Kanaya terdiam terpaku melihat pemandangan yang ada di seberang dia. Galan - lelaki yang sudah menjalin hubungan selama dua tahun dengan dirinya tengah menggandeng mesra seorang perempuan. Galan Farrabi Altezza, dia adalah lelaki yang sama sekali tidak memiliki cacat dalam mengkhianati kepercayaan apalagi dia selalu menghargai perasaan yang dimiliki oleh Kanaya.
"Kita nikah tahun depan ya setelah kamu lulus kuliah." ucapan Galan masih terngiang jelas dalam pikiran Kanaya.
Masa depan yang selalu dia ungkapkan hanya untuk membahagiakan dirinya dan impian memiliki anak-anak yang lucu. Tapi rasanya semua itu menjadi petaka mimpi buruk untuk seorang Kanaya Shanifah Galianna Lubov.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon anyaaang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keputusan Meja Bundar
Kanaya meletakkan sambal goreng di meja makan. Dia tersenyum kecil melihat beberapa menu masakkan yang sudah dia masak tadi. Ada sambal goreng, ayam goreng lengkuas, tumis kangkung dan tempe bacem. Semua menu yang ada di meja makan adalah makanan kesukaan Galan. Pasti Galan akan senang saat dia bangun nanti.
"Hai sayang kamu udah bangun?" tanya Kanaya yang seketika melihat Galan muncul menghampiri dirinya. Sudah pasti dia mencium wangi masakan Kanaya yang sangat lezat.
Kanaya tersenyum dan langsung menghampiri Galan. Dia mengecup pipi Galan dengan penuh kelembutan. Itu lah Kanaya yang selalu mampu bersikap manis apalagi dia tahu kalau Galan tadi sangat marah besar. Berharap kalau Galan sudah meredakan emosi dia.
"Ayo duduk kita makan." Kanaya meraih tangan Galan dan menyuruh dia agar cepat duduk.
Galan melihat meja makan yang penuh dengan semua makanan kesukaan dirinya. Masakan Kanaya yang dia tahu rasanya sudah pasti enak-enak semua. Kanaya meletakkan segelas teh manis hangat buat Galan dan duduk di sebelahnya.
"Kamu mau makan apa. Aku ambilin ya sayang. Aku tau kamu pasti belom makan hari ini." tebak Kanaya yakin. Dia ingat karena tadi waktu Galan menghampiri dia adalah sekitaran jam makan siang lewat. Sudah pasti dia akan mengajak Kanaya makan siang bersama seperti biasanya.
"Aku mau langsung balik, Nay. Nanti aku makan di rumah aja."
Kanaya menghentikan gerakkannya saat dia ingin mengambilkan nasi putih untuk di piring Galan. Dia menoleh ke arah Galan yang tidak menatap dirinya. Hanya duduk bersandar dengan raut yang memang masih menyimpan kekecewaan.
Kanaya menghela nafas dan berusaha tersenyum. Dia tahu kalau kesalahan dirinya memang tidak mudah dimaafkan oleh Galan kali ini soal Dafandra. Apalagi Galan memang tidak melakukan apa-apa. Entah apa motif Dafandra bisa mengatakan seyakin itu. Kanaya benar-benar menyesal bisa terpengaruh oleh akalnya Dafandra.
"Yaudah kalo gitu aku bungkusin aja ya sayang."
"Nggak usah, Nay. Aku bisa pesen aja nanti lagian aku belom lapar."
"Tapi ini kan makanan kesukaan kamu semua. Aku sengaja buatin semuanya buat kamu tadi pas kamu masih tidur." nada Kanaya sedikit sedih melihat Galan yang memang tidak mau makan masakan buatan dirinya. Padahal tadi dia mengira kalau Galan akan senang melihat dia yang sudah masak semua masakan kesukaan dirinya.
Galan hanya diam dan malah begegas beranjak dari duduknya. Kanaya langsung ikut bangun dan buru-buru menghampiri Galan yang ingin keluar dari apartemen.
"Galannnn! Kamu mau kemana?" tanya Kanaya yang meraih tangan Galan. Genggaman tangan Kanaya bikin Galan menghentikan langkahnya.
"Aku mau pulang. Kamu makan sendiri ya atau... kamu bisa ngasih makanan kamu buat Dafandra." ucap Galan tersenyum kecil. Masing terngiang-ngiang ucapan terima kasih Dafandra atas makanan pemberian dari Kanaya tadi.
"Kenapa kamu bilang gitu? Jelas-jelas aku masakkin semua makanannya kesukaan kamu."
"Oh ya? Aku bahkan nggak tau selama ini yang kamu masakkin adalah memang karena makanan kesukaan aku atau kesukaannya Dafandra juga. Tapi nggak apa-apa kok, Kanaya kalo kamu emang pengen kasih makanan buat Dafandra lagi. Aku yakin dia pasti akan seneng banget kayak tadi. Kamu jadi bisa ngobrol atau ketemu lagi sama dia." ucapan Galan semakin menyindir sikap Kanaya pada Dafandra.
Sindiran Galan masih menandakan kalau dia belum meredakan kekesalannya sama sekali. Tapi Kanaya juga melihat kalau Galan memang sangat kecewa tentang sikap Kanaya hari ini. Perasaan kesal, marah, kecewa dan harapan yang menjadi kosong. Bahkan Kanaya merasa kalau Galan meratapi dirinya yang sia-sia dengan segala usaha dia selama ini.
"Galan aku bener-bener minta maaf soal hari ini. Maafin aku ya. Tapi aku emang udah nggak ada apa-apa sama Dafandra. Aku juga nggak niat ketemu sama dia. Itu tadi bener-bener nggak sengaja."
Galan mengangguk-anggukkan kepalanya memperlihatkan dia yang memang selalu menaruh kepercayaan pada Kanaya. Sekaligus dia juga memberitahu Kanaya atas perbedaan sikap rasa percaya Kanaya terhadap dirinya. Sikap Kanaya yang mungkin selalu mencurigai sikap Galan.
"Kanaya... mungkin kamu harus mikirin baik-baik sebelum kamu mutusin buat nerima aku di dalam hidup kamu." ucap Galan kemudian. Nada yang terdengar ragu tapi juga pasti.
Genggaman tangan Kanaya menjadi mengendur dan melepaskan tangan Galan yang sempat dia genggam untuk menahan kepergiannya tadi. Galan menatap Kanaya dengan sangat dalam. Dia menarik nafasnya yang terasa berat dan berusaha tersenyum.
"Aku minta kamu mikirin semuanya matang-matang ya sebelom kamu ngambil keputusan buat nerima aku ke dalam kehidupan kamu selamanya." Galan semakin menjelaskan kata-katanya.
Ucapan Galan membuat bendungan air mata Kanaya menjadi penuh. Berat sekali bagi dia harus mengatakan itu apalagi pada sosok perempuan yang sangat dia sayangi dengan luar biasa. Tapi Galan yakin kalau ucapan dia akan membawa kepada tujuan yang baik untuk satu sama lain. Dia juga tidak ingin Kanaya menyesal meski pun Galan tidak akan pernah rela melepaskan seorang Kanaya pada siapapun.
"Ma-maksud kamu apa?" tanya Kanaya meneteskan air matanya yang sudah tidak bisa dia tahan lagi. Sakit sekali mendengar ucapan Galan pertama kali yang terdengar ragu akan keputusan mereka yang sudah dipikirkan secara matang-matang.
"Pikirin apa kamu benar-benar mau nikah sama aku apa nggak, Kanaya. Ini adalah masalah pernikahan yang nantinya akan kita jalani buat serius dan nggak main-main. Pernikahan itu bukan cuma sehari, dua hari, seminggu, sebulan, setahun, dua tahun tapi selamanya. Aku nggak pengen kamu nyesel buat mutusin nikah sama aku."
"Aku nggak akan pernah nyesel buat mutusin nikah sama kamu, Galan. Kenapa kamu ngomong gini? Apa kamu jadi ragu sekarang?"
"Mungkin pertanyaan itu sebaiknya kamu bisa tanyain sama diri kamu, Kanaya. Siapa diantara kita yang paling sering ragu? Siapa diantara kita yang paling sering naruh kecurigaan atau rasa ketidakpercayaan? Jawabannya kamu bisa tanya sama diri kamu sendiri ya. Mungkin kalo kamu udah yakin kamu bisa ngasih keputusan sama aku. Aku akan terima apapun keputusannya. It's okay." ungkapan Galan membuat Kanaya terdiam dengan air matanya. Nada Galan terdengar berat sekali.
"Aku cuma nggak pengen kalo kita udah nikah nanti yang akan kita lalui cuma saling curiga terus, Kanaya. Karena aku pengen bener-bener menghabiskan waktu sama kamu dengan hati yang saling nyaman, tenang dan bisa percaya satu sama lain." Galan menambahkan penjelasannya. Ungkapan hati dan pikiran dia untuk menata masa depan bersama Kanaya.
Galan melemparkan senyumannya. Dia tahu kalau mungkin keputusannya terdengar egois apalagi perbedaan umur pada Kanaya dengan dirinya. Tapi Galan yakin ungkapan yang dia lontarkan barusan bisa membuat Kanaya mampu berpikir secara baik. Pernikahan yang dilandaskan agama adalah suatu keseriusan dan tidak akan bisa main-main. Butuh pemikiran yang matang dan tentu saja rasa percaya.
Galan menghela nafas dan melangkahkan kakinya keluar dari apartemen Kanaya. Dia meninggalkan Kanaya yang mulai terisak-isak dengan tangisannya.
Aku tidak tahu kenapa semuanya menjadi rumit. Bahkan aku tidak pernah ragu untuk mengambil keputusan dalam menerima dia untuk masuk hidupku selamanya. Aku juga yakin kalau aku tidak akan menyesal karena aku tahu dia sangat menyayangi aku. Apakah salah jika keraguan itu sempat datang saat aku memang mendengar atau mengetahui dirinya yang mengutarakan dengan tidak sesuai pada kenyataannya? Bagaimana pun aku hanya lah seorang perempuan yang tidak bisa mengontrol sepenuhnya apa yang aku rasakan. Aku hanya berusaha mengungkapkan apa yang memang aku rasakan dan aku hadapi ~Kanaya
Berat sekali mengucapkan pada dia untuk berpikir ulang dalam menerima aku ke dalam hidupnya selamanya. Aku benar-benar tidak mau dia menyesali dengan segala keputusannya. Mungkin itu lebih baik aku yang merasa sakit daripada aku melihat dia yang malah menyesal menerima aku. Aku benar-benar ingin memiliki dia sepenuhnya. Aku tidak mau dia menjadi ragu atau tidak percaya sedikit pun. Karena aku tahu kalau keraguan dan rasa curiga akan membuat seseorang menjadi lelah. Apalagi kita akan hidup selamanya dan bukan sementara. Maka yang aku inginkan dia bisa berpikir yang matang-matang untuk menjadi istri aku ~Galan
***