Reyn Salqa Ranendra sudah mengagumi Regara Bumintara sedari duduk di bangku SMA. Lelah menyimpan perasaannya sendiri, dia mulai memberanikan diri untuk mendekati Regara. Bahkan sampai mengejar Regara dengan begitu ugal-ugalan. Namun, Regara tetap bersikap datar dan dingin kepada Reyn.
Sudah berada di fase lelah, akhirnya Reyn menyerah dan pergi tanpa meninggalkan jejak. Pada saat itulah Regara mulai merindukan kehadiran perempuan ceria yang tak bosan mengatakan cinta kepadanya.
Apakah Regara mulai jatuh cinta kepada Reyn? Dan akankah dia yang akan berbalik mengejar cinta Reyn?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fieThaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25. Tersiksa Rasa Cinta
Reyn tak bisa memejamkan mata. Ungkapan tulus dari hati Rega membuat hatinya gamang. Rega tak meminta jawaban, tapi Reyn dibuat gundah tak karuhan.
"Selama empat tahun ini aku dengan susah payah mengubur cinta yang aku miliki. Tapi, sekarang kamu malah hadir dengan cinta yang lebih besar dari apa yang pernah aku miliki."
Hembusan napas kasar keluar dari mulutnya. Reyn. Langkah kakinya membawanya menuju balkon. Padahal, ini sudah tengah malam dan Reyn duduk sendiri di sana. Tidak sendiri sebenarnya, dia ditemani oleh makhluk tak kasat mata sahabat Reyn.
"Dia begitu tulus, Reyn," ucap Tante Pocita karena memang ketika Rega datang mereka memperhatikan dari kejauhan.
"Galaknya Sasa saja hilang di depan dia," tambah om Poci.
"Entahlah! Aku hanya tak ingin nantinya dia menderita karena penyakitku."
"Reyn, jangan berkata seperti itu," larang mbak kunkun berbaju merah.
Reyn menatap empat teman astralnya itu. Dia tersenyum begitu pilu.
"Kalian melihat kan apa yang akan terjadi padaku? Kalian pun sudah tahu waktunya. Hanya saja mulut kalian terbungkam."
Mereka berempat menunduk dalam. Dan Reyn hanya tersenyum banyak arti.
"Aku tahu waktuku sudah semakin dekat. Aku tahu kalian dan Mamiku hanya tengah menghiburku."
"Aku tak memerlukan itu. Aku sudah di fase ikhlas karena jika aku hidup pun aku akan menyusahkan banyak orang. Aku tidak mau."
"Reyn, jangan bicara seperti itu. Kami gak suka," ujar mbak kunkun Putih.
"Kenapa? Bukannya kalau aku mati aku bisa bergabung dengan kalian?" Mereka berempat menggeleng.
"Justru kita gak akan pernah bisa ketemu lagi."
Tiba-tiba keempat teman Reyn pergi karena tak sanggup menahan tangis mereka. Jika, mereka menangis balkon kamar Reyn akan dipenuhi darah.
"Kenapa kalian memperlakukan aku begitu baik?"
Reyn memejamkan mata sambil menikmati angin malam yang tak baik untuk kesehatan. Namun, dari terpaan angin itu dia merasakan ketenangan yang tak bisa dia ungkapan. Sayangnya itu tak bertahan lama. Bayang wajah Rega kini muncul di kepala.
"Inilah yang aku takutkan. Kembali ke sebuah rasa yang pernah ada."
Paginya Reyn tak lantas keluar kamar. Dia menarik laci yang ada di meja belajar. Sebuah album foto dia ambil. Lalu, dia buka secara perlahan. Setiap foto yang Reyn ambil memiliki cerita tersendiri. Satu per satu foto itu dia pandangi. Reyn seperti kembali ke enam tahun lalu di mana hanya ada keceriaan yang Reyn tunjukkan kepada Rega.
"Sekarang sudah berbeda. Waktu begitu kejam merubah semuanya," gumam Reyn.
Reyn kembali bekerja. Dia juga sudah siap dengan gunjingan dari mereka. Dugaan Reyn tak meleset. Reyn digunjing habis-habisan hingga dia hanya bisa menundukkan kepala.
Reyn bisa bernapas lega ketika dia sudah masuk ke dalam ruangannya. Ternyata Rega belum tiba. Setelah meletakkan tas, Reyn melangkahkan kaki menuju meja kerja sang manager. Tak ada yang aneh karena meja itu tersusun begitu rapi. Namun, pandangannya tertuju pada figura yang tertelungkup. Diraihnya dan itu membuat Reyn terdiam. Figura itu berisi foto dirinya bersama Rega.
"Sudah hampir tiga tahun foto itu menemani aku."
Reyn segera menoleh dan ternyata Rega baru saja datang. Dia berjalan menghampiri Reyn dengan senyum yang mengembang.
"Kamu adalah penyemangat ku untuk fokus bekerja karena aku harus memiliki banyak uang untuk mencari keberadaan mu."
Reyn memalingkan wajahnya. Dia mulai meletakkan kembali figura yang dia pegang. Dan hendak berlalu dari sana. Sayangnya, Rega mampu mencekal tangan Reyn.
"I love you."
Reyn kembali menatap Rega. Senyum yang penuh ketulusan terlihat jelas. Rega benar-benar membuktikan bahwa dia tak akan pernah lelah mengatakan cinta kepada Reyn sampai Reyn muak mendengarnya.
Rega terus seperti itu setiap hari. Meskipun Reyn terus menghindar akan tetap dia kejar. Bahkan mulut para karyawan yang menggunjing Reyn mampu dia bungkam dengan ancaman yang tak main-main. Dia tak ingin Reyn merasa tak nyaman.
Beberapa divisi dipanggil oleh direktur utama. Di mana mereka untuk dua hari ke depan diharuskan pergi ke Bandung untuk mengikuti rapat tahunan Wiguna Grup nasional. Wajah Rega sudah berubah. Enggan rasanya dia pergi. Namun, dirinya harus tetap berangkat.
"Aku berangkat," ujar Rega sambil mengusap lembut ujung kepala Reyn.
"Jangan buat aku cemas." Refleks kepala Reyn pun mengangguk.
"Kenapa kamu memperlakukanku seperti ini, Kak?"
Dua hari bagai waktu yang begitu lama untuk Rega. Padahal di sana rapat sambil liburan, tapi tidak untuk Rega. Pikirannya tertuju pada Reyn yang berada di Jakarta.
Rega selalu menyempatkan waktu untuk mengirim pesan kepada Reyn. Meskipun, dibalasnya lama Rega tetap tak masalah yang terpenting pesannya dibalas oleh Reyn.
Akhirnya meeting tahunan selesai. Harusnya Rega menikmati waktu bersantai sampai malam karena besok pagi rombongan baru kembali ke Jakarta. Namun, Rega memilih pulang sekarang. Rasa rindu dan cemasnya kepada Reyn sudah tak tertahan. Dia pulang dengan menggunakan kertas cepat yang disinyalir hanya akan memakan waktu dua sampai tiga jam.
Jam enam sore Rega tiba di Jakarta. Bukan rumah yang dia tuju melainkan kantor. Tak dia hiraukan perutnya yang keroncongan karena belum makan.
Tibanya di kantor Wiguna Grup Rega segera menuju lantai di mana ruangannya berada. Pintu ruangan dia tekan dan Reyn yang masih berada di mejanya menegakkan kepala ketika mendengar pintu ruangan terbuka. Tanpa Reyn duga Rega berlari menuju dirinya dan memeluknya dengan begitu erat.
"Aku gak akan bisa jauh dari kamu."
Tetiba hati Reyn mencelos. Dia yang masih membeku akhirnya membalas pelukan erat Rega. Mengusap punggung Rega dengan begitu lembut.
Reyn menyerahkan gelas berisi air kepada Rega yang sudah bersandar di sofa. Wajahnya nampak begitu lelah.
"Mau pesen makan apa? Biar aku--"
"Gak usah," jawabnya sangat pelan.
"Aku hanya butuh kamu untuk menghilangkan lelahku."
Tangan Reyn pun Rega tarik hingga tubuh Reyn terduduk di atas sofa. Tanpa Reyn duga, Rega mulai meletakkan kepalanya di pangkuan Reyn dan tangan kanan Reyn pun dia peluk dengan begitu erat.
"Kak--"
"Ijinkan seperti ini dulu. Sebentar saja."
Reyn menatap ke arah pria yang sudah tertidur di pangkuannya. Dia baru saja dikirimkan video di mana mereka yang ikut meeting sedang bersantai. Juga ada pesta kecil-kecilan yang disiapkan perusahaan. Namun, Rega malah memilih untuk pulang dibandingkan menikmati pesta.
Perlahan, tangan Reyn mulai membenarkan rambut Rega. Dia dapat melihat jelas kesempurnaan wajah lelaki yang pernah dia kejar. Sungguh sangat tampan. Kepala Rega sedikit bergerak. Reyn segera menjauhkan tangannya.
"Andai dulu kamu sedikit peka, kira tak akan pernah tersiksa oleh rasa cinta."
....**** BERSAMBUNG ****.....
Komen dong