Ketika cinta hadir di antara dua hati yang berbeda keyakinan, ia mengajarkan kita untuk saling memahami, bukan memaksakan. Cinta sejati bukan tentang menyeragamkan, tetapi tentang saling merangkul perbedaan. Jika cinta itu tulus, ia akan menemukan caranya sendiri, meski keyakinan kita tak selalu sejalan. Pada akhirnya, cinta mengajarkan bahwa kasih sayang dan pengertian lebih kuat daripada perbedaan yang ada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faustina Maretta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Melihat keadaan Nisa
Tama duduk di sofa, menghela napas panjang sambil memandang Freya yang duduk di seberang. Kegelisahan tampak jelas di wajahnya, dan matanya menyiratkan dilema yang membebaninya. Dia mengusap rambutnya dengan gusar sebelum akhirnya berkata dengan suara lembut, namun serius. "Sayang, aku butuh keputusan darimu."
Freya menatapnya, merasa ada sesuatu yang penting yang hendak disampaikan oleh Tama. "Keputusan soal apa?" tanyanya dengan nada hati-hati.
Tama diam sejenak, lalu menghela napas lagi. "Kamu dengar sendiri bukan ucapan Ayah dan Ibuku? Dia ... butuh bantuan. Tapi aku tidak ingin melakukannya tanpa seizinmu. Kalau kamu mengizinkan, aku akan pergi menemuinya. Tapi kalau tidak, aku akan tetap di sini bersamamu."
Freya menggenggam tangannya erat di atas pangkuan, mencoba menenangkan diri. "Kenapa Nisa bisa mencintaimu sedalam itu? Kalian bahwkan belum pernah mengobrol," tanyanya, suaranya bergetar meski dia berusaha untuk tetap tenang.
Tama menatapnya, lalu menjawab pelan, "Dia sedang dalam situasi sulit. Aku belum tahu detailnya, tapi sepertinya serius. Aku hanya merasa mungkin aku bisa membantunya, setidaknya aku bisa memberikan pengertian kepadanya, bahwa hatiku sudah menjadi milik wanita lain."
Freya terdiam, berusaha memahami dilema di hatinya. Dia tahu bahwa dia bisa menahan Tama di sini, tidak membiarkan dia pergi menjemput kenangan masa lalu. Tapi apakah itu akan adil? Bukankah dia sebagai wanita, seharusnya bisa berempati pada apa yang mungkin dirasakan Nisa? Namun, cemburu adalah perasaan yang sulit diabaikan. Pikiran bahwa Tama mungkin bertemu lagi dengan Nisa, berdua dalam sebuah percakapan yang mungkin membuka kembali luka lama, membuat dadanya terasa sesak.
"Aku tidak tahu, Sayang," Suara Freya terdengar lemah, seolah-olah kata-kata itu menyeret semua kekuatan yang tersisa darinya. "Aku tahu dia butuh bantuan, tapi aku juga merasa cemburu. Aku tak ingin kamu kembali terlibat terlalu dalam dengan Nisa."
Tama mengangguk, matanya tetap terpaku pada Freya, penuh pengertian. "Aku mengerti, Freya. Aku tidak ingin menyakiti perasaanmu. Itu sebabnya aku ingin keputusannya ada di tanganmu. Aku hanya akan pergi jika kamu mengizinkannya. Kalau tidak, aku akan tetap di sini."
Freya menatap Tama, merasakan beban keputusan itu menghimpit dirinya. Bagian dari dirinya ingin Tama tetap di sini, aman bersamanya, jauh dari kemungkinan apapun yang bisa terjadi dengan Nisa. Namun, dia juga tahu bahwa menahan Tama hanya karena rasa cemburu mungkin bukan keputusan yang benar.
Setelah beberapa saat yang terasa seperti selamanya, Freya akhirnya menarik napas panjang dan berkata dengan suara pelan, "Pergilah ... bantulah Nisa untuk bangkit dan jangan rusak kepercayaanku kepadamu."
Tama berdiri dan menghampiri Freya, memegang tangannya dengan lembut. "Aku berjanji, Freya. Terima kasih karena sudah mempercayai aku."
Freya hanya bisa mengangguk, meski dalam hatinya masih tersimpan kecemasan yang tak terucap. Dia tahu bahwa keputusan ini tidak mudah, tapi setidaknya dia telah berusaha menjadi seseorang yang tidak dikendalikan oleh rasa cemburu semata.
***
Keesokan harinya, Tama melangkah menuju rumah Pak Rahmat, ayah Nisa. Dia merasa gugup, meski berusaha menjaga sikap tenang. Di dalam pikirannya, masih terbayang kata-kata Freya semalam. Freya telah mengizinkannya pergi, tapi Tama tahu dia tidak boleh mengecewakan wanita yang kini mengisi hatinya. Di sisi lain, Nisa adalah orang yang pernah diproyeksikan menjadi pendamping hidupnya. Namun, segalanya berubah sejak perjodohan itu batal.
Setelah tiba di rumah Pak Rahmat, dia mengetuk pintu perlahan. Tak lama, Pak Rahmat sendiri yang membuka pintu. Wajahnya tampak lelah, dengan mata yang menyiratkan kekhawatiran.
"Alhamdulillah, kamu datang, Tama. Nisa selalu menanyakanmu. Kondisinya ... tidak membaik. Dia tak mau makan, tak ingin melakukan apa pun, hanya bertanya tentang kamu," Pak Rahmat berkata dengan suara berat.
Tama mengangguk pelan, merasa bersalah karena tidak segera datang lebih awal. "Bolehkah aku menemuinya, Pak?" tanyanya lembut.
Pak Rahmat mengangguk dan mempersilakan Tama masuk. Dia dibawa menuju kamar Nisa. Pintu kamar terbuka perlahan, dan Tama melihat sosok Nisa yang terbaring lemah di tempat tidurnya. Wajahnya pucat, matanya tampak kosong, namun ketika dia melihat Tama berdiri di sana, ekspresi di wajahnya berubah. Ada secercah harapan yang muncul di matanya, meski tubuhnya tampak lelah.
"Tama ... kamu datang ..." suaranya lemah, tapi penuh kerinduan. Air matanya mulai mengalir, dan dia mencoba bangkit, meski tubuhnya terasa terlalu lemah.
Tama menghampiri, duduk di sisi tempat tidur, memegang tangan Nisa dengan lembut. "Aku di sini, Nisa. Bagaimana perasaanmu?" tanyanya pelan.
Nisa menggenggam tangan Tama erat-erat, seolah takut kehilangan lagi. "Kenapa kamu tidak pernah datang? Aku selalu menunggumu, Tama ... aku hanya ingin tahu kenapa kita tidak bisa bersama," ucapnya dengan suara yang lirih namun penuh dengan beban emosional.
Tama menunduk, mencari kata-kata yang tepat untuk menenangkan Nisa. "Maafkan aku, Nisa. Keadaan ini memang sulit. Tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku selalu peduli padamu, meskipun kita tidak bisa bersama," jawabnya dengan penuh kehati-hatian.
Nisa menggeleng pelan, air mata terus mengalir. "Aku tidak butuh penjelasan, Tama. Aku hanya ingin kamu tetap di sini ... bersamaku. Kamu satu-satunya alasan aku masih bertahan. Tanpa kamu, hidupku hampa."
Tama merasakan pergolakan dalam dirinya. Dia tahu Nisa mencintainya, dan mungkin rasa sakit ini adalah karena kegagalan hubungan mereka yang pernah direncanakan. Namun, dia juga tahu bahwa hatinya kini sudah dimiliki Freya, dan dia tidak ingin memberikan harapan yang salah pada Nisa.
"Nisa, kamu harus kuat. Aku selalu ingin yang terbaik untukmu. Tapi sekarang, yang paling penting adalah kesehatanmu. Kamu harus makan, harus sembuh. Aku akan selalu ada untuk mendukungmu, meski mungkin tidak seperti yang kamu harapkan," katanya lembut, berusaha menenangkan Nisa tanpa memberi janji yang tak bisa dia tepati.
Namun, Nisa hanya memandang Tama dengan tatapan pilu. "Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan tanpa kamu, Tama. Tolong jangan pergi lagi," ucapnya, suaranya terdengar hampir putus asa.
Tama merasa perih melihat kondisi Nisa, tapi dia tahu bahwa dia tidak bisa tinggal terlalu lama. Ada batas yang harus dia jaga, demi kebaikan Nisa dan Freya. "Aku tidak akan pergi jauh, Nisa. Tapi kamu juga harus berjanji untuk mulai makan dan menjaga kesehatanmu. Kita akan bicara lagi nanti, oke?" ujar Tama, mencoba menguatkan Nisa.
Nisa hanya bisa menangis dalam diam, sementara Tama tetap di sampingnya, menenangkannya. Hari itu terasa panjang dan berat, dan Tama tahu bahwa ini hanya awal dari masalah yang lebih dalam.
"Apa hebatnya wanita itu? Aku jauh lebih baik dari dia. Agama kita sama, Tama. Sedangkan ... sedangkan kau dan dia? Kau hanya menambah masalah, Tama. Aku mohon, tinggalkan dia dan datang kepadaku," pinta Nisa dengan menggenggam erat tangan Tama.
To be continued....