Naira berbalik menghadap Nauval ."wah kalungnya bagus Nai ,ada huruf inisial N," Kata Naira sambil tersenyum.
"N untuk Naira, N untuk Nauval juga, jadi di mana pun kamu nanti nya akan selalu ingat sama aku Nai ," Kata Nauval sambil tersenyum.
"Bisa aja kamu Val , makasih ya, aku akan jaga baik baik Kalung ini ,"ucap Naira senang sambil memeluk Nauval.
Nauval terdiam saat Naira memeluknya,ada rasa nyaman yang dia rasa, seakan tidak mau jauh lagi dari sahabat nya itu.dia membalas pelukan itu sambil mengusap kepala Naira .
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naura Maryanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 25 Pertemuan tidak terduga
Nauval berjalan cepat di koridor sekolah, pikirannya masih dipenuhi dengan kejadian di kelas tadi. Dia tidak habis pikir mengapa Naira tiba-tiba bersikap dingin padanya. Padahal, mereka baru saja berbaikan setelah pertengkaran kecil beberapa hari lalu. Nauval merasa ada yang aneh, seperti Naira menyembunyikan sesuatu darinya.
Saat melintasi ruang musik, Nauval mendengar suara piano yang merdu. Dia terkesima dan terhenti sejenak, ingin tahu siapa yang memainkan melodi indah itu. Dari balik pintu setengah terbuka, Nauval melihat Naira duduk di bangku piano, jari-jarinya menari lincah di atas tuts. Matanya terpejam, fokus pada musik yang mengalir dari hatinya.
Nauval terpaku, terpesona oleh keindahan Naira saat memainkan piano. Dia tidak pernah tahu Naira memiliki bakat terpendam seperti ini. Nauval merasa semakin penasaran dengan Naira, ingin tahu lebih banyak tentang gadis yang selama ini membuatnya penasaran.
"Kau suka musik klasik?" Suara Naira tiba-tiba memecah lamunan Nauval. Dia tersentak dan buru-buru masuk ke ruangan.
"Eh, Naira! Aku tidak tahu kau bisa bermain piano," kata Nauval, matanya masih tertuju pada Naira yang kini membuka matanya dan menatapnya dengan senyum tipis.
"Hanya hobi," jawab Naira singkat, lalu bangkit dari bangku piano. "Kenapa kau di sini?"
"Aku sedang mencari toilet," jawab Nauval, sedikit gugup. "Eh, kau mau ikut ke kantin? Aku lapar."
Naira mengangguk, "Baiklah, ayo."
Saat mereka berjalan menuju kantin, Nauval tidak bisa menahan rasa penasarannya. "Naira, kau kenapa tadi di kelas? Kau terlihat kesal," tanya Nauval.
"Tidak apa-apa," jawab Naira, matanya menatap lurus ke depan.
"Kau bohong," tegur Nauval. "Kau bisa jujur padaku."
Naira menghela napas. "Aku hanya... sedikit lelah," jawabnya.
"Lelah? Kenapa?" Nauval bersikeras.
"Aku tidak ingin membicarakannya," jawab Naira, suaranya sedikit meninggi.
Nauval terdiam, dia tidak ingin memaksa Naira. Namun, dia merasa ada yang tidak beres. Dia bertekad untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Naira
Nauval dan Naira sampai di kantin, suasana ramai dengan para siswa yang sedang menikmati makan siang. Nauval memilih meja pojok yang sepi, berharap bisa berbicara dengan Naira dengan lebih leluasa.
"Kau mau makan apa?" tanya Nauval, matanya tidak lepas dari Naira yang sedang memilih makanan di etalase.
"Aku tidak terlalu lapar," jawab Naira, "Aku hanya ingin minum saja."
Nauval mengangguk, lalu mengambil minuman untuk Naira. Dia memperhatikan Naira yang terlihat murung, matanya menerawang ke arah yang tidak jelas.
"Naira, kau kenapa sih? Cerita sama aku," desak Nauval.
Naira menghela napas panjang. "Sebenarnya..." dia terdiam sejenak, ragu-ragu untuk melanjutkan.
"Sebenarnya apa?" tanya Nauval, sedikit khawatir.
"Aku... aku punya masalah keluarga," jawab Naira, suaranya berbisik.
"Masalah keluarga? Apa yang terjadi?" Nauval semakin penasaran.
"Aku tidak ingin membicarakannya," jawab Naira, matanya berkaca-kaca.
Nauval merasa iba melihat Naira yang tertekan. Dia tahu Naira bukanlah tipe orang yang suka mengeluh, jadi pasti masalah yang dihadapinya sangat serius.
"Baiklah, kalau kau tidak ingin cerita, tidak apa-apa," kata Nauval, "Tapi, aku ada untukmu jika kau butuh seseorang untuk diajak bicara."
Naira tersenyum tipis, "Terima kasih, Nauval."
Mereka terdiam sejenak, menikmati minuman mereka dalam suasana yang hening. Nauval merasa ada ikatan batin yang terjalin di antara mereka. Dia ingin membantu Naira, ingin meringankan beban yang sedang dipikulnya.
"Naira, bolehkah aku menanyakan sesuatu?" tanya Nauval.
"Apa?" jawab Naira, matanya menatap Nauval.
"Kau... kau kenapa tadi di kelas? Kau terlihat kesal," tanya Nauval.
Naira terdiam, matanya kembali berkaca-kaca. "Aku... aku hanya ingat tentang kejadian masa lalu," jawabnya, suaranya bergetar.
"Kejadian masa lalu? Apa yang terjadi?" Nauval penasaran.
"Aku tidak ingin mengingatnya," jawab Naira, "Aku hanya ingin melupakan semuanya."
Nauval merasa semakin penasaran dengan masa lalu Naira. Dia bertekad untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi, agar dia bisa membantu Naira untuk melupakan masa lalunya.
"Naira, kau bisa cerita padaku," kata Nauval, "Aku akan mendengarkanmu."
Naira terdiam, matanya menatap Nauval dengan penuh harap.
"Baiklah," kata Naira, "Tapi, janji kau tidak akan menceritakannya kepada siapa pun."
"Aku janji," jawab Nauval.
Naira pun mulai bercerita tentang masa lalunya, tentang kejadian pahit yang pernah dia alami. Nauval mendengarkan dengan saksama, hatinya teriris mendengar cerita Naira.
"Aku tidak pernah menyangka kau memiliki masa lalu yang sulit," kata Nauval, setelah Naira selesai bercerita.
"Aku juga tidak pernah menceritakannya kepada siapa pun," jawab Naira, "Aku takut orang-orang akan memandangku berbeda."
"Tidak, Naira," kata Nauval, "Aku tidak akan memandangmu berbeda. Aku justru semakin mengagumimu karena kau mampu melewati masa sulit itu."
Naira tersenyum, matanya berkilauan. "Terima kasih, Nauval," katanya.
Nauval merasa lega karena Naira akhirnya mau membuka hatinya padanya. Dia bertekad untuk selalu ada untuk Naira, untuk mendukungnya dalam menghadapi masa sulit yang sedang dia alami.
"Naira, aku ingin kau tahu bahwa aku selalu ada untukmu," kata Nauval.
"Terima kasih, Nauval," jawab Naira, "Aku sangat beruntung memiliki teman sepertimu."
Nauval tersenyum, hatinya terasa hangat. Dia merasa hubungannya dengan Naira semakin dekat, semakin erat.
"Ayo, kita kembali ke kelas," ajak Nauval.
Naira mengangguk, "Baiklah."
Mereka pun berjalan kembali ke kelas, meninggalkan kantin yang ramai. Nauval merasa bahagia karena bisa membantu Naira, dan dia yakin bahwa hubungan mereka akan semakin kuat di masa depan.