🥈JUARA 2 YAAW S2 2024 🏆
Perceraian, selalu meninggalkan goresan luka, itulah yang Hilda rasakan ketika Aldy memilih mengakhiri bahtera mereka, dengan alasan tak pernah ada cinta di hatinya, dan demi sang wanita dari masa lalunya yang kini berstatus janda.
Kini, setelah 7 tahun berpisah, Aldy kembali di pertemukan dengan mantan istrinya, dalam sebuah tragedi kecelakaan.
Lantas, apakah hati Aldy akan goyah ketika kini Hilda sudah berbahagia dengan keluarga baru nya?
Dan, apakah Aldy akan merelakan begitu saja, darah dagingnya memanggil pria lain dengan sebutan "Ayah"?
Atau justru sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#33
#33
Aldy terdiam menatap benda pipih panjang yang kini Widya tunjukkan kepadanya. Kali terakhir adalah ketika Widya menunjukkan benda tersebut kala usia pernikahan mereka menginjak 1 bulan.
Saat itu Aldy begitu bahagia, hingga membuatnya lupa bahwa ada kemungkinan mantan istrinya pun sedang mengandung anaknya.
Kini kembali menatap benda yang seharusnya membuat ia tersenyum bahagia, namun ia hanya bersikap datar sedatar perasaannya pada wanita yang tak lain adalah istrinya sendiri.
Bagaimana mungkin ia sanggup tersenyum, jika putranya masih sakit ketika ia tinggal kembali ke Jakarta. Andai tak ada Irfan yang menjaga Ammar, mungkin hingga kini ia masih akan tetap berada di kota gudeg tersebut.
Berita baiknya adalah Ammar sudah diizinkan pulang oleh dokternya.
“Mas, kok gak senyum sih, apa kamu gak bahagia kita akan memiliki bayi lagi?” Tanya widya penasaran. Sementara Widya sudah sangat bahagia, ia pun berangan-angan kehamilannya kali ini akan membuat hubungannya dengan sang suami kembali membaik
Aldy masih juga tak mampu menunjukkan perasaan bahagia, karena Wanita yang selama ini mendampingi perjalanannya rupanya sudah menikung dan menyuguhkan kebohongan.
Selepas perseteruan hebatnya dengan Widya, khayalnya kerap nakal berandai-andai. andai Hilda dan Ammar masih berada di pelukannya, tentu berita kehamilan kedua ini akan membuatnya semakin bangga dan bahagia. Tapi kenyataannya, jangankan memeluk Hilda, bahkan kini terang-terangan memandang wanita itu saja menjadikannya seorang pria pendosa yang lancang mengagumi istri orang.
“Mas …” Widya membuat lamunan Aldy buyar. “Mas, kamu gak bahagia? Ini anak kamu loh, anak kita.” Widya mencoba meyakinkan Aldy, dengan wajah yang dibuat-buat sedikit cemberut kesal, namun ia harus kecewa ketika kini tatapan Aldy tak lagi seperti dahulu.
“Aku senang, sudah ya, aku lapar, tapi mau mandi dulu.”
Aldy meninggalkan Widya yang kini mematung kecewa. Semarah itukah Aldy padanya hingga bahkan kehamilan keduanya saja tak mampu membuat Aldy tersenyum seperti dahulu.
Padahal Widya sudah menuruti keinginan Aldy, untuk menjual semua tas branded dan sebagian perhiasan mahalnya, bahkan yang paling ekstrim, mematikan panggilan telepon kedua orangtuanya jika mereka kembali meminta uang. Semua ia lakukan demi meluluhkan kemarahan Aldy, ditambah berita kehamilannya kini, tapi sepertinya hal ini belum mampu merubah sikap suaminya.
Widya tak tahu, betapa fatal perbuatannya, mencuri, selama bertahun-tahun ia melakukan perbuatan tersebut tanpa rasa berdosa, hal itulah yang membuat Aldy masih bersikap dingin padanya hingga saat ini.
Beberapa waktu berlalu, makan malam pun usai, “Pa… Ma… ada berita bahagia yang ingin kami sampaikan.” Widya memberanikan diri angkat bicara, karena sepertinya Aldy tak berminat menyampaikan kabar bahagia kehamilannya pada kedua orangtuanya.
Pak Johan yang hendak berdiri meninggalkan meja makan, kembali duduk. Bahkan Alika kembali duduk, walau tak begitu peduli dengan berita bahagia yang hendak disampaikan adik iparnya.
Aldy menyilangkan kedua tangannya di dada, bersiap mendengarkan perkataan sang istri.
“Kami… akan kembali memiliki bayi.”
Tanpa basa-basi, Widya mengatakan berita baik tersebut, namun respon senyum bahagia yang Widya harapkan nyatanya tak seperti kenyataan yang ia terima.
Bu Retno memang bahagia, tapi ia hanya tersenyum biasa saja, sementara Alika menyipitkan matanya, senyumnya tampak misterius, semisterius kehidupan pribadinya.
“Syukurlah, karena Papa sudah tak sabar menantikan cucu laki-laki sebagai penerus keluarga, walah banyak orang mengatakan, laki-laki atau perempuan sama saja, tapi tetap saja, garis keturunan keluarga, hanya bisa diteruskan oleh seorang anak laki-laki.”
Seumur-umur, ini adalah kalimat terpanjang yang widya dengar dari Ayah mertuanya, entah kenapa ia kesal, jadi apakah benar dugaannya selama ini, bahwa Pak Johan benar-benar belum bisa menyayangi Reva seratus persen.
Satu persatu anggota keluarga meninggalkan meja makan, termasuk Aldy yang segera menuju kamar Reva, karena hingga saat ini ia masih enggan tidur satu kamar dengan sang istri.
Tinggallah Alika yang masih menatap Widya dengan pandangan tak suka. “Yakin anak itu, milik Aldy?”
Widya tercengang, dadanya bergemuruh hebat, sakit sekali ketika ada yang meragukan darah daging suaminya seakan akan milik pria lain. “Jaga kata-kata mu kak, itu sama saja dengan tuduhan perzinahan.”
Alika mengibaskan tangan di depan wajahnya sendiri, “Oh iya? whatever, kita lihat saja nanti.”
Kemudian kakak perempuan Aldy itu pun melenggang pergi, kembali ke kamarnya.
Widya mengepalkan tangannya hingga urat urat di wajahnya ikut menyembul, “awas saja kamu kak, kamu pikir aku tak tahu perihal aib perceraianmu, lihat saja nanti, aku tak akan tinggal diam jika kamu berani mengusik keberadaan ku dan anak-anak ku.”
.
.
Kekhawatiran seolah masih belum ingin beranjak pergi meninggalkan keluarga Irfan dan Hilda, pasalnya usai keluar dari rumah sakit beberapa hari lalu, kondisi Ammar belum terlihat membahagiakan.
Bocah yang biasanya aktif tersebut masih pucat dan seperti kehilangan energi, hari-harinya sepulang dari rumah sakit hanya ia habiskan di dalam rumah.
“Mas, makan yuk?” Bujuk Hilda untuk kesekian kalinya. Karena Ammar juga kehilangan selera makan secara drastis, hal ini membuat badan Ammar yang semula terlihat berisi, kini tampak tirus.
“Belum lapar, Bund.” Jawab Ammar tanpa semangat.
“Kalau malas makan, kapan sembuhnya?”
Ammar hanya menatap sang Bunda dengan bola mata sayu. “Pusing,” Keluh Ammar.
Setelah mendengar keluhan Ammar, Hilda menyingkap rambut yang menutupi kening Ammar, kemudian menempelkan telapak tangannya, “nggak demam.” Gumam Hilda.
Tapi alangkah terkejutnya Hilda, ketika ia memindahkan telapak tangannya dari kening Ammar, ia melihat ada memar kebiruan di sana.
“Mas… kepalanya habis terbentur??”
Ammar menggeleng.
“Mmm… atau habis jatuh??” Gilda kembali bertanya, namun jawaban Ammar tetap sama.
Wajah Hilda pucat, ini benar-benar belum pernah terjadi, belum lepas rasa takutnya ketika kemarin melihat Ammar mengeluarkan banyak darah melalui hidung, semakin hari wajahnya semakin pucat, dan kini ada memar tanpa sebab di kening Ammar.
Di Tengah kepanikan ponsel Irfan yang tertinggal di meja ruang tamu, tiba-tiba berbunyi.
Tak ada nama pada nomor si pemanggil. “Hallo…” Dengan perasaan was-was Hilda menjawab panggilan tersebut.
“Iya, Hallo, maaf mengganggu dengan wali pasien Ammar Rifaldy El-Amin?”
“Benar, saya Ibundanya, ini dari mana ya?”
“Oh, baik kalau begitu, saya Tito dari bagian laboratorium Rumah Sakit Bahagia, Bu.”
“Iya, silahkan pak Tito, ada yang bisa saya bantu.”
“Begini, Bu, ini terkait dengan permintaan Pak Irfan El-Amin, untuk melakukan pemeriksaan lanjutan pada pasien Ammar.”
Deg… rasanya Hilda tak siap dengan semua ini, jantungnya mulai berdetak tak karuan, tubuhnya berdesir panas dingin, karena kini mulai timbul prasangka buruk.
“Kami ingin menginformasikan, bahwa hasil pemeriksaan Laboratorium pasien sudah bisa langsung di konsultasikan dengan Dokter Raka, kami meminta konfirmasi, apakah nanti sore bisa ke rumah sakit untuk mengambil hasil pemeriksaan?”
“Apakah tidak bisa via telepon saja, Pak?”
“Oh, mohon maaf sebelumnya, Bu, tapi itu bukan wewenang kami.”
“Baiklah, nanti sore saya dan suami saya ke Rumah Sakit.”
Setelah petugas Laboratorium menyampaikan waktu praktek Dokter Raka, panggilan pun berakhir, menyisakan gundah gulana yang membuat perasaan Hilda semakin tak karuan.
andai..andai.. dan andai sj otakmu skrg