Anton Nicholas Akbar, 27 tahun, sebelumnya bernama Anton Nicholas Wijaya. Arsitek muda dari B Group dengan jabatan sebagai Direktur Divisi Architecture & Landscaping di B Group.
Hal yang baru ia sadari, ternyata dia bukanlah yang dia kira. Dia bukan cucu kandung di Keluarga Wijaya. Dia bukan orang Indonesia. Dia juga bukan lelaki biasa karena darah biru yang mengalir dari orangtuanya.
Tanda lahir berbentuk bulan sabit biru, membuatnya harus menerima takdirnya sebagai penerus dari Legenda Bulan Sabit Biru juga sebagai satu-satunya pewaris Wang Corporation di Negeri Cina.
Sebelum itu, ia harus menemukan Gadis Lotusnya agar dapat memenuhi takdirnya. Sebagai pewaris dan juga sebagai Pangeran Bulan Sabit Biru.
Dibantu para Naga yang merupakan sahabatnya juga mafia Spanyol dan Yakuza untuk melawan Kelompok Belati Hitam yang tergabung dalam TRIAD.
Novel sekuel dari 3 novel sebelumnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ough See Usi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 23 – RUANGAN PENUH ASAP
...🌷biasakan beri like di setiap babnya, jangan menabung bab agar sistem bisa melakukan penilaian retensi pembaca, dimohon kerjasamanya 🌷
...
...----------------...
Agung beberapa kali menatap ke arahnya dengan pandangan menyelidik saat mereka sarapan.
“Are you fine?” Agung menyendokkan nasi uduk ke dalam suapannya.
Dirinya mengangguk.
“Lu jadi lebih pendiam. Tidak seperti biasanya, Ton,” menuangkan teh tawar untuk Anton, “Masih memikirkan tentang mimpi buruk Lu?”
Dirinya mengangguk lagi.
“Kata Rasulullah Shallallahu Alayhi Wasallam, mimpi buruk itu tidak untuk diceritakan. Tapi kalau sekiranya itu begitu mengganggu pikiran Lu, It’s OK kalau Lu mau menceritakannya kepada gue.”
Dirinya menggeleng. Terdiam untuk berpikir. Matanya mengerjap lambat.
“Justru karena itu, Bang. Gue lupa dengan sebagian besar mimpi gue. Padahal mimpinya begitu terasa nyata.”
“Gak ada bekas luka di kedua tangan Lu kan?” tanya Agung.
Anton menggeleng.
“Rasa sakitnya sudah menghilang, tapi rasa linunya masih ada. Gue terbangun saat angin membawa gue terbang di atas bunga lotus yang mekar, dan tangan gue sedikit basah pada saat gue bangun.”
“Keringat,” Agung menggigit perkedel jagungnya, “Kaos Lu basah kuyup saat gue bangunin Lu.”
“Abang kenapa kepikiran untuk membangunkan gue?”
“I don’t know,” Agung mengangkat kedua bahunya, “Gue merasa Lu dalam bahaya. Di dalam dada gue ada yang bergerak dengan gelisah.”
“Naga Putih?” tangan Anton menggenggam erat sendoknya.
Agung sejenak berpikir. Lalu mengangkat kedua bahunya.
“Maybe.”
Suara gawai mereka berbunyi bersamaan. Agung membuka pesannya sedangkan Anton tetap menyantap nasi uduknya dalam diam. Setengah melamun.
“Lu gak baca WAG?” Agung menyentuh lengannya.
Anton menggeleng.
“Gue lagi gak ingin baca WAG.”
“Mereka membicarakan Nainai yang ingin hijrah mengikuti Lu, Ton.”
Anton mengangguk.
“Gue bahagia. Gue senang akhirnya Nainai satu server dengan gue. Tapi gue khawatir dengannya...”
“Lu jangan meremehkan Nainai. Juga jangan menilai Nainai seolah Nainai itu lemah...,” Agung mengingatkan.
Anton tertegun.
“Gue hanya gak tega membayangkan Nainai akan mengalami hal yang sama dengan gue dulu, Bang.”
“Nainai pasti sudah memikirkan hal itu. Yang harus Lu lakukan sekarang ini adalah berikan dukungan Lu kepada Nainai.”
Anton mengangguk.
“Pastinya.”
“Tentang keselamatan Nainai, jangan khawatir, kita semua pasti akan menjaganya bersama-sama.”
Anton mengangguk lagi. Dia menumpuk kotak thinwall wadah nasi uduk mereka. Membawanya ke kitchen sink lalu mencucinya.
Benaknya berusaha mengingat mimpi yang semalam tetapi tidak bisa. Seperti ada yang memblokir ingatannya. Sama dengan ingatan masa kecilnya. Meskipun sudah di hipnotis oleh Hana tetapi alam bawah sadarnya pun menolak untuk masuk ke masa itu.
Kepalanya terasa nyeri. Berdenyut kencang. Berusaha abai dengan rasa sakitnya.
Mencoba mengingat sejauh mana ia teringat masa kecilnya.
“Ingatannya tidak melulu tentang ingatan peristiwa atau kejadian yang pernah Lu alami, Ton,” begitu kata Hana sesaat sebelum terapi hipnotis ia lakukan, “Tetapi juga sekedar kilasan warna, benda yang Lu lihat, aroma yang Lu cium, rasa makanan ataupun minuman...”
Dan sekarang ia mencoba lagi. Sambil mengelap tangannya di hand towel yang digantungkan di atas kitchen sink-nya.
Mundur dari ingatan saat Damian menertawakannya saat ia didorong hingga jatuh oleh Aline. Tubuh keduanya jauh lebih tinggi darinya.
Grace berlari ke arahnya. Menarik tangannya untuk berdiri. Tangan Grace kecil. Sama kecilnya dengan tangannya. Kulit tangannya tidak mulus. Ada beberapa bintik merah, bekas gigitan nyamuk.
Terlihat jelas di matanya. Mata kecilnya saat itu. Lengan Grace sangat dekat dengan wajahnya. Dia masih mendengar suara tawa Damian yang mengejek.
Lengan dalam Grace. Entah ada apa dengan lengan dalam Grace kecil, kenapa sekarang begitu melekat dalam ingatannya. 3 bintik merah sejajar. Satu bentol kemerahan.
Dia ingat semuanya dengan jelas. Dia meraih tangan Grace. Tidak melepaskannya walau suara tawa Damian terdengar semakin menggila.
Dan detik berikutnya ia mendengar suara jeritan Grace. Baju mereka basah kuyup. Aline menyiram mereka dengan air dalam ember bekas mencuci peralatan berkebun.
Dirinya tetap diam. Dirinya tetap memegangi lengan Grace. Lengan dengan bintik merah.
Dan kilasan itu datang tiba-tiba.
Dua lengan putih pria dewasa dengan tato yang timbul pada lengan dalam kanan dan kirinya. Terulur ke arahnya. Tato naga.
Nyuuuuttt!!
Hunjaman nyeri yang menusuk terasa di kepalanya. Rasanya seperti membelah tempurung kepalanya.
Lengan putih yang terulur kepadanya. Tato naga yang timbul yang menghias lengan dalamnya.
Naga.
Semalam ia melihat banyak naga dalam mimpinya. Naga yang jahat. Menyerangnya.
Penglihatannya sekarang, tato naga pada lengan pria dewasa yang terulur padanya. Naga yang berbeda.
Melemparkan ingatan mimpinya semalam. Saat tongkat naga menghantam punggungnya. Belati hitam yang terarah padanya. Tepat ke jantungnya...
Dan semuanya menggelap. Ia masih bisa mendengar teriakan Agung memanggilnya sebelum tubuhnya menyentuh lantai.
***
Sebagai seorang arsitek yang sudah berpengalaman, dia tahu, ini ruangan yang sama dengan yang ia datangi dalam mimpinya semalam.
Pilar-pilar besar itu tidak bisa menipu matanya walau sekarang berubah warna. Letak pilar juga jumlahnya sama persis.
Lantainya sekarang lantai kayu yang mengkilap. Lantai kayu yang dipelihara dengan baik dan cermat. Sering digosok dan dipoles.
Tidak ada kursi yang seperti singgasana lagi. Tidak ada kursi hitam berukir naga yang mengerikan pada bagian pegangan kursinya.
Ia berjalan dengan hati-hati melangkah ke tengah ruangan.
Ada 4 orang tetua yang berjanggut panjang berwarna putih. Memakai hanfu sutera berwarna biru tua. Mereka duduk di atas karpet berwarna kuning mengelilingi bokor berisi dupa. Bokor berkaki naga dengan hiasan tubuh naga di kanan dan kirinya.
Anton menunduk. Mengecek dirinya yang ternyata juga mengenakan hanfu warna biru gelap dengan lengan warna putih. Ada gambar bulan dan pohon bambu pada bagian bawah hanfunya.
Seorang dari mereka berdiri. Melambaikan tangannya ke arahnya. Memintanya untuk mendekat.
Dirinya mendekat. Penuh sikap waspada. Keempat wajah para tetua di hadapannya terlihat asing. Ia sama sekali tidak mengenali mereka.
Ia diarahkan untuk duduk di tengah mereka. Memastikan alas duduknya bersih, ia duduk bersila.
Ia tidak peduli saat melihat wajah para tetua terlihat tidak setuju dengan posisi duduknya.
Seorang di antara mereka menghela nafas panjang.
“Kau ingin tahu masa lalumu? Masa lalu yang disembunyikan oleh orang yang katanya menyayangimu?”
Anton mengernyit.
“Masa lalumu itu menyakitkan. Terlalu menyakitkan bahkan bagi kami para tetua. Leluhurmu. Mungkin itu sebabnya mereka menyembunyikannya darimu. Tapi kamu sudah dewasa sekarang. Sudah saatnya tabir masa lalumu disingkap.”
Ia tidak menyetujui apapun. Ia tidak mengiyakan apapun.
Tapi sebuah tangan menyentuh dahinya. Tepat di antara matanya.
“Kamu akan melihatnya. Fùqīn_ayah_ dan Mǔqīn_ibu_ kamu. Kamu merindukan mereka kan?”
Hatinya terasa nyeri mendengarnya.
Matanya terasa pedih. Asap semakin pekat memenuhi tempat duduknya. Ini bukan aroma hio. Ini... Aromanya terhidu manis lembut, tubuhnya merasa rileks semakin ia menghirup udara berasal di sekitarnya.
Dan ia melihat semuanya. Ia dalam gendongan seorang pria muda yang tampan. Kemudian dalam buaian wanita muda yang cantik.
Mereka berwajah bahagia. Dan ia masih balita. Aura kebahagian menyeruak. Mereka tertawa bersama. Rasa sebak begitu penuh di dada Anton dewasa.
“Mereka kedua orangtua kandungmu.”
Airmata terasa membasahi pipinya. Wajah keduanya begitu indah dilihat. Melebur berpadu menjadi wajahnya.
Penglihatannya, mereka berada di atas air yang luas. Pijakan mereka bergoyang teratur ke kanan dan ke kiri dengan lembut. Seperti menaiki wahana ayunan raksasa.
Seseorang berteriak memberitahukan sesuatu. Terdengar panik. Dirinya yang sedang dalam gendongan ayahnya diserahkan kepada ibunya. Mereka masuk ke dalam ruangan.
Ibunya menangis sambil memeluknya erat. Ayahnya memeluk mereka berdua. Dia bisa merasakan kecemasan kedua orangtuanya. Dia bisa merasakan ketakutan mereka.
Dan kemudian semuanya terjadi begitu cepat.
Serombongan pria berbaju serba hitam memasuki ruangan mereka berada. Semuanya mengenakan kupluk wajah berwarna hitam.
Ayahnya menghalangi mereka. Mencegah mereka untuk mendekati dirinya dan ibunya.
Seorang dari mereka berteriak dengan marah. Mencabut pistol di pinggangnya. Langsung membidik kepala ayahnya.
Letusan terdengar diikuti suara jeritan ketakutan dan putus asa ibunya. Tubuh ayahnya ambruk.
Ibunya memeluknya semakin erat. Dia mulai berbicara entah pada siapa.
“Kau tahu tugasmu. Ingat sumpahmu kepada kami.”
Tubuh ibunya didorong. Membentur dinding ruangan bahkan kepala Anton pun ikut membentur dinding.
Ia tidak tahu apa-apa. Tiba-tiba dinding ruangan berubah menjadi merah. Tubuh ibunya merosot ke lantai dengan dirinya yang terhimpit tubuh ibunya dan dinding ruangan.
Pipi dan kepalanya basah oleh cairan hangat dan lengket.
Ia tidak tahu apa-apa. Saat ia melihat wajah ibunya tergolek di atas lantai menatap dirinya dengan senyumnya seperti biasa.
Wajahnya saja yang berada di lantai. Sementara tubuhnya masih memeluknya dengan erat bersandar pada dinding.
Kepala ibunya terpisah dari lehernya. Tidak jauh dari wajah ayahnya yang berdarah pada keningnya dari luka berbentuk bundar sempurna.
.
🌷
*bersambung*
🌷
Agung dan Anton.
Naga dan Bulan Sabit Biru.
Catatan Kecil:
Hanfu atau disebut pakaian Orang Han adalah pakaian tradisional Cina yang dipakai pada masa Dinasti Han, 206- 220 SM.
Indah dan rumitnya Hanfu mempengaruhi mode pakaian tradisional negara tetangganya, termasuk Hanbok Korea, kimono Jepang, Ryukyuan ryusou, dan áo giao lĩnh Vietnam.
🌷
Bagaimana?
Suka ceritanya?
Bantuin Author untuk promosikan novel ini ya.
Jangan lupa like, minta update, sawerannya, subscribe dan beri penilaian bintang 5nya ya🥰
Follow akun Author di Noveltoon 😉
Love you more, Readers 💕
Jangan lupa baca Qur’an.
🌷❤🖤🤍💚🌷
Selalu do’akan kebaikan untuk negeri yang sedang tidak baik-baik saja.
💙🔵🔵🔵🔵🔵🔵💙
(Tergantung Mimin nge-review-nya 🤭)
cerita keren abis dan selalu dinanti.
semangat teteh.. kalau bisa double up 😊