Diputuskan begitu saja oleh orang yang sudah menjalin kedekatan dengannya selama hampir tujuh tahun, membuat Winda mengambil sebuah keputusan tanpa berpikir panjang.
Dia meminta dinikahi oleh orang asing yang baru saja ditemui di atas sebuah perjanjian.
Akankah pernikahannya dengan lelaki itu terus berlanjut dan Winda dapat menemukan kebahagiaannya?
Ataukah, pernikahan tersebut akan selesai begitu saja, seiring berakhirnya perjanjian yang telah mereka berdua sepakati?
Ikuti kisahnya hanya di lapak kesayangan Anda ini.
Jangan lupa kasih dukungan untuk author, ya. Makasih 🥰🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Merpati_Manis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rumah Sakit Jiwa
Mulanya Winda sempat kesal karena lagi-lagi merasa dipermainkan, tapi akhirnya dia tersenyum juga menikmati dekapan hangat Bisma. Merasa nyaman, perlahan kedua netra Winda pun terpejam. Sementara di belakangnya, deru napas Bisma sudah terdengar teratur sejak beberapa saat yang lalu.
"Mungkin, memang belum saatnya bagi kami untuk melakukannya," gumam Winda sebelum kesadarannya benar-benar menghilang.
Ya, tutorial yang diinstruksikan Bisma adalah agar Winda tidur miring dan membelakanginya. Lalu, di bawah selimut tebal laki-laki itu memeluk erat tubuh ramping Winda dari belakang. Bisma tak membiarkan Winda melancarkan protes dan dengan tegas menyuruh istrinya itu untuk segera tidur.
"Tidurlah. Aku belum ingin melakukannya sebelum kamu benar-benar yakin dengan perasaanmu sendiri," kata Bisma sesaat setelah memeluk Winda. Kata-kata yang sebenarnya juga dia tujukan untuk dirinya sendiri.
Keesokan harinya, Winda kembali mengingatkan perkataan Bisma tentang 'janji'. Entah Winda harus berjanji untuk apa, itulah yang terus dipikirkan oleh Winda sejak bangun tadi.
"Mas. Aku masih menunggu, lho, ini," desak Winda karena Bisma tak kunjung membuka suara.
"Sabar, dong. Aku 'kan belum selesai bersiap," balas Bisma sembari merapikan rambutnya.
"Jangan terlalu rapi nyisirnya, Mas! Kelihatan lebih tua, tahu, kalau kayak gitu," protes Winda setelah melihat hasil akhir rambut Bisma setelah disisir.
Tanpa menunggu persetujuan Bisma, Winda segera mendekat kemudian dia menggunakan jari tangannya untuk mengacak sedikit rambut suaminya itu. Kini, gaya rambut Bisma mirip seperti anak kuliahan yang sedikit berantakan, tapi terlihat semakin tampan.
"Nah, kalau gini 'kan, makin keren," puji Winda seraya tersenyum.
Bisma yang kini tengah menatap pantulan dirinya pada cermin lebar di hadapan, ikut tersenyum. Winda kemudian mengajak Bisma untuk ke meja makan karena Arsen sebentar lagi harus berangkat sekolah. Namun, Belum sempat Winda melangkah, pinggangnya telah ditarik oleh Bisma hingga tubuh ramping itu kini merapat pada tubuh besar Bisma.
Untuk sejenak, keduanya saling tatap dengan jarak wajah yang begitu dekat. Mereka berdua bahkan bisa saling merasakan kehangatan embusan napas pasangan. Bisma mulai mengikis jarak. Dekat dan semakin dekat.
Akan tetapi, Bisma dibuat terkesima ketika tiba-tiba Winda yang mendahului mencium bibirnya. Sedetik kemudian, keterkejutan Bisma menjadi sebuah senyuman. Lalu, tangannya bergerak dengan cepat menarik tengkuk Winda untuk memperdalam ciuman tersebut hingga Winda dibuat gelagapan sendiri.
"Mas! Sakit, tahu!" protes Winda kala Bisma mengakhiri dengan sebuah gigitan kecil saking gemasnya pada Winda.
Bisma tersenyum, lalu tangannya terulur untuk membersihkan sisa salivanya di bibir Winda. "Kamu yang memulai," kata Bisma.
"Habisnya, Mas Bisma lama. Kasihan Arsen tahu, Mas, kalau kelamaan nunggu kita di meja makan."
"Iya, kamu benar. Ayo, kita ke sana," ajak Bisma sembari menggandeng tangan Winda.
Di meja makan, Arsen terlihat sedang memainkan ponselnya. Di hadapannya, sandwich yang tadi dibuat Winda belum tersentuh. Ya, bocah kecil itu sedang ingin sarapan sandwich. Oleh karena itu Winda membuatkan sandwich dengan isian daging dan sayur untuk Arsen.
Sementara untuk Bisma dan Winda sendiri, wanita itu membuat nasi goreng request Bisma. Nasi goreng seperti yang Winda masak pertama kali ketika wanita itu ikut pulang ke apartemen tersebut. Nasi goreng spesial kata Bisma karena dari sanalah awal mula Bisma mulai tertarik pada Winda, tapi dia belum mau mengakuinya.
"Kenapa nggak dimakan, Sayang?" tanya Bisma setelah duduk di kursi kebesarannya.
"Arsen nunggu Ayah dan Bunda," jawab Arsen seraya mematikan ponsel, lalu menyimpan benda pipih canggih tersebut di atas meja.
Tanpa disuruh, Arsen kemudian mulai memakan sandwich yang masih cukup hangat tersebut. "Ayah harus cobain ini. Ini enak banget," kata Arsen dengan mulut penuh. Lalu, Arsen segera beranjak dan menghampiri Bisma.
"Habiskan Arsen saja, Sayang. Ayah makan nasi goreng."
"Tapi ini enak banget, Ayah. Ayah pasti tidak akan menemukan sandwich seenak ini di restoran mana pun. Termasuk di semua cabang restoran kita."
Winda mengernyit, mendengar perkataan Arsen. Dalam hati wanita itu membatin, sekaya apa Bisma. Mulai dari Arsen yang bersekolah di sekolah bonafid, lalu celoteh Arsen kemarin yang mengatakan jika ayahnya memiliki tabungan yang tak terhitung nominalnya, dan sekarang anak itu mengungkap fakta baru lagi.
"Semua cabang? Memangnya, ada berapa banyak restoran Mas Bisma?"
"Bunda Winda 'kan, memang jago masak, Sayang. Arsen lupa, ya, kalau Bunda Winda punya kafe di Bandung. Dan kafenya itu sangat ramai karena resep masakan Bunda."
Suara Bisma berhasil menyeret Winda dari lamunan. "Ah, Mas berlebihan," kata Winda dengan pipi merona.
Arsen yang sudah kembali ke tempat duduknya itu pun tersenyum, melihat Bisma dan Winda saling pandang dengan mesra meski hanya sekejap saja. Karena setelahnya, Bisma kembali ke stelan awal meski kini wajahnya tak terlalu kaku.
Usai sarapan , Arsen dan Bisma berpamitan pada Winda.
"Jangan lupa bersiap. Satu jam lagi aku jemput," pesan Bisma sebelum berlalu.
Winda yang teringat dengan perkataan Bisma tadi setelah mereka berciuman di kamar bahwa suaminya itu akan menjelaskan mengenai Winda yang harus berjanji pada Bisma, mengangguk patuh. Dan setelah kepergian Bisma dan Arsen, Winda pun segera bersiap. Entahlah, Winda merasa bahwa dia harus tampil maksimal karena tadi Bisma bilang jika Winda akan dibawa untuk menemui seseorang.
"Pasti orang itu orang penting. Nggak mungkin, kan, Mas Bisma harus membuat janji temu dulu dengan orang itu jika dia bukan orang penting," gumam Winda seraya mematut diri di depan cermin besar di kamar.
Tepat dari waktu yang dijanjikan, Bisma pulang untuk menjemput Winda dan mengajak istrinya itu untuk mengunjungi seseorang. Sepanjang perjalanan menuju ke sana, keduanya sama-sama terdiam. Winda dengan perasaan groginya dan mencoba meraba apakah pantas dia mendampingi seorang Bisma yang meski dia belum mengenal seluruhnya tentang suaminya itu, tapi Winda mulai dapat meraba dari kalangan mana Bisma berasal.
Sementara Bisma fokus dengan isi kepalanya yang terasa penuh dengan segala kemungkinan. Bisa kemungkinan baik dan bisa juga kemungkinan buruk yang akan terjadi nanti setelah Winda mengetahui sebuah kebenaran. Entah kebenaran apa itu.
"Mas. Boleh aku tahu, siapa yang akan Mas temui?" tanya Winda setelah cukup lama mereka saling terdiam.
"Nanti kamu akan tahu sendiri. Sabar, ya," kata Bisma. Lalu, laki-laki itu menghela napas panjang dan berat.
Winda tak lagi bertanya. Dia pun memilih melemparkan pandangan ke sisi kirinya, menikmati lalu lalang pengendara motor yang saling menyalip.
"Mas. Kita ke sini?" tanya Winda dengan dahi berkerut dalam ketika mobil yang dikendarai Bisma memasuki area parkir rumah sakit jiwa.
"Siapa yang sakit, ya?" Winda pun mulai menerka-nerka. "Papanya Mas Bisma, sudah nggak ada. Apakah mamanya Arsen? Waktu itu, kan, Mas Bisma mengatakan kalau aku nggak bisa bertemu dengan mamanya Arsen. Apakah karena dia sakit dan dirawat di sini?"
"Ayo, kita masuk! Dokter sudah menunggu kedatangan kita," ajak Bisma sembari menarik pelan tangan Winda, lalu melingkarkan tangan itu ke lengannya.
Winda sempat terkejut, tapi kemudian tersenyum. Wanita itu pun mengimbangi langkah cepat Bisma. Beruntung, gaun panjang yang dia kenakan cukup longgar sehingga memudahkan bagi Winda untuk berjalan cepat.
"Selamat pagi, Tuan Muda," sapa seseorang yang mengenakan seragam putih dan ber-name tag, Dr. Ryan.
Winda kembali mengernyit mendengar sapaan Dokter Ryan terhadap Bisma."Kenyataan baru apalagi ini? Kenapa banyak sekali kejutan yang kudapatkan mengenai laki-laki itu? Kupikir, dia hanya sopir dan karena itulah aku berani menawarkan perjanjian nikah."
"Bagaimana keadaannya, Dok? Apakah sudah ada perkembangan?" tanya Bisma tanpa basa-basi. Kata-kata laki-laki itu terdengar tegas, meski diucapkan dengan pelan, dan terdengar penuh intimidasi.
"Seperti yang Anda inginkan, Tuan Muda. Kondisi Nona Lisa berangsur membaik. Tapi, Nona Lisa masih tetap mengamuk setiap kali kami tunjukkan foto Prince Arsen."
"Nona Lisa? Mengamuk setiap kali melihat foto Arsen? Apa benar dia istri Mas Bisma? Em ... mantan istri tepatnya. Lalu, kenapa dia harus histeris melihat foto anaknya sendiri? Apa yang sebenarnya terjadi? Apa si Lisa itu belum siap punya anak, tapi Mas Bisma memaksa? Ah, pusing palaku!"
Di kepala Winda terdengar riuh. Berbagai praduga mengenai siapa Lisa bermunculan dan itu membuat Winda menjadi pusing sendiri.
bersambung ...
***
Terima kasih untuk kalian semua yang udah kasih dukungan buat Winda. Like dan hadiah kalian sangat berarti bagiku. Terutama komen kalian. Karena dengan membaca komentar kalian, mood-ku yang tadinya berantakan langsung membaik. Selain itu, aku juga jadi merasa tidak sendirian karena ada kalian yang menemani 🥰🙏
Semangat terus Kak.... qt selalu nungguin Bisma-Winda Up lg...❤🌹