🌺Judul sebelumnya Pesona Cleopatra🌺
Cleopatra, wanita yang biasa dipanggil Rara menghipnotis banyak kaum adam termasuk kakak beradik Fahreza dan Zayn.
Tepat di detik-detik pernikahan Rara dan Reza, Zayn merenggut kehormatan Rara.
Rasa cinta Reza yang besar tak menyurutkan langkahnya untuk tetap menikahi gadis cantik bak ratu mesir di zaman dahulu itu. Namun, noda yang ada pada sang istri tetap membekas di hati Reza dan membuat ia lemah untuk memberi nafkah batin selama pernikahan.
Apakah Reza benar-benar tulus mencintai Rara? Atau Zayn, pria yang memang lebih mencintai Rara? bagaimana nasib Rara selanjutnya?
Baca sampe tuntas ya guys.
Terima kasih
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elis Kurniasih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Papa yang akan menceraikan kalian
Di hotel xxx, maasih di kota Bandung, Kemal memergoki putranya yang baru saja sampai dan hendak memasuki kamar. Kamar Kemal dan Reza bersebelahan persis.
“Kamu baru pulang?” tanya Kemal sembari menajamkan tatapannya pada sang putra yang penampilannya tak karuan.
Reza tampil berantakan dengan kemeja yang tak lagi berdasi dan tak di masukkan ke dalam celana panjangnya. Rambutnya pun berantakan. Kedua bola mata yang biasanya putih jernih, kini masih terlihat sedikit memerah.
“Maaf, Pa. Semalam aku terlalu larut bersama teman-teman hingga tak terasa sudah pagi.”
“Kamu mabuk?” tanya Kemal lagi.
Kemal sudah berpakaian rapih dan hendak ke restoran hotel untuk sarapan pagi.
“Iya semalam kami semua cukup mabuk, jadi kami di club hingga pagi,” jawab Reza yang saat ini sudah sepenuhnya sadar.
Kemal mendekati sang putra dan mengendus aroma yang melekat pada tubuh itu. Ia juga pernah muda, ia pun pernah berada di posisi Reza saat ini. Muda, sukses, dan memiliki uang. Pastinya banyak godaaan ketika seorang pria berada di posisi ini.
“Kamu tidak mengkhianati Rara, kan? Kamu tidak tidur dengan wanita lain semalam?” tanya Kemal dengan wajah memerah.
Kemal semakin menajamkan tatapannya pada sang putra. Sedangkan Reza menatap malas sang ayah.
“Aku tidak akan mengkhianatinya, Pa. Semalam aku tidur bersama teman-temanku di club.”
“Baiklah, Papa percaya padamu. Tapi jika kamu mengkhianati putri Papa, maka Papa sendiri yang akan menceraikan kalian.”
Kemal masih menampilkan ekspresi marah sembari berjalan melewati Reza yang masih mematung di tempatnya.
Lalu, Kemal menoleh ke belakang. “Cepat bersihkan dirimu! Papa ingin pulang sekarang juga. Pesawat Papa dimajukan menjadi sore, karena Pekerjaan Mamamu di sana tidak bisa ditinggal lagi.”
Reza menganggukkan kepalanya pelan, menatap punggung sang ayah yang semakin lama menghilang. Kemal memang pria paling setia. Selama ia menjadi anak Kemal, ia tak pernah melihat sang ayah berkata dengan nada keras pada istri dan anak-anaknya. Baru kali ini ia melihat sang ayah marah.
Sebelumnya, Kemal dan Mirna akan kembali ke Paris pada esok pagi. Namun, karena urusan butik Mirna yang tak bisa ditinggalkan lagi, mereka pun akan pulang hari ini.
****
Di kamar, Rara kembali menatap ponselnya. Ia masih tak menemukan panggilan telepon atau chat dari sang suami. Ia ingin menelepon, tapi enggan. Khawatir di sana sang suami memang sedang benar-benar sibuk. Lalu, Rara hendak menelepon Kemal, tapi ia urungkan lagi. Ia malu dan tidak mau dikira terlalu posesif pada sang suami, karena saat ini suaminya sedang bekerja dan ditemani pula oleh ayah mertuanya langsung.
“Ra, Ayo sarapan!” Mia mengetuk pintu kamar Rara.
Kebetulan hari ini weekend. Kemarin memang hari kerja terakhir menjelang weekend. Oleh karenanya Reza bisa berkumpul bersama teman-temannya.
“Iya, Ma.” Teriak Rara.
Saat ini, mereka sedang berada di rumah Kemal. Mia sengaja bertandang ke rumah ini pagi-pagi sekali dan memasak bersama Mirna. Tak lama kemudian, Sanjaya pun menyusul.
Dret ... Dret ... Dret ...
Ponsel Rara berdering sesaat ketika Rara sudah memegang gagang pintu untuk keluar dari kamar itu. Rara kembali berjalan menuju meja rias dan melihat ponsel yang tengah ia charge itu. Ia tersenyum saat nama yang tertera di sana adalah nama sang suami.
Rara pun segera menekan tombol hijau untuk menjawab panggilan itu.
“Halo.”
“Sayang, maaf. Maafkan aku. Maaf aku baru menelepon,” ucap Reza lirih.
Ia sangat bersalah dengan apa yang dilakukan terhadap sang istri semalam. Ia sadar sudah mengabaikan Rara.
“Iya, aku menunggu kabarmu. Aku hanya khawatir. Kamu baik-baik aja kan?” tanya Rara.
“Ya, aku baik-baik saja. Maaf.”
“Syukurlah. Yang penting kamu baik-baik saja. Ngomong-ngomong, reuni semalam, seru ya?” tanya Rara.
“Ya, lumayan. Mungkin karena kami sudah lama sekali tidak bertemu.”
“Ya, aku mengerti,” jawab Rara sembari tersenyum.
“Sekarang aku ingin pulang, Sayang. Papa memajukan jadwal kepulangannya.”
“Loh, Mama tidak bilang,” kata Rara.
“Ya, aku juga baru tahu. Sesampainya di rumah, kita akan mengantarkan Papa dan Mama ke bandara.”
Rara menganggukkan kepala sembari menempelkan benda elektronik itu di pipinya. “Baiklah, aku tunggu. Hati-hati ya, Kak.”
Di sana, Reza pun melebarkan senyum. “Iya, Sayang.”
Kemudian, mereka memutuskan sambungan telepon itu. Rara tersenyum sembari meletakkan kemballi benda itu di tempat sebelumnya.
Di sana, Reza pun tersenyum. Ia merencanakan sesuatu untuk sang istri sepulang dari kota ini. Ia ingin membawa sang istri ke suatu tempat romantis setelah mengantar sang ayah dari Bandara, mengingat malam ini adalah malam minggu.
****
“Mia, aku pamit. Nanti aku ke sini lagi.” Mirna memeluk sahabatnya.
Mia yang mudah menangis pun tak terasa air itu tiba-tiba meleleh di pipinya.
“Bun, kamu tuh cepet banget nangis sih,” ledek Sanjaya.
“Ya, karena pasti kamu akan lama lagi ke sini, Mir.” Kata Mia.
“Kalau begitu kamu dong yang ke sana. Honeymoon kedua sama Mas Sanjaya,” jawab Mirna yang membuat semua di sana tertawa, begitu pun dengan Reza dan Rara.
“Terus Rara punya adik lagi gitu?” tanya Sanjaya meledek yang membuat mereka di sana kembali tertawa.
“Malu sama umur, harusnya punya cucu malah punya anak lagi,” kata Mia yang membuat semua terdiam dan hanya tersenyum tipis. Apalagi Rara.
Mia salah bicara. Ia pun memeluk putrinya dan Rara hanya tersenyum.
“Maafkan Bunda, Ra. Maaf Bunda salah bicara.”
“Tidak, Bun. Tidak apa.” Rara menerima pelukan sang ibu dan tersenyum lebar.
Ia sudah menerima takdirnya. Kini, ia tak lagi meraung seperti pertama kali mendengar berita yang mengenai kekurangannya ini. Jadi, ia pun tidak terbawa perasaan untuk hal itu.
“Ya sudah. Ayo berangkat!” kata Reza.
Mereka keluar dari rumah itu dan menaiki mobil. Reza mengemudi langsung mobilnya di temani sang istri yang duduk di samping dan kedua orang tuanya duduk dikursi penumpang belakang.
Mia dan Sanjaya berdiri di teras rumah Kemal, melambaikan tangan hingga mobil itu keluar dari gerbang. Sanjaya memeluk istrinya dan berjalan pulang, setelah mobil Reza melaju jauh.
Hampir satu jam perjalanan menuju bandara Soekarno Hatta, akhirnya mereka tiba. Reza menepikan mobilnya untuk mengeluarkan barang-barang itu di sana. Rara dan Mirna berdiri bergandengan, membiarkan para pria yang melakukan tugas itu.
“Reza parkir dulu. Mama Papa tunggu sini ya,” kata Reza yang langsung masuk kembali ke mobilnya.
Di sana, Rara hanya di temani oleh Mirna dan Kemal.
“Ma, salam buat Zayn ya. Salam kangen. Rara kangen banget sama Zayn.”
Mirna dan Kemal saling bertatapan.
“Sebenarnya, Ra pengen banget main ke Paris. Tapi Kak Reza ngga mau. Kak Reza sepertinya masih kesal pada Zayn karena dia ngga hadir di pernikahan kami.”
Mirna masih menatap ke arah Kemal, kemudian beralih pada Rara dan memeluknya dari samping. “Kamu tahu kan Reza itu seperti apa?”
Rara mengangguk. “Ya, dia itu tidak pernah bisa mentolerir kesalahan. Padahal menurutku kesalahan Zayn tidak besar.”
“Seandainya kamu tahu, Ra. Mungkin kamu juga tidak akan memaafkan Zayn. Tapi mungkin juga kamu memaafkannya jika tahu perjuangan Zayn terhadapmu,” batin Mirna.
“Ma,” panggil Rara menyadarkan Mirna dari lamunannya.
“Ya, begitulah Reza, Ra.”
Mirna dan Kemal kembali bertatapan dan Kemal merengkul bahu menantunya.
“Maafkan putra Papa ya, Ra. Maafkan Zayn dan Maafkan Reza. Mereka benar-benar telah membuatmu susah.”
Rara langsung menggeleng. “Tidak Pa. Justru Rara senang memiliki kak Reza dan Zayn. Sejak dulu, mereka yang selalu menjaga Rara dan tulus menyayangi Rara.”
Kemal hanya tersenyum. “Apapun yang terjadi, buatlah dirimu bahagia, Ra. Jangan karena Reza anak Papa, kamu segan untuk mengambil keputusanmu sendiri. Yang penting kamu bahagia. Iya kan, Ma?” Kemal beralih pandangan ke arah sang istri.
“Benar, kamu memang pantas bahagia.”
Rara menatap Kemal dan Mirna bergantian. Ada bagian perkataan Kemal yang tidak Rara mengerti, tetapi ia tak mempertanyakan itu.
“Hingga saat ini, aku selalu bahagia kok, Ma, Pa. Terima kasih.” Rara tersenyum dan memeluk kedua orang tua Reza bergantian.
Kemal dan Mirna juga menerima pelukan itu dengan hangat.
Tiba-tiba Reza sudah berlari menghampiri mereka. “Ayo!”
Reza langsung mengalihkan troli yang semula berada di genggaman sang ayah ke tangannya. Kemal, Mirna, dan Rara mengikuti langkah Reza untuk masuk ke dalam.
Mereka saling berpelukan sesaat sebelum Kemal dan Mirna masuk ke area yang sudah tak bisa dijangkau oleh pengantar.
“Za, jaga putri Mama ya,” kata Mirna.
Mirna dan Kemal tidak hanya mnganggap Rara sebagai menantu melainkan putri sendiri, karena mereka memang tidak memiliki seorang putri.
Rara tersenyum.
“Pasti, Ma.” Reza memeluk sang ibu.
“Ingat perkataan Papa pagi tadi,” ucap Kemal ketika reza dan sang ayah berpelukan.
Reza hanya mengangguk pelan. “Iya, Pa.”
Rara dan Reza melambaikan tangan ke arah Mirna dan Kemal yang hendak memasuki area pemeriksaan.
Reza melingkarkan tangannya pada pinggang ramping sang istri dan mengajaknya pulang karena Mirna dan Kemal sudah tak terlihat lagi.