Kinanti Amelia, remaja pintar yang terpaksa harus pindah sekolah karena mengikuti ayahnya.
Ia masuk ke sekolah terbaik dengan tingkat kenakalan remaja yang cukup tinggi.
Di sekolah barunya ia berusaha menghindari segala macam urusan dengan anak-anak nakal agar bisa lulus dan mendapatkan beasiswa. Namun takdir mempertemukan Kinanti dengan Bad Boy sekolah bernama Kalantara Aksa Yudhstira.
Berbekal rahasia Kinanti, Kalantara memaksa Kinanti untuk membantunya belajar agar tidak dipindahkan keluar negeri oleh orang tuanya.
Akankah Kala berhasil memaksa Kinan untuk membantunya?
Rahasia apa yang digunakan Kala agar Kinan mengikuti keinginanya?
ig: Naya_handa , fb: naya handa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naya_handa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kekhawatiran
Selama perjalanan pulang dari cafe membuat Kinanti berkeringat dingin. Karena mereka keluar di jam bubar kerja, sehingga jalanan benar-benar padat dan mereka harus rela antri bersama kendaraan lain. Kala terus mencari peluang sekecil apapun, menyalip satu kendaraan dan kendaraan lainnya demi mengantar Kinanti pulang dengan selamat dan tidak terlambat.
Katanya ayahnya biasa tiba di rumah selepas maghrib maka mereka harus tiba sebelum itu.
“Kal, hati-hati, ini padet banget. Aku takut kita malah tersangkut.” Protes Kinanti. Melihat truk container yang berderet membuat ia ngeri sendiri. Ia merasa kalau Kala terlalu arogan.
“Cukup percaya sama aku, aku udah janji untuk nganter kamu pulang dengan selamat.” Ucap Kala dengan penuh kesungguhan.
Ia menarik tangan Kinanti agar melingkar di pinggangnya lalu menepuknya pelan untuk menenangkannya. Kinanti sampai kaget dengan yang dilakukan Kala dan sedikit menarik tubuhnya menjauh.
“Berpeganganlah dengan erat.” Ucap Kala saat merasakan Kinanti menjauhinya.
“Iya.” sahut Kinanti. Ia menyembunyikan wajahnya di balik punggung, malu sendiri saat mata tajam Kala meliriknya dari spion.
Lampu merah berganti hijau, saat melihat peluang di depan Mata, Kala segera menarik gasnya dan melesatkan kuda besinya menuju bundaran terakhir menuju rumah Kinanti. Rasanya seperti terbang karena kecepatan motor Kala tidak kira-kira.
Kinanti berpegangan dengan erat, ucapan Kala barusan bukan isapan jempol belaka, ia memang harus berpegangan.
Tiba di depan rumah, lampu-lampu sudah menyala. Mobil Lukman juga sudah terparkir di halaman rumah.
“Ayah udah pulang.” Seru Kinanti dengan terkejut. Ia segera turun dari motor Kala sampai lupa untuk melepas helmnya.
Kala turun dengan santai, menyusul Kinanti yang sudah ada di depan pintu.
“Kal, kamu ngapain ikut turun.” Kinanti terlihat ketar-ketir. Baru kali ini ia di antar pulang oleh laki-laki dan itu adalah Kala. ia tidak tahu harus menjawab apa jika nanti Lukman bertanya siapa laki-laki yang datang bersamanya.
“Itu helm aku masih kamu pake.” Kala beralasan.
“Astaga, iya aku lupa. Sebentar,” cepat-cepat Kinanti melepas helm nya tapi kenapa susah sekali.
“Kinan, kamu udah pulang nak?” suara Lukman terdengar dari dalam rumah.
“I-iya ayah.” Sahut Kinanti yang semakin panik.
“Aduh, ini kenapa kok susah banget sih Kal?” Kinanti jadi kesal sendiri pada helm yang di pakainya.
“Apanya yang susah, tekan aja ininya.” Dengan mudah Kala menekan pengait helm di bawah leher Kinanti dan benar saja, helm nya lepas dengan mudah.
“Hah, syukurlah. Makasih ya Kal.” Kinanti segera membenamkan helm di tangan Kala.
“Kamu pulang lah, ini udah malem. Hati-hati di jalan.” Imbuh Kinanti.
“Hah, aku pulang?” Kala menatap Kinanti dengan bingung. Gadis ini bahkan tidak menyuruhnya mampir.
“Iyaa, pulang lah. Kita ketemu lagi besok di sekolah.” Kinanti mendorong Kala agar segera pulang. Ia tidak mau Lukman bertemu dengan Kala.
“Kinan, kok gak masuk nak?” Lukman membuka pintu rumahnya untuk mengecek Kinanti.
Kinanti yang sedang mendorong Kala agar pulang pun segera menoleh dengan wajahnya yang tegang.
“Hheehe, ayah.” Ia tersenyum kaku pada sang ayah.
“Selamat malam om,” sapa Kala, saat melihat wajah bingung Kinanti dan wajah Lukman yang tidak asing.
“Malam. Ini temennya Kinan?” rupanya Lukman masih mengenali Kala.
“Iya ayah. Tapi dia udah mau pulang kok.” Kinanti menarik jaket Kala agar tidak mendekat pada sang ayah.
“Nggak masuk dulu?” Lukman menatap putrinya dengan bingung, kenapa Kinanti begitu tegang pikirnya.
“Nggak ayah, dia harus pergi ke tempat kerjanya. Iya kan Kal?” Kinanti menatap Kala dengan mata melotot.
“I-iya om. Saya masih ada pekerjaan. Saya pamit ya om.” Aku Kala, mengamini ucapan Kinanti. Ia menyalimi Lukman dengan sopan.
“Oh iya, hati-hati di jalan. Lain kali, masuk dulu lah.” Lukman dengan sambutannya yang ramah.
Kinanti sampai bingung karena biasanya Lukman selalu bersikap sinis pada teman-teman pria Kinanti. Tapi kenapa kali ini begitu ramah, pikirnya.
“Iya om. Selamat malam, om.” Pamit Kala.
“Malam,” Lukman melambaikan tangannya pada Kala yang sudah di dorong-dorong oleh Kinanti agar segera pergi.
Remaja itupun segera memakai helmnya dan naik ke atas motornya. Sebelum pergi, ia membunyikan klaksonnya.
“Yuk, hati-hati.” Sahut Lukman yang tersenyum lebar.
Kinanti sampai bingung, bagaimana bisa Lukman begitu baik pada Kala.
“Ayah kira, kamu gak kenal sama anak itu.” Komentar Lukman saat mengajak Kinanti masuk.
“Loh, emang ayah kenal?” Kinanti menutup pintu dengan rapat sementara perhatiannya masih pada laki-laki yang sudah sarungan tersebut.
“Iya, ayah ketemu dia di jalan dua hari lalu.” Kenang Lukman. Ia melepas tas sekolah Kinanti dan menaruhnya di atas meja.
“Berat banget tas Kinan, bawa apa aja sih?” Lukman penasaran.
“Buku lah ayah. Tapi bentar, ayah jangan ngobrolin yang lain dulu. Kinan mau tau gimana ceritanya ayah bisa ketemu Kala?” Kinanti langsung duduk dan menunggu jawaban sang ayah.
“Ayah ketemu dia di jalan, pas dia lagi di palak genk motor. Dia dipukulin sampe babak belur.” Kenang Lukman, mengingat kejadian malam itu.
“Hah, terus gimana?” Kinanti benar-benar terkejut. Ia mulai paham mengapa beberapa hari lalu wajah Kala di penuhi luka.
“Ya ayah bunyiin klakson sambil teriak-teriak kalau ada polisi. Akhirnya genk motor itu pergi ketakutan.”
“Tapi ayah gak diapa-apain kan sama genk motor itu?” Kinanti menatap sang ayah dengan khawatir.
“Ya nggak lah. Kinan liat sendiri ayah sehat bugar begini.”
Lukman merentangkan tangannya untuk menunjukkan kalau ia sehat tanpa kurang satu apapun. Hanya perutnya saja yang semakin membuncit, mungkin faktor usia.
“Syukurlah. Ayah kenapa gak cerita? Kinan gak tau apa-apa loh ayah.”
“Ya ayah harus cerita apa, ayah kan gak kenapa-napa. Ayah sehat dan bahagia. Kurang apa lagi coba?”
Kinanti tidak menimpali, ia hanya memandangi sang ayah dengan perasaan bahagia. Ia berhambur memeluk Lukman, laki-laki hebat yang sudah tidak muda lagi tapi begitu penuh semangat.
“Iya, ayah harus selalu sehat supaya bisa terus nemenin Kinan.” Ucap Kinanti. Menengadahkan kepalanya sedikit untuk melihat wajah sang ayah.
“Pastilah. Ayah akan selalu nemenin Kinan.” Lukman mengusap kepala Kinanti dengan sayang lalu mengecupnya dengan sayang.
“Emh, anak ayah bau asem. Mandi gih.” Ledek Lukman.
“Iiihh ayah... ini keringat perjuangan karena belajar dengan giat loh ayah.” Bibir Kinanti mengerucut kesal.
“Hahahaha ... iyaaa, semoga di masa depan bisa jadi keringat kebahagiaan ya....”
“Aamiin ayah.” Kinanti mengamini ucapan sang ayah.
Tidak lama kemudian, suara dering ponsel terdengar. Ada nomor baru yang menghubungi Lukman tapi laki-laki itu tidak menjawabnya dan malah membalik ponselnya.
“Kok gak di jawab ayah?” Kinanti penasaran. Biasanya Lukman gerak cepat kalau ada yang menghubunginya.
“Nomor gak di kenal, biarin aja. Takutnya malah tukang tipu terus ayah ke hipnotis. Toh kalau beneran perlu, dia pasti ngirim pesan buat ayah.” Lukman beralasan.
“Apa iya ayah?” Kinanti penasaran.
“Iyaaa. Kinan harus hati-hati sama nomor baru yang menghubungi Kinan. Apa lagi kalau tiba-tiba minta identitas diri kita dan bersikap sok kenal sama kita."
"Temen kantor ayah ada dua orang yang kena tipu dan uangnya hilang gara-gara di hipnotis lewat telepon. Jadi, berhati-hatilah sama nomor baru dan mengirimkan pesan aneh-aneh. Liat dulu di aplikasi ini, nanti baru jawab ya.” Pesan Lukman.
Ia menunjukkan sebuah aplikasi untuk mengecek nomor handphone.
“Oh iya ayah, Kinan akan lebih berhati-hati. Kalau gitu, Kinan ke atas dulu ya. Mau mandi dulu.” Kinanti beranjak sambil membawa tasnya.
“Iya, jangan lupa makan malam. Ayah tadi udah makan duluan, sekarang mau langsung istirahat aja.”
“Iya ayah. Selamat malam ayah.” Kinanti pun pergi ke kamarnya.
"Malam nak,"
Setelah Kinanti pergi, Lukman mengecek kembali ponselnya untuk melihat nomor ponsel yang menghubunginya. Saat di cek, ternyata itu nomor perawat yang pernah mengiriminya pesan.
Lukman menghembuskan nafasnya kasar. Sepertinya perawat ini ingin mengingatkan Lukman untuk mengambil hasil biopsinya, besok. Semoga hasilnya baik.
****