Delvia tak pernah menyangka, semua kebaikan Dikta Diwangkara akan menjadi belenggu baginya. Pria yang telah menjadi adik iparnya itu justru menyimpan perasaan terlarang padanya. Delvia mencoba abai, namun Dikta semakin berani menunjukkan rasa cintanya. Suatu hari, Wira Diwangkara yang merupakan suami Delvia mengetahui perasaan adiknya pada sang istri. Perselisihan kakak beradik itupun tak terhindarkan. Namun karena suatu alasan, Dikta berpura-pura telah melupakan Delvia dan membayar seorang wanita untuk menjadi kekasihnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Astuty Nuraeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sesal Tiada Arti
Jika boleh memilih, dengan tegas Delvia jawaban Delvia adalah tetap berada di Milan selama mungkin. Sayangnya dalam kehidupan ini dia tidak pernah memiliki kesempatan untuk memilih, hidupnya telah di tata rapi oleh Maya, wanita yang telah melahirkannya ke dunia ini.
Empat belas hari berjalan begitu cepat, tak terasa Delvia harus segera kembali ke kehidupan nyata, melupakan dua pekan yang terlewati tanpa beban apa pun.
Seperti perjanjian awal, pada hari terakhir di Milan, Delvia dan Wira akan menyisakan waktu bersama, tentu saja hanya demi beberapa potret yang harus mereka tunjukkan kepada orang tua masing-masing.
Selagi menunggu suaminya datang, Delvia menghabiskan paginya di sebuah kafe, menikmati secangkir teh dan beberapa camilan. Di saat yang sama, tak sengaja ekor matanya menangkap sosok Wira bersama seseorang di parkiran kafe. Delvia memicingkan mata, mencoba mengenali sosok yang sedang bersama suaminya itu. “Oh God,” detik selanjutnya kedua mata Delvia melebar, gadis itu membeku dengan mulut yang sedikit terbuka, dia benar-benar terkejut melihat adegan romantis dua manusia di luar sana.
Delvia mencoba menenangkan diri, dia berusaha terlihat biasa saja saat Wira datang menghampirinya.
“Morning Via,” sapa Wira seraya duduk di hadapan Delvia, tak lupa Wira menyisipkan senyuman ramah di wajah maskulinnya.
“Hay mas,” jawab Delvia tak kalah ramah.
“Bagaimana liburanmu selama dua pekan ini? Kamu happy kan?” tanya Wira seolah mereka pasangan yang saling peduli satu sama lain.
“Berkat mas Wira, aku sangat menikmati liburan ini. Terima kasih banyak mas,” tak munafik, meski tak memiliki perasaan pada Wira, namun Delvia merasa bersyukur karena Wira yang menjadi suami kontraknya. Selain baik, Wira juga sosok yang cukup perhatian, selalu menjaga ucapannya dan selalu bersikap lembut pada Delvia, layaknya seorang kakak perempuan.
“Sama-sama. Berkat kamu, kami bisa berlibur bersama,” jawab Wira seraya menoleh ke arah parkiran.
Delvia tersenyum kikuk, dia tidak ingin bertanya lebih jauh tapi rasa penasaran menggelitik kepalanya. “Ada dia orang yang mas cintai?” setelah cukup lama diam dan menimbang, Delvia akhirnya memberanikan diri untuk bertanya.
“Hem,” jawab Wira seraya mengangguk, tergambar jelas kesedihan di balik senyumnya. “Aku berharap kamu tidak menghakimi apa yang terjadi padaku!”
Ucapan Wira menyentuh hati Delvia, gadis itu lantas mengulurkan tangannya, menepuk punggung tangan Wira yang berada di atas meja. “Setiap manusia terlahir dengan cerita masing-masing. Aku tidak membenarkan jalan yang kamu pilih mas, tapi aku juga tidak berhak untuk menghakimimu.,” ucap Delvia dengan bijak.
Wira menghela nafas lega, setidaknya dia memiliki teman untuk membicarakan kekasih rahasianya itu. “Terima kasih Via, aku senang memiliki teman sepertimu!”
“Aku juga senang memiliki rekan sepertimu mas!”
Setelah sarapan, Wira dan Delvia berkeliling dan berbelanja oleh-oleh bersama. Mereka juga menyempatkan diri untuk foto bersama di setiap sudut kota.
“Mas, sepertinya kita kurang mesra,” ucap Delvia saat melihat hasil foto mereka yang cukup berjarak.
“Benar juga, kalau begini mommy dan mama pasti curiga!”
“Bagaimana kalau kita sedikit lebih mesra? Delvia meminta persetujuan Wira.
“Siapa takut!”
Tanpa merasa canggung, keduanya berfoto layaknya seorang kekasih yang sedang kasmaran. Beberapa potret mereka juga terlihat sangat mesra, hasil yang pasti memuaskan untuk kedua orang tua mereka.
Setelah melewati 17 jam di dalam pesawat, akhirnya Delvia dan Rama tiba di Jakarta. Keduanya pulang ke rumah orang tua Wira karena mereka belum sempat pindah rumah.
Kepulangan pengantin baru itu di sambut Nila dan Diwangkara, keduanya sangat senang melihat anak dan menantunya pulang dengan selamat. “Bagaimana bulan madunya? Kalian bersenang-senang kan? Mommy tidak sabar ingin menimang cucu,” cecar Nila dengan ocehannya.
“Biarkan kami menikmati waktu berdua mom,” jawab Wira menahan kesal, dia juga merasa tidak enak hati pada Delvia karena Nila selalu seenaknya sendiri.
“Oh ya mom, aku membeli beberapa oleh-oleh untuk mommy,” Delvia cepat tanggap, dia segera mengalihkan topik pembicaraan sebelum semakin runyam.
“Oh astaga, terima kasih sayangku!” Nila menerima oleh-oleh yang di bawakan menantunya, tak lupa Nila juga memeluk Delvia sebagai tanda ucapan terima kasih.
“Mom, kami sedikit lelah, apa boleh kami istirahat sekarang?” rayu Delvia dengan begitu manis.
“Tentu sayang. Istirahatlah. Besok jangan lupa ceritakan pada mommy apa saja yang kalian lekukan di Eropa ya!”
“Tentu!”
Sebagai tokoh utama dalam drama pernikahan kontrak, Delvia tentu harus pintar mengenali karakter tokoh pendamping, Delvia juga harus pandai berakting sampai drama pernikahannya bersama Wira benar-benar usai.
“Jangan pikirkan apa yang mommy katakan ya,” ucap Wira begitu mereka sampai di kamar.
“Tentu,” jawab Delvia singkat.
“Istirahatlah, kamu pasti lelah!”
“Ya!”
Setelah membersihkan diri, Delvia merebahkan tubuhnya di atas ranjang, dia merasa sangat lelah, namun dia belum bisa tidur dan merasa haus. Delvia kembali bangun, dia menatap Wira yang sudah terlelap di atas sofa. Untuk sesaat, Delvia merasa tak enak hati karena merebut ranjang Wira, namun mereka juga tidak mungkin tidur di ranjang yang sama.
Rumah tampak begitu sepi, semua penghuninya sudah berada di kamar masing-masing untuk beristirahat. Delvia bergegas pergi ke dapur karena tenggorokannya terasa begitu kering.
“Bagaimana bulan madumu?”
Uhuk...uhuk...
Delvia tersedak saking terkejutnya. Gadis itu menoleh ke arah suara, menatap Dikta yang tengah berdiri di sampingnya. “Mengagetkan saja!” ucap Delvia kesal, dia hampir mati karena tersedak.
“Bagaimana bulan madumu?” ulang Dikta lagi, kali ini dengan penuh penekanan.
“Bukan urusanmu!” jawab Delvia, dia mencoba acuh pada Dikta, pria yang kini telah menjadi adik iparnya. Delvia meletakkan gelas di atas meja, gadis itu beranjak pergi namun Dikta mencekal pergelangan tangannya. “Lepas!”
“Kenapa harus Wira? Kenapa kamu harus menerima perjodohan ini?” Pilu, itulah yang terdengar dari pertanyaan Dikta.
Delvia tak begitu terkejut mendengar Dikta sudah mengetahui masalah perjodohan, dia lalu berusaha melepaskan diri, namun cekalan tangan Dikta begitu kuat. Delvia berhenti melawan, gadis itu menatap Dikta dengan sorot memohon. “Lepas, aku mohon!”
“Jawab dulu pertanyaanku! Kenapa kamu menerima perjodohan ini?”
“Bukan urusanmu!” Delvia memberikan jawaban yang sama seperti sebelumnya.
Jawaban Delvia memang sebuah fakta, namun sialnya Dikta tersulut emosi akan jawaban tersebut. “Kenapa harus mas Wira, kenapa bukan aku! Kenapa kamu tidak mencoba untuk menolak perjodohan itu dan mencoba mencari keberadaanku. Kenapa Delvia? Kenapa? Aku pikir kamu memiliki perasaan yang sama sepertiku!” ujar Dikta seraya menahan suara dan amarahnya.
“Kenapa aku harus mencarimu? Kenapa aku harus mencari seseorang yang bahkan tidak bisa menepati janjinya!” jawaban Delvia begitu lantang, tanpa ragu dia menyindir lawan bicaranya, secara tidak langsung dia sedang mengutarakan kekecewaan yang sempat terpendam dan bahkan hampir terlupakan.
“Aku tidak pernah mengingkari janjiku, aku datang ke sana dan mencarimu. Aku menyesal karena melewatkanmu. Aku menyesal karena melewatkan panggilan darimu. Seharusnya aku menjawab telefonmu, seharusnya aku memohon padamu untuk menunggu!”
“Kamu datang?” tanya Delvia meragu.
Dikta melepaskan cengkeramannya, pria itu menggulung kemeja panjangnya hingga siku, menunjukkan sebuah jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. “Aku datang, hanya saja aku sedikit terlambat. Waktu itu aku memiliki pasien darurat, aku tidak bisa mengabaikan pasienku,” jelas Dikta dengan nada melembut, terdengar jelas penyesalan yang begitu dalam.
Delvia termenung, menatap jam tangan pemberiannya. Sekilas, Delvia kembali pada masa lalu. Andai dia tetap menunggu, apakah mereka akan memiliki akhir yang berbeda? Tidak! Tidak boleh, Delvia tidak boleh menapaki jejak masa lalu, langkahnya kini telah jauh ke depan. Dikta hanyalah sepenggal kisah singkat dalam hidupnya. “Aku tidak hidup di masa lalu lagi. Aku bukan Delvia yang lalu, dan Penyesalan tidak akan mengubah apapun!” tutur Delvia dengan lugas, seolah dia telah melupakan segalanya. Delvia kembali melangkahkan kakinya, tidak baik jika seseorang melihat mereka bersama di tengah malam.
“Aku mencintaimu Delvia Mayuri!”
Ry dukung Dikta tunggu jandanya Delvi
Om Ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan
Dikta yg sll ada buat Dy
Om Ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan
Dikta yg sll ada bersamanya bkn suaminya
Lagian suaminya sibuk selingkuh sesama jenis
Om Ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan
Suami mana peduli
Om Ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan
Devi di datangi pelakor yg merebut ayah nya lagi
Om ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan
jangan sampai Dikta terjerat oleh Hera
Om Ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan
Om ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan
Om Ocong Vs Mbak Kunti ngasih iklan