9
Pernikahan adalah cita-cita semua orang, termasuk Dokter Zonya. Namun apakah pernikahan masih akan menjadi cita-cita saat pernikahan itu sendiri terjadi karena sebuah permintaan. Ya, Dokter Zonya terpaksa menikah dengan laki-laki yang merupakan mantan Kakak Iparnya atas permintaan keluarganya, hanya agar keponakannya tidak kekurangan kasih sayang seorang Ibu. Alasan lain keluarganya memintanya untuk menggantikan posisi sang Kakak adalah karena tidak ingin cucu mereka diasuh oleh orang asing, selain keluarga.
Lalu bagaimana kehidupan Dokter Zonya selanjutnya. Ia yang sebelumnya belum pernah menikah dan memiliki anak, justru dituntut untuk mengurus seorang bayi yang merupakan keponakannya sendiri. Akankah Dokter Zonya sanggup mengasuh keponakannya tersebut dan hidup bersama mantan Kakak Iparnya yang kini malah berganti status menjadi suaminya? Ikuti kisahnya
Ig : Ratu_Jagad_02
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ratu jagad 02, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2
Tepat satu minggu setelah kematian Nasila. Hari ini, meski menolak dengan berbagai cara. Namun pada akhirnya, baik Zonya maupun Sean tidak lagi dapat mengelak saat semua ini demi kebaikan Naina. Ya, Naina adalah alasan terbesar keduanya yang pada akhirnya mengantarkan mereka pada acara sakral ini sekarang.
"Bagaimana, apakah akad-nya sudah bisa dimulai?" tanya penghulu.
"Silahkan Pak."
"Sean Askara bin Boris, saya nikahkan engkau dengan putri kandungku Zonya putri Nugroho dengan maskawin uang satu juta rupiah dibayar tunai," ucap Ayah Ardan lantang.
"Saya terima nikah dan kawinnya Zonya Putri Nugroho bin Ardan Adi Nugroho dengan maskawin tersebut, tunai."
"Bagaimana saksi, sah?"
"Sah!"
Seiring dengan kata sah yang terdengar. Zonya memejamkan mata, merenungi nasibnya yang kini harus menikah dengan mantan kakak iparnya sendiri. Tidak ada air mata bahagia ataupun kesedihan. Yang ada hanya tatapan datar dari Zonya yang terlihat sangat kuat dan tegar. Namun siapapun dapat melihat kesedihan yang ia simpan dalam dirinya. Hingga akhirnya, setelah beberapa saat, kediaman Nugroho yang semula cukup ramai, kini kembali hening karena tamu yang sudah berpulangan.
"Zoe—" Bunda Gita mendekati putrinya dan memeluk sang putri dengan erat, "Maafkan Bunda Nak, semoga ini jalan yang terbaik untuk kalian. Bunda benar-benar tidak bisa mempercayakan cucu Bunda pada wanita lain dan Bunda harap kau mengerti akan semua ini."
Zonya hanya diam. Sungguh, ia merasa kecewa dengan keputusan kedua orang tuanya. Namun kekecewaan itu sudah tidak berguna sekarang, sebab kini ia telah resmi menyandang status sebagai istri dari Sean Askara, laki-laki yang beberapa waktu lalu masih berstatus sebagai Kakak Iparnya. Ia lantas melirik laki-laki yang kini berstatus suaminya, tidak ada senyum di wajahnya, tidak ada sesuatu apapun di sana selain raut wajah datar, yang seakan benar-benar mempertegas pernikahan mereka yang hanya terjadi karena sebuah kepentingan.
"Sean—" kini giliran Sean yang didekati Bunda Gita, "Bunda tahu kau berat menjalani pernikahan ini. Tapi bagaimanapun, Zoe adalah istrimu sekarang. Dia juga anak Bunda, Nak. Pesan Bunda masih sama saat kau menikahi Nasila dulu, jaga putri Bunda dengan baik."
Sean menatap Zonya, begitupun sebaliknya. Untuk beberapa saat, keduanya saling tatap dengan raut wajah datar mereka. Setelahnya, keduanya sama-sama memalingkan muka dan menatap ke lain arah.
"Mulai hari ini, aku akan membawa Zonya dan Naina untuk tinggal di rumahku Bun," ucap Sean.
Itu bukanlah jawaban yang Bunda Gita harapkan. Namun apalah daya, kini putrinya adalah seorang istri dan sudah sepantasnya ikut ke manapun yang suaminya inginkan. Bunda Gita 'pun mengangguk dalam tangisan.
"Ingat pesan Bunda untuk selalu menjaganya Sean."
*
Sean dan Zonya berpamitan pada orang tua dan keluarga mereka. Isak tangis mengiringi kepergian Zonya dari kediaman Nugroho. Terutama dari Bunda Gita dan Anggi yang harus berpisah dari Zonya untuk pertama kalinya. Zonya mendekati sang Bunda dengan Naina yang berada dalam gendongannya.
"Zoe pamit Bun."
"Do'a Bunda selalu menyertai langkahmu Nak."
Zonya menunduk, menyembunyikan wajahnya yang sudah memerah. Ia lantas berjalan mendekati sang Ayah, dan memandang wajah tua itu lekat-lekat. Ia tersenyum lembut seakan mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja. Namun Ayah Ardan tentu tahu bagaimana perasaan putrinya yang sebenarnya.
"Zoe pamit Yah," lagi-lagi Zonya mengucapkan kalimat yang sama pada sang Ayah.
"Ayah akan berdo'a untuk kebahagiaanmu Nak. Berbahagialah!"
Zonya berbalik untuk menemui suaminya yang sudah menunggu di mobil. Begitu Zonya akan mencapai pintu untuk keluar, tiba-tiba tubuhnya terdiam saat merasakan ada tangan yang memeluk tubuhnya dari belakang.
"Maafkan Anggi yang tidak bisa membantu Kakak," ucap Anggi.
Sejenak, Zonya membiarkan Anggi yang memeluk tubuhnya. Sebelum akhirnya ia melepas belitan tangan adiknya dengan satu tangan, sedangkan tangan lainnya ia gunakan untuk menopang bayi dalam gendongannya. Ia menghela napas lemah, sebelum akhirnya berbalik dan menghapus air mata adiknya.
"Bereskan skripsimu segera dan gantikan Kakak memimpin rumah sakit!"
Anggi mengangguk dengan wajah yang sudah basah oleh air mata, "Aku berjanji untuk menyelesaikannya segera Kak."
"Jaga Ayah dan Bunda, Kakak pamit." Zonya menatap setiap sudut rumah kediaman keluarganya. Lalu tatapannya beralih pada kedua orang tuanya dan kedua orang tua Sean. Ia mengangguk sembari tersenyum kepada mereka semua, "Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikum salam."
Sean membukakan pintu mobil begitu melihat Zonya mendekat. Setelah Zonya masuk, ia ikut masuk dan duduk didepan kemudi. Setelah itu, mobil 'pun melaju membelah jalanan menuju rumah yang selama ini Sean tempati bersama Nasila. Sepanjang jalan, tidak ada pembicaraan apapun diantara Sean dan Zonya. Hingga beberapa saat berlalu, akhirnya mobil yang dikemudikan Sean tiba di rumah besar miliknya.
"Pak Tris, tolong masukkan barang-barang yang ada di bagasi!" ucap Sean pada salah satu pekerja rumahnya.
"Baik Tuan."
Sean langsung turun dari mobil dan melangkah masuk tanpa mengajak Zonya. Sedangkan Zonya sendiri melangkah pelan mengikuti arah langkah suaminya. Begitu tiba di pintu utama, sebuah foto besar terpajang indah menyambut kedatangan Zonya.
Sejenak, Zonya menghentikan langkahnya dan memandang foto sang Kakak bersama suaminya. Untuk pertama kalinya, matanya berkaca-kaca memandang foto itu. Ia tersenyum dan mencium wajah Naina yang terlelap dalam gendongannya.
"Selamat jalan Kak, aku harap kau tenang di sana." batin Zonya.
"Aku tidak akan melepas pajangan foto itu hanya karena keberadaanmu di rumah ini."
Zonya melihat suminya yang berjalan mendekat. Ia lantas menghapus air matanya yang membasahi pipi dan membalas tatapan suminya tanpa rasa takut, "Tidak apa-apa Mas, aku mengerti."
"Bagus kalau begitu," Sean ikut menatap foto pernikahannya bersama istri tercintanya. Setelah itu ia kembali menatap Zonya, "Ayo ikut aku!"
Tanpa bantahan, Zonya mengikuti langkah Sean menuju kamar. Zonya menghentikan langkahnya saat melihat sang suami membuka pintu kamar dan menampakkan fasilitas di dalamnya yang tentu saja menyimpan kemewahan.
"Kau akan tidur di kamar ini bersama Naina," Sean menggeser tubuhnya, memberikan akses pada Zonya untuk melihat lebih dalam. "Jangan pernah memasuki kamarku dengan alasan apapun dan jangan pernah mengusik waktuku dengan alasan apapun. Sekarang, kau adalah ibu sambung Naina, kau bertanggung jawab penuh untuk mengasuhnya. Jadi lakukan tanggung jawabmu dengan baik!"
Setelah mengatakan itu, Sean langsung pergi dari sana. Meninggalkan Zonya yang kini menatap kamar tersebut dengan menghela napas kasar. Ia lantas memasuki kamar dan mengunci pintunya. Setelah itu, ia menidurkan Naina pada ranjang bayi yang memang tersedia di sana.
"Nai... Kenapa jalan hidup kita seperti ini Sayang. Kau ditinggal Mama, sedangkan Aunty harus menikah dengan papamu karena terpaksa," lirih Zonya. Ia lantas mencium wajah sang keponakan dengan air mata yang kembali mengalir. "Kita jalani ini bersama-sama ya, bantu Aunty untuk menghadapi semua ini."