Virginia menjual keperawanan yang berharga pada Vincent demi menyelamatkan nyawa adiknya yang saat ini sedang koma. Namun, Vincent yang sedang mengalami prahara dalam hubungannya dengan sang mantan istri, menggunakan Virginia untuk membalas dendam pada sang mantan istri.
Vincent dengan licik terus menambah hutang Virginia padanya sehingga anak itu patuh padanya. Namun Vincent punya alasan lain kenapa dia tetap mengungkung Virginia dalam pelukannya. Kehidupan keras Virginia dan rasa iba Vincent membuatnya melakukan itu.
Bahkan tanpa Vincent sadari, dia begitu terobsesi dengan Virginia padahal dia bertekat akan melepaskan Virginia begitu kehidupan Virgi membaik.
Melihat bagaimana Vincent bersikap begitu baik pada Virgi, Lana si mantan istri meradang, membuatnya melakukan apa saja agar keduanya berpisah. Vincent hanya milik Lana seorang. Dia bahkan rela melakukan apa saja demi Vincent.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon misshel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tuduhan
"Astaga, Lana!" Nungki berjalan cepat menyongsong Lana pulang sekitar jam 9 malam. Mukanya carut marut tak keruan, rambutnya kusut, "kenapa kamu berantakan gini?"
Tentu Nungki khawatir melihat keadaan Lana. Pulang larut begini, badan kacau balau, kusut parah. Astaga, Nungki berpikir yang bukan-bukan.
Namun bukan sambutan penuh kekhawatiran ibunya yang menjadi fokus Lana saat ini. Matanya justru tertuju pada dua orang yang sedang menatapnya saat ini.
"Kalian berdua sedang apa disini?!" Lana mengabaikan mamanya, berjalan dengan tangan menghardik lelaki yang tak lain adalah Setya Nugraha, ayah dari Arfayuda beserta pengacara keluarga besar Nugraha, Arifin Sudiro.
Arif berdiri, memberi salam Lana lalu, dengan tindakan terukur dan profesional, menjelaskan maksud dan tujuan mereka kesini. Ini adalah tugasnya, ketika kliennya sulit mengendalikan diri, maka dia yang maju untuk memberi penjelasan agar pihaknya tidak terlalu dirugikan.
"Malam, Bu Lana. Tujuan saya kemari adalah karena ingin mengonfirmasi bahwa Bu Lana dan Mas Arfa hari itu berada dalam satu mobil—"
"Itu tidak benar!" Lana melotot hingga bola matanya berguncang saat memotong ucapan Arifin. "Saya tidak bersama Arfa saat itu! Dia membawa pergi mobil saya! Arfa selalu mengancam akan membunuh saya jika saya tidak patuh pada perintahnya! Ini adalah salah Arfa sendiri, dia sudah menganiaya saya, mengancam saya jika saya tidak membantunya menutupi kejahatannya hari itu!"
Lana begitu emosional, sampai-sampai Nungki takut dibuatnya. Nungki mendekat untuk berusaha menenangkan Lana, namun Lana justru maju dan menuding Setya Nugraha.
"Anda—anda yang menutup-nutupi kasus ini, kan, Pak? Anda ingin saya saja yang dikambinghitamkan, demi citra baik Bapak dan keluarga besar Bapak yang terhormat itu! Bapak ingin hanya saya saja yang dipenjara, kan?"
"Tolong tenang, Bu Lana!"
"Saya tidak akan diam saja, Pak Arif! Setelah uang saya habis untuk membiayai mobil saya yang rusak parah, saya masih harus menanggung dosa Arfa?" Lana mendelik, nyaris histeris. Setiap kata yang keluar dari mulut Lana terdengar seperti petir.
Setya Nugraha berdiri, menghela napas panjang dan berat usai menerima tudingan kasar Lana. Kantung mata pria itu cukup jelas terlihat, menandakan dia bekerja sangat keras belakangan.
"Lana, harusnya kita bisa bicarakan semuanya agar kalian tidak terlalu menderita kerugian." Setya Nugraha berkata cukup tenang dan persuasif. "Jika kamu mau kerjasama di awal, ini seharusnya tidak terjadi. Jadi bagaimana kalau kita bicarakan ulang saja semuanya."
Lana terdiam, sedikit terpengaruh. Disaat hatinya galau, ucapan lembut menenangkan membuatnya goyah.
Setya Nugraha hanya bisa mengurangi tuntutan hukum atas Arfayuda, jika Lana mau bersaksi bahwa semua itu bukan disengaja. Bisa saja nanti Lana mengatakan Arfayuda mengemudi dibawah pengaruh minuman beralkohol atau obat-obatan, sehingga ia hanya perlu rehabilitasi. Itu terlihat manusiawi dari pada terlihat ugal-ugalan dan melarikan diri dari tanggung jawab moral. Lagipula, korbannya masih bisa diselamatkan.
Semua tuntutan saat ini memang hanya mengarah dan memberatkan Arfayuda. Lana bisa bebas tanpa dicecar macam-macam sebab ia mau bekerja sama dengan polisi untuk menunjukkan dimana Arfa kemungkinan bersembunyi.
Tuntutan makin berat karena hal itu juga. Bahkan Setya kini juga mendapat tuntutan hukum karena dianggap melindungi penjahat.
"Jadilah saksi Arfa, Alana! Saya akan memberi kamu kompensasi yang pantas! Saya hanya punya Arfa yang saya besarkan sendirian selama ini!" Setya hampir berlutut jika saja Arifin tidak mencegah.
"Maaf, Pak! Tapi selain saya tidak berada di tempat kejadian, saya tidak mau lagi berurusan dengan keluarga Bapak! Saya cukup menderita bersama anak Bapak selama ini! Kini saya kembali ke keluarga saya yang menerima saya!"
Lana dengan tegas menolak permintaan Setya, sebab dia tidak ingin salah berucap yang akan menyebabkan dirinya kembali ke penjara. Kejadian hari itu cukup menjadi masa lalu saja, Lana enggan mengingatnya lagi.
"Kamu harus memikirkannya lagi, Lana! Aku tahu kamu menyimpan rekaman video dalam mobil dimana hari itu kamu dan Arfa bertengkar!" Setya menjadi tidak sabar. Ia murka dan kehilangan wibawa yang mati-matian ia pertahankan sejak melihat Lana. Semua itu tidak berguna ketika menghadapi manusia laknat seperti Lana.
Lana mundur, "Saya tidak menyimpan bukti apapun! Saya hanya diserahi mobil ringsek oleh Arfa, dan membawanya ke bengkel tanpa mengutak-atik mobil itu sama sekali!"
Sejenak Lana menarik napas, kemudian dengan amat sangat menyakinkan, ia berkata lagi. "Saya dinyatakan bebas karena saya tidak bersalah! Jika anda merasa saya terlibat, sebaiknya anda bertanya pada polisi, mereka yang menyatakan saya tidak terlibat kejadian hari itu!"
Setya menjadi kalap dan siap menerjang Lana. "Kamu penipu, Lana! Kamu pembohong! Kamu udah bikin anak saya celaka, udah bikin masa depan anak saya hancur! Kamu tidak tahu kalau hanya dia satu-satunya harapan saya, Lana—"
"Pak tolong tenang!" Arifin memegangi tubuh Setya Nugraha yang siap menyerbu Lana. "Kita tidak boleh gegabah atau kita akan rugi sendiri!"
Nungki menarik Lana menjauh seraya menjerit histeris. "Kalian pergi dari rumah anak saya! Jangan kemari lagi atau saya laporkan kalian berdua! Pergi! Anak saya tidak salah, anak saya sudah bebas! Jangan bicara macam-macam tentang anak saya!"
Nungki dengan tangannya sendiri mengusir Setya dan Arifin. Dia mendorong pria-pria gagah itu keluar dari rumahnya seraya terus mengomel, sesekali menyahuti makian Setya.
"Kamu pembunuh, Lana."
"Anak kamu yang pembunuh, Setya! Anak kamu yang jahat! Jangan nuduh anak saya! Jangan asal bicara kamu, ya!"
Lana menjatuhkan diri di sofa ketika Nungki menutup pintu dan menguncinya. Nungki bersandar di pintu seraya mengatur napas. Napas tuanya sungguh menyebalkan.
"Lana, kita harus bayar satpam! Kita udah nggak aman!" Nungki berbicara setelah beberapa saat mereka terjeda keheningan.
"Kita dapat uang dari mana, Ma?" Lana menoleh malas. "Vincent hanya kasih aku 5 juta sebulan. Rumah segede ini juga butuh biaya yang nggak sedikit, lalu kudu bayar satpam juga!"
Nungki melangkah ke sofa, mengambil posisi duduk disebelah Lana.
"Lana, jujur sama Mama sebenarnya hari itu kamu nggak ikut Arfa naik mobil kan?" Nungki menyelidik. Tadi kata Arifin dan Setya, Lana berusaha mencekik Arfa dari belakang, tapi Arfa berhasil melepaskan diri. Sialnya, ketika tangan Arfa lepas kemudi, mobil hilang kendali dan menabrak seorang pengendara motor.
Lana berdiri, lalu dengan ketus berkata. "Semua itu tidak akan terjadi jika Arfa lebih jantan jadi pria! Aku lelah dipermainkan oleh Arfa! Pria tidak berguna itu bahkan pantas mati!"