Seira, 25 tahun, istri dari seorang saudagar beras harus menerima kenyataan pahit. Dikhianati suami disaat ia membawa kabar baik tentang kehamilannya. Zafran, sang suami berselingkuh dengan temannya yang ia beri pekerjaan sebagai sekretaris di gudang beras milik mereka.
Bagaimana Seira mampu menghadapi semua ujian itu? Akankah dia bertahan, ataukah memilih pergi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Yang Sebenarnya
Malam terus merayap ke penghujung, penduduk bumi perlahan mulai menepi dari semua aktivitas yang biasa mereka lakukan. Jalanan licin berair sisa hujan sore tadi. Para pedagang pinggir jalan pun hanya beberapa saja yang terlihat masih mangkal di lapaknya.
Gerimis tak lagi turun, tapi masih menyisakan dingin yang membekukan tulang sumsum. Di jalanan sepi nan lengang, mobil putih itu masih melaju dengan pelan. Si pengemudi sengaja tak menutup jendela mobil, untuk memudahkannya melihat sekitar.
Diliriknya jam yang melingkar di tangan, pukul dua puluh dua lebih satu menit. Ia menghela napas, sudah hampir dua jam mengelilingi kota tersebut, tapi yang dicari tak kunjung terlihat.
"Udah malem kayak gini nggak mungkin juga Seira berkeliaran," gumamnya lirih.
Ia mempercepat laju mobil memutuskan untuk menyudahi pencarian. Esok akan dilakukannya lagi, guna mendapatkan informasi yang dia inginkan.
Namun, alangkah terkejutnya ia, ketika melihat seorang laki-laki paruh baya berjalan sambil membawa tas besar di punggung.
"Mang Udin? Mungkin laki-laki itu tahu masalahnya."
Hendra menekan klakson sebelum menepi di depan sosoknya. Mang Udin yang tersentak menghentikan langkah lebarnya, ia takut tertinggal bus yang akan mengantarnya ke desa. Kerutan di dahi terbentuk dikala sosok Hendra keluar dan menghampirinya.
"Mang Udin? Ah, aku nggak salah liat ternyata. Mau ke mana, Mang, malam-malam begini?" tanya Hendra berbasa-basi. Matanya melirik tas besar yang disampirkan di bahu kiri.
"Eh, Pak Dokter. Saya kira siapa aja, saya mau ke terminal, Pak. Mau pulang kampung," jawab Mang Udin jujur.
Hendra yang kali ini terlihat kebingungan, ia menatap manik tua di hadapannya. Ada rahasia besar yang tersembunyi, tapi ia tampak jujur.
"Kalo gitu, biar aku antar. Takutnya ketinggalan bus lagi," tawarnya tanpa segan sembari menyusun strategi untuk menggali informasi dari laki-laki tua itu.
"Beneran ini, Pak Dokter? Apa nggak ngerepotin Bapak nantinya?" tanyanya tak enak hati.
Ia kira dokter muda itu baru saja pulang dari rumah sakit, pastilah lelah karena seharian melayani pasien yang datang tidak sedikit. Nyatanya, ia memang memiliki maksud lain, berharap mendapatkan informasi yang dia inginkan.
"Nggak, kok, Mang. Ayo, taruh tasnya di dalam bagasi," pintanya seraya membuka bagasi mobil dan membantu Mang Udin meletakkan tas besar tersebut.
"Makasih ini, Pak Dokter, saya udah ngerepotin Bapak. Padahal, Bapak pasti capek abis dari rumah sakit," ucap Mang Udin sambil membantu menutup pintu bagasi tersebut.
Dokter Hendra tersenyum seraya berucap, "Nggak apa-apa, Pak. Kalo nggak kenal aku juga nggak mau bantu takutnya malah dibegal," selorohnya sambil tertawa garing seraya mengajak Mang Udin untuk memasuki mobil.
Mobil melaju memecah hening, membelah jalanan lengang. Jalan yang biasanya ramai itu, kini tampak sepi. Mang Udin bersyukur karena bertemu dengan orang baik seperti dokter muda itu.
"Mmm ... kenapa Mang Udin mau pulang? Apa ada acara di sana?" tanya Dokter Hendra memulai misinya.
Mang Udin tersentak dari lamunan, bibirnya yang hitam membentuk senyuman seperti yang selalu ia lakukan.
"Nggak, Pak. Saya udah nggak kerja lagi sama Tuan Zafran. Saya mau balik ke desa dan menggarap ladang orang tua di sana, Pak. Lagian saya juga mau kumpul sama anak istri," jawab Mang Udin membuka satu tebakan dokter tersebut tentang ketidakhadirannya di pintu gerbang tadi.
"Oh, iya emang enak begitu, Pak. Kumpul sama keluarga, sayang aku belum juga ketemu jodoh."
Dokter Hendra tertawa jenaka guna menyembunyikan gugup dan rasa pedih yang melanda. Ia melirik laki-laki paruh baya di samping, bibirnya tersenyum khas seorang Udin supir dari sahabatnya.
"Oya, Pak. Klo boleh tahu gimana kabar Seira? Udah lama soalnya nggak main ke sana. Maklumlah, sibuk," tanya dokter Hendra memancing Mang Udin untuk bercerita.
Ia melirik kemudian tersenyum disaat pandang mereka bertemu, bersikap sebiasa mungkin agar laki-laki itu tidak curiga. Pandangan mata itu menyiratkan banyak kesedihan, kekecewaan yang dalam, juga rasa sesal yang menghilangkan pancaran asa di dalamnya.
Mang Udin berpaling, menarik napas panjang sambil menatap lurus ke depan.
"Saya tahu sebenarnya Dokter ini udah tahu masalah yang terjadi di rumah itu, 'kan?" ucap Mang Udin tepat sasaran.
Dokter Hendra termangu, hampir-hampir kehilangan keseimbangan saat mengemudi, tapi Mang Udin biasa saja. Laki-laki tua itu memang serba tahu.
"Mamang bener, tadi aku emang diminta ke rumah itu, tapi nggak liat Seira sama sekali. Malah ada perempuan yang aku sendiri nggak kenal. Apa bener, Mang, katanya Seira pergi dari rumah?" ungkapnya tak lagi menutupi keingintahuan perihal masalah Seira, gadis yang pernah menjadi bagian di hatinya.
Mang Udin mengulas senyum tipis, tahu betul semua orang di sana pastilah akan menuduh wanita itu. Kejam memang, demi menutupi kesalahan diri sendiri mereka mengkambinghitamkan orang lain yang notabene adalah korban.
"Itu terserah Dokter aja, mau percaya atau nggak. Mamang nggak bisa maksa, tapi yang pasti Bu Sei nggak pergi gitu aja dari rumah. Nggak ada angin nggak ada hujan, tiba-tiba Pak Zafran menalak Ibu dan mengusir Ibu dari rumah. Yah, perempuan itu ... perempuan yang Dokter lihat itu sahabat Ibu, dia lagi hamil anaknya Bapak," ungkap Mang Udin sejujurnya.
Untuk apalagi menutupi semuanya, toh Seira pun telah tiada dan tak akan pernah kembali ke rumah itu lagi. Mungkin untuk selamanya.
Terkejut? Itulah yang dirasakan dokter Hendra, dalam hati mengumpati tindakan tidak bermoral Zafran. Kedua tangan mencengkeram erat kemudi, diikuti rahang yang saling beradu.
"Sialan si Zafran! Aku udah relain Sei buat dia, malah bertingkah nggak bermoral," rutuknya kesal, "jadi, perempuan itu hamil anaknya Zafran?" lanjutnya bertanya sambil melirik Mang Udin yang kembali diam dengan kesakitan di hati.
"Katanya, sih, gitu. Padahal, hari itu Bu Sei mau kasih kejutan buat Bapak kalo beliau lagi hamil anaknya-"
"Tunggu? Sei ... hamil?" sela dokter Hendra terkejut mendengar kabar kehamilan Seira.
"Bener, Dokter. Saya sama Bi Sari yang antar Ibu periksa, emang baru masuk dua bulan, tapi Ibu dan Bapak udah lima tahun nunggunya," jawab Mang Udin dengan tenang.
"Astaghfirullah! Zafran, Zafran! Emang brengsek! Istri hamil dia nggak tahu malah selingkuh. Kurang apa Seira? Klo tahu kayak gini dulu aku nggak bakal kasih Sei ke dia," kecam dokter muda itu semakin kesal mendengar cerita tentang Zafran yang bodoh.
"Tapi, Dokter, Ibu nggak mau kalo Bapak sampe tahu tentang kehamilannya. Jadi, tolong Dokter jangan kasih tahu itu sama mereka. Saya takut, perempuan itu nekad. Saya nggak mau Bu Sei kenapa-napa," ujar Mang Udin lagi menoleh padanya dengan pandangan memohon.
Dokter Hendra mengerti, teramat mengerti. Memanglah terkadang pelakor itu lebih horror. Ia mengangguk patuh, mengumpat dalam hati tiada henti.
"Terus sekarang, Seira di mana, Mang?" tanyanya. Setidaknya dia tahu bahwa wanita itu baik-baik saja.
"Ibu sama Sari, saya nggak tahu di mana, tapi di mana aja mudah-mudahan mereka selamat," ucap Mang Udin penuh sesal.
"Ya, aamiin. Semoga mereka baik-baik aja."
Perbincangan berhenti saat mobil tiba di terminal. Mereka berpisah, dokter Hendra berbalik dan kembali ke rumah. Dia tak akan berhenti mencari Seira sampai matanya sendiri yang melihat keadaan wanita itu.