arman untuk membahas masalah rumah baru.
"Bu, aku mau ngomong sesuatu," ucap Arman seraya meraih telapak tangan Aminah untuk digenggam.
"Ngomong apa, Man? Mau minta beli sawah kah?" kelakar Aminah seraya menatap Arman.
"Enggak, Bu. Aku dan Mila mau kontrak rumah, Bu. Kami sudah melihat rumahnya dan kami pun sudah membeli perabotan. Jadi, kira-kira kapan kita mengadakan syukuran?"
Aminah terkejut mendengar kabar yang disampaikan Arman. Wanita lanjut usia itu sampai tak berkedip saat beradu pandang dengan Arman. Persekian detik suasana ruang tamu mendadak hening.
"Ibu gak salah dengar, Man?" Aminah memastikan penjelasan Arman.
"Tidak, Bu. Aku dan Mila sudah menyewa rumah untuk ditempati. Lokasinya ada di perumahan Grand Site. Tidak terlalu jauh 'kan dari sini," jelas Arman lagi.
"Lancang sekali kamu, Man!" Suara Aminah meninggi. "Seharusnya sebelum kamu memutuskan kontrak rumah, kamu berunding dulu. Ibu tidak mengizinkan kamu keluar dari rumah ini," ujar Aminah dengan tegas.
"Aku sudah membahas masalah ini dengan Bapak dan Bapak pun setuju." Arman menatap Pardi penuh arti.
"Kenapa Bapak gak berunding dulu sama Ibu?" Aminah menoleh ke samping.
"Aku rasa ini bukan masalah yang besar, Bu. Biarkan Arman keluar dari rumah ini. Dia ingin belajar hidup mandiri. Lagi pula rumah yang dia sewa kan dekat dari sini. Kita masih bertemu dengan dia kapanpun kita mau," jelas Pardi dengan tutur kata yang lembut.
"Ini bukan perkara jauh dan dekat, Pak. Arman itu harus tinggal di sini bersama kita. Pokoknya Aku gak setuju kalau Arman keluar dari rumah ini. Mau jadi apa dia? Mau jadi anak durhaka dengan meninggalkan kita?"
Emosi Aminah mulai tersulut. Napasnya mulai menggebu karena gemuruh di dada. Wanita lanjut usia itu marah besar kepada Arman dan Camila. Lantas, dia beranjak dari tempat duduknya dan pergi begitu saja dari ruang tamu.
"Sudah. Tenang saja. Biar Bapak yang membujuk ibumu," ujar Pardi sebelum menyusul sang istri.
Sementara Sinta hanya bisa menyaksikan perdebatan yang terjadi di sana. Dia sendiri bingung harus bersikap bagaimana karena dia pun merasa sungkan atas kepergian Arman dan Camila dari rumah ini. Namun, di sisi lain ada perasaan lega karena dia bisa menguasai rumah ini.
"Dek Arman, maaf ya kalau kehadiranku di sini membuat kalian tidak nyaman," ucap Sinta seraya menatap Arman dengan lekat.
"Mbak Sinta tetap di sini saja sama Ibu. Kami memang sudah lama merencanakan semua ini." Arman menatap Sinta sekilas dan setelah itu beralih menatap Camila.
"Jangan buru-buru keluar dari rumah ini. Dipikirkan dulu, Dek. Kalau kalian keluar dari rumah ini, siapa nanti yang bantu-bantu Ibu karena aku juga sedang hamil besar begini. Aku sedih kalau Mila tidak ada di sini. Nanti siapa yang bantu aku jaga Zafi pas aku melahirkan. Jangan pergi dari sini ya kalian."
Camila mengernyitkan kening mendengar penjelasan Sinta. Dia tidak habis pikir jika Sinta berani jujur seperti ini di hadapan Arman. Sementara Arman pun menatap heran kakak iparnya itu.
"Kalau memang gak bisa mengurus rumah dan anak, ya sewa pembantu saja, Mbak. Istriku bukan pembantu di rumah ini. Dia tidak wajib mengurus Zafi dan segala keperluan Mbak. Kalau berbakti sama Ibu aku rasa wajib ya, tetapi kalau menjadi suruhan Mbak, itu sangat tidak pantas dilakukan," sarkas Arman sebelum mengajak Camila pergi dari ruang tamu.
*****
Malam telah berlalu begitu saja. Langit gelap telah berubah terang setelah sang raja sinar menunjukkan kuasanya. Arman dan Camila sedang bersantai di teras rumah setelah joging keliling desa. Sebuah rutinitas rutin yang biasa yang mereka lakukan di hari sabtu pagi.
"Wah, Mas. Ibu baru keluar dari rumahnya bude Sinah tuh. Siap-siap terjadi sesuatu nih," bisik Camila tanpa mengalihkan pandangan dari rumah kakak tertua Aminah.
"Udah santai aja. Kita hadapi saja," jawab Arman sambil menatap ibunya yang sedang berjalan pulang.
Benar saja, Sinah terlihat keluar dari rumahnya. Wanita lanjut usia itu berjalan cepat menyusul langkah Aminah. Tak hanya itu saja, Sinah pun mampir ke rumah Siti dan berteriak kencang di rumah adiknya itu. Lantas, mereka berdua langsung berjalan menuju rumah ini.
"Ayo, masuk," ajak Arman sebelum beranjak dari tempatnya. Menghindar jauh lebih baik dari pada harus menghadapi ibunya beserta kedua saudaranya.
"Hei kalian berdua! Tunggu!"
Suara teriakan Sinah berhasil menghentikan langkah Arman dan Camila di ruang tamu. Mereka berdua duduk di sofa untuk menghadapi ketiga wanita lanjut usia itu. Meski takut, Camila berusaha menunjukkan sikap tenang.
"De, jangan teriak-teriak. Malu didengar tetangga," ucap Arman.
"Kalian ini yang memalukan! Apa maksud kalian dengan ngontrak rumah? Kalian mau meninggalkan ibu kalian ini hah?" cecar Sinah sambil menatap tajam ke arah Arman.
"Kami hanya pindah rumah, bukan meninggalkan ibu," jawab Arman dengan tenang. "Ibu kenapa sih cerita ke bude dan bulek?" Arman beralih menatap sang ibunda.
"Memangnya ibu harus cerita kepada siapa lagi? Bapakmu juga gak mendukung ibu," ujar Aminah.
"Meski ibu mengadu kepada bude dan bulek, keputusanku tetap sama. Aku akan pindah ke rumah kontrakan, Bu. Tadi pagi Bapak sudah mencarikan aku hari yang baik untuk syukuran. Jadi, aku rasa kita tidak perlu mendebatkan ini lagi," jelas Arman seraya menatap Aminah dengan lekat.
"Kamu tidak bisa keluar dari rumah ini tanpa seizinku, Man!" Aminah masih tetap pada pendiriannya.
"Pasti Mila ya yang mengajakmu pindah dari rumah ini! Jadi kamu lebih memilih istrimu daripada ibu yang sudah melahirkanmu hah?" sahut Siti sambil berkacak pinggang di hadapan Arman.
"Tidak. Semua ini keinginanku sendiri, Bulek. Jangan menyalahkan istriku. Lagi pula Bulek juga tidak berhak ikut campur masalah rumah tanggaku," jawab Arman dengan tegas.
Perseteruan kembali terjadi di sama. Camila sampai kehabisan kata-kata saat melawan saudara mertuanya itu. Begitu pula dengan Arman. Guru matematika itu sampai memijat pangkal hidungnya karena tidak sanggup menghadapi ketiga wanita lansia itu.
"Kamu memang udah gak waras, Man! Kamu itu tega melihat kedua orang tuamu hidup sendiri di sini! Siapa nanti yang menjaga bapak dan ibumu? Dasar durhaka kamu, itu Man!' caci Sinah sambil menunjuk nunjuk dada Arman dengan jari telunjuknya.
...🌹TBC🌹...
Pasti bu Aminah sama saudari2nya ghibahin Arman Camila karena ngontrak
Atau si Sinta ikut pak Pardi selamanya,,kan habis ketipu
Meli harusnya ngikut Riza pindah alam,,jahat banget
Buat semua pasutri memang g boleh menampung wanita/pria yg usia sudah baligh takutnya ada kejadian gila kyk gini..
Banyak modus lagi,,mending Riza di antar keluar dari rumah Arman
Sekarang Camila bisa lega karena bebas dari orang toxic
G ada hukumnya anak bungsu harus tinggal sama ortu kecuali ortu.nya sudah benar2 renta..