Ryu dan Ringa pernah berjanji untuk menikah di masa depan. Namun, hubungan mereka terhalang karena dianggap tabu oleh orangtua Ringa?
Ryu yang selalu mencintai apel dan Ringa yang selalu mencintai apa yang dicintai Ryu.
Perjalanan kisah cinta mereka menembus ruang dan waktu, untuk menggapai keinginan mereka berdua demi mewujudkan mimpi yang pernah mereka bangun bersama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AppleRyu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25 : Kabar Buruk
Beberapa minggu telah berlalu sejak pertengkaran hebat dengan Hana. Kehidupanku masih terasa seperti medan perang emosional, tetapi aku mulai melihat sedikit cahaya di ujung terowongan. Laura, dengan sabar dan penuh kasih, selalu ada di sisiku. Dia memberikan dukungan yang sangat kubutuhkan dalam masa-masa sulit ini.
Suatu sore, saat matahari mulai terbenam, aku dan Laura duduk di gazebo kebun apel. Angin sepoi-sepoi membawa kesejukan yang menyegarkan, tetapi aku bisa merasakan ada sesuatu yang ingin Laura bicarakan. Dia menatapku dengan mata penuh kasih, tetapi juga penuh ketegasan.
"Ryu," katanya pelan, suaranya lembut namun tegas. "Aku ingin kita berbicara serius tentang sesuatu."
Aku menatapnya, merasakan sedikit kekhawatiran. "Apa itu, Laura?"
Laura menghela napas panjang sebelum melanjutkan. "Aku tahu kau telah melalui banyak hal akhir-akhir ini. Pertengkaran dengan Hana, perasaan bersalah, dan semua drama yang mengikutinya. Aku melihat betapa beratnya bagimu."
Aku mengangguk, merasa kegetiran itu kembali mengalir dalam diriku. "Ya, semuanya terasa begitu berat. Aku merasa seperti aku telah gagal dalam banyak hal."
Laura menggenggam tanganku erat. "Kau tidak gagal, Ryu. Kau hanya manusia yang mencoba melakukan yang terbaik dalam situasi yang sulit. Tapi ada satu hal yang ingin aku minta darimu."
Aku menatapnya dengan penuh perhatian. "Apa itu, Laura?"
"Aku ingin kau berhenti membahas Ringa," kata Laura dengan suara tegas. "Aku tahu dia adalah bagian besar dari hidupmu, tetapi jika kita ingin maju dan membangun masa depan bersama, aku perlu kau fokus pada kita, bukan masa lalu."
Aku terdiam, merenungkan kata-katanya. Ringa memang selalu menjadi bagian besar dari hidupku, tetapi aku tahu bahwa Laura benar. Terus membahas dan merenungkan masa lalu hanya akan menghalangi kemajuan kita.
"Aku mengerti, Laura," kataku akhirnya. "Aku akan berusaha untuk tidak membahas Ringa lagi. Aku ingin fokus pada kita dan masa depan kita."
Laura tersenyum, matanya bersinar dengan kehangatan. "Terima kasih, Ryu. Itu sangat berarti bagiku. Aku tahu ini tidak mudah, tetapi aku percaya kita bisa melewati ini bersama-sama."
Aku merasakan beban yang sedikit terangkat dari dadaku. Dengan kehadiran Laura di sisiku, aku merasa lebih kuat dan lebih siap untuk menghadapi apa pun yang datang. "Aku juga percaya pada kita, Laura. Terima kasih telah selalu ada untukku."
Laura menatapku dengan penuh kasih. "Aku mencintaimu, Ryu. Dan aku akan selalu ada di sini untuk mendukungmu, apa pun yang terjadi."
"Aku juga mencintaimu, Laura. Terima kasih telah memberikan kesempatan kedua padaku," jawabku dengan penuh perasaan.
Kami berdua duduk dalam keheningan yang nyaman, menikmati kebersamaan yang tenang. Matahari perlahan-lahan tenggelam di ufuk barat, membawa serta harapan baru untuk hari esok. Aku tahu bahwa perjalanan ini masih panjang dan penuh tantangan, tetapi dengan Laura di sisiku, aku merasa siap untuk menghadapi semuanya.
Malam itu, setelah percakapan mendalam dengan Laura di gazebo kebun apel, aku duduk sendirian di kamar, merenungkan semuanya. Pikiranku melayang-layang, berusaha memahami perasaan dan keputusan yang telah diambil.
Aku mulai berpikir untuk melupakan Ringa. Cerita tentang Ringa hanyalah bagian dari masa lalu, dan mungkin, Laura adalah masa depanku. Meskipun keputusan ini berat, aku tahu bahwa ini adalah langkah yang tepat jika aku ingin benar-benar maju dan membangun sesuatu yang indah dengan Laura.
Seiring waktu berlalu, aku menyadari bahwa terlalu lama aku terjebak dalam bayang-bayang masa lalu. Kenangan tentang Ringa, meskipun indah, juga dipenuhi dengan kepedihan dan penyesalan. Aku menyadari bahwa terus merenungkan masa lalu hanya akan menghalangi langkahku ke depan.
Aku bangkit dari tempat tidur, berjalan menuju jendela, dan menatap ke luar. Langit malam begitu tenang, dengan bintang-bintang berkelap-kelip. Dalam keheningan malam, aku menemukan kedamaian yang aneh. Mungkin ini adalah tanda bahwa aku harus benar-benar melepaskan masa lalu dan fokus pada apa yang ada di depanku.
Namun, keesokan harinya, saat matahari mulai menyinari bumi, aku mendengar kabar yang mengubah segalanya. Kabar itu datang begitu tiba-tiba, menghancurkan semua harapan dan kebahagiaan yang baru saja mulai tumbuh.
Aku sedang bersiap-siap untuk pergi bekerja ketika ponselku berdering. Dengan cepat, aku menjawab panggilan itu, tidak menyadari bahwa kabar buruk menantiku di ujung sana. Suara di seberang sana terdengar cemas dan penuh kepanikan.
"Ryu, ini aku, Nia. Aku tidak tahu bagaimana mengatakannya... Laura mengalami kecelakaan pagi ini. Dia... dia meninggal di tempat."
Dunia seakan berhenti sejenak. Suara Nia terdengar seperti gema yang jauh dan tak nyata. Aku tidak bisa mempercayai apa yang baru saja kudengar. "Apa? Tidak, itu tidak mungkin. Laura baik-baik saja tadi malam. Kami berbicara tentang masa depan kami."
Nia menangis di seberang telepon. "Aku tahu, Ryu. Ini sangat mendadak. Mobilnya bertabrakan dengan truk. Dokter bilang dia meninggal seketika."
Ponsel jatuh dari tanganku, dan aku terduduk di lantai, terkejut dan tak percaya. Air mata mulai mengalir tanpa henti. Kehilangan Laura begitu mendadak, begitu tak terduga, menghancurkan seluruh dunia yang baru saja kami bangun bersama.
Hari-hari berikutnya adalah mimpi buruk. Semua orang datang memberikan dukungan dan belasungkawa, tetapi tidak ada yang bisa mengisi kekosongan yang ditinggalkan Laura. Setiap sudut kebun apel, gazebo kebun apel, novel yang dia tulis dan dia ceritakan, setiap kenangan kecil tentang dirinya, semuanya terasa begitu menyakitkan. Aku merasa seolah-olah sebagian dari diriku ikut mati bersama kepergiannya.
Aku ingat saat-saat indah yang kami habiskan bersama. Senyumannya yang hangat, tawanya yang ceria, kata-katanya yang penuh kasih. Semua kenangan itu kini menjadi duri dalam hati yang terus-menerus menusukku dengan kepedihan yang tak terperi.
Hari pemakaman Laura tiba. Langit mendung, seolah-olah ikut merasakan kesedihan yang meliputi hati semua orang yang hadir. Aku berdiri di depan makam, menatap peti yang perlahan-lahan diturunkan ke dalam tanah. Air mata mengalir tanpa henti, dan rasa sakit kehilangan begitu nyata.
Di tengah-tengah kesedihan ini, aku melihat sosok yang tak asing mendekat. Ringa. Dia berdiri di sana, tampak terpukul dan penuh rasa bersalah. Pandangan mata kami bertemu, dan sejenak, waktu terasa berhenti. Kehadirannya membawa kembali semua kenangan lama, menambah beban emosional yang sudah berat.
Ringa tak berani mendekat, karena mamanya menemaninya, mamanya menjaga Ringa agar tidak mendekatiku.
Aku tidak tahu harus berkata apa. Bagian dari diriku ingin marah, menyalahkannya atas semua kekacauan emosional yang terjadi, tetapi aku juga tahu bahwa ini bukan salahnya. Ringa tidak ada hubungannya dengan kecelakaan Laura, tetapi kehadirannya di sini membuat semuanya terasa lebih rumit.